Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta untuk Yasmine
MENU
About Us  

    Sembari berdendang riang, Yasmine memasukkan beberapa barangnya ke sling bag hitam yang akan menjadi teman perjalannya hari ini. Mulai dari ponsel, dompet, sampai sunblock ia masukkan dengan senyum yang begitu lebar. Terakhir, ia mengenakan flatshoes putih dengan aksesoris pita di bagian depan. Setelah memastikan penampilannya sempurna, gadis itu pun ke luar dari kamarnya.

    “Mau ke mana?”

    Saat itu juga, senyum Yasmine langsung luntur. Ia sempat menggigit bibir bawahnya, melampiaskan kegugupan yang tiba-tiba menyerang setelah mendapati ekspresi tajam sang mama. “Mau pergi ke toko buku, Ma,” cicit Yasmine, hampir tak terdengar.

    Bu Asri langsung berdecak keras. “Di rumah lagi pada repot, kamu malah mau main. Gak pengertian banget, sih?”

    “Kan, dari kemarin juga aku terus bantuin Mama. Lagian, aku juga jarang main, kan? Gak akan lama, kok, Ma.”

    “Tapi, tetep aja, kita kekurangan tenaga buat siapin makan siang nanti,” sahut Bu Asri dengan cepat. Nada bicaranya pun kian sinis. “Udah, diem aja di rumah. Besok lagi aja perginya, pulang kuliah.”

    “Tapi temen-temen aku udah nungguin di depan, Ma. Gak enak kalau harus batalin acara begitu aja.” Yasmine berusaha bernegosiasi. Wajahnya pun berubah memelas, terus memohon iba dari sang mama. “Ma,boleh, ya? Gak akan lama, kok. Nanti siang juga udah pulang lagi. Nanti aku bantu siapin makan malam, deh. Ya, Ma?”

    Baru saja Bu Asri hendak melayangkan larangan yang lebih tegas, tiba-tiba datang Pak Salim yang baru saja selesai menunaikan salat duha. Wajah perempuan paruh baya itu langsung berubah masa. Bu Asri sudah tahu apa yang akan dilakukan suaminya saat ini.

    “Udah, lah, Ma. Biarin aja Yasmine pergi. Dia juga jarang ke luar, kan? Selama beberapa hari ini juga Yasmine selalu sibuk bantu kita semua. Nanti biar ayah yang bantu Mama di dapur. Orang di rumah ini juga banyak. Tenaganya lebih dari cukup untuk siapin makan siang,” ucap Pak Salim panjang lebar.

    “Belain aja terus si Anak Kesayangan satu ini! Makin lama makin manja aja!” ketus Bu Asri sembari berlalu menuju halaman belakang, di mana para saudara sedang menikmati rujak mangga muda ramai-ramai.

    Baik Yasmine ataupun Pak Salim, keduanya memandang kepergian Bu Asri sembari mengembuskan napas panjang. Kemudian, mereka saling bertukar pandang dengan sorot lesu.

    Sejak masih duduk di bangku SMA, Yasmine sudah ikut andil untuk menyelesaikan aneka pekerjaan rumah. Pulang sekolah, ia harus segera menyapu lantai dan mencuci piring bekas sarapan semua orang. Pakaian pun selalu dia yang melipat dan membereskan ke lemari. Jangankan pergi main, untuk kerja kelompok saja Yasmine harus bisa melewati serangkaian interogasi yang disertai banyak prangsangka buruk.

    Hanya ketika Elea memiliki kesempatan menginap di rumah—ia memutuskan untuk tinggal di indekos saat kuliah—beban Yasmine bisa sedikit ringan. Elea selalu mengambil alih pekerjaan rumah yang memerlukan tenaga ekstra dan menjadi juru bicara jika ingin mengajak Yasmine pergi. Tentu, tidak ada drama seperti barusan. Bu Asri akan mengatakan “ya” dengan sangat mudah untuk semua permintaan putrinya yang satu itu.

    “Kenapa mama selalu berpikiran yang enggak-enggak tentang aku, sih, Yah? Kan, aku juga mau sesekali main ke luar. Dari kemarin juga aku selalu ikut sibuk di dapur, gak cuma leha-leha di kamar,” keluh Yasmine, masih dengan wajah yang tertekuk sempurna.

    “Mama cuma lagi capek aja, Sayang.” Pak Salim bergerak mengusap puncak kepala putrinya. “Udah, jangan cemberut begitu. Ayo, susul teman-teman kamu. Jangan sampai kamu ditinggalin, lho.”

    Walaupun suasana hatinya masih keruh, Yasmine pun segera mencium punggung tangan sang ayah dan berpamitan. Jangan sampai acaranya benar-benar batal karena sang mama kembali masuk rumah dan mencabut izinnya begitu saja.

    Setelah mengatur ekspresi wajahnya selama beberapa saat, Yasmine pun segera membuka gerbang rumahnya. Sebuah mobil hitam sudah terparkir di sana. Yasmine melangkah menuju pintu belakang karena meyakini jok samping kemudi pasti sudah ditempati. Namun, begitu pintu terbuka, Yasmine langsung mematung. Yang duduk di belakang bukan Nurul, melainkan Ibnu. Ia melirik ke depan, tepatnya pada seseorang yang tengah menatapnya dengan penuh arti.

    Udah, jangan banyak mikir. Duduk aja, sana. Cuma sekali ini aja aku kasih kalian duduk sampingan. Kira-kira begitulah arti sorot mata Nurul.

    “Kenapa, Yas? Ada yang ketinggalan, ya?”

    Yasmine sedikit terperanjat saat suara lelaki itu membelai indera pendengarannya. Dia pun langsung menggeleng dan berkata, “Eh? Enggak, kok. Aman, semuanya aman. Gak ada barang yang ketinggalan.”

    “Ya udah, ayo masuk. Keburu panas banget ini,” timpal Ibnu lagi.

    Perlahan tetapi pasti, gadis itu pun segera masuk dan mendaratkan bokongnya. Yasmine duduk di ujung, sampai badannya menempel dengan badan pintu.

    Yasmine dan Nurul berkenalan sejak masa ospek. Di hari yang sama, mereka memutuskan untuk menjalin persahabatan. Keduanya selalu menempel. Ke kantin, perpustakaan, sampai sekadar nongkrong dengan teman yang lain pun selalu berduaan. Bahkan, tugas pun selalu menempatkan mereka dalam kelompok yang sama. Suka dan duka mereka cicipi bersama. Nyaris tak ada rahasia yang menyertai persahabatan mereka.

    Ibnu baru bergabung sekitar 6 bulan yang lalu. Berawal dari tugas kelompok, ketiganya menyadari kecocokan satu sama lain. Mereka tidak perlu menjaga sikap saat hanya bertiga. Yasmine dan nurul pun selalu menanyakan pendapat Ibnu dari sisi lelaki dalam banyak topik pembicaraan, terutama hubungan sosial. Ibnu juga merasa Yasmine dan Nurul adalah perempuan yang baik dan pantas dijadikan teman.

    “Bukannya kamu suka Asma Nadia, ya?”

    Perhatian Yasmine dari blurb novel karya Fiersa Besari pun teralihkan. Dia sempat bertukar pandang dengan Ibnu selama beberapa saat, sebelum akhirnya memperhatikan serangkaian novel roman yang tertata rapi di rak Gramedia.

    “Iya, sih. Tapi gak ada salahnya juga aku baca karya penulis yang lain, kan?” sahut Yasmine. Ia berusaha menjaga sikap. Jangan sampai Ibnu tahu bahwa kedekatan mereka saat ini mampu membuat jantungnya berpacu sangat cepat.

    “Sekali-kali baca komik, dong.” Ibnu memamerkan komik One Piece yang sedari tadi dipegangnya.

    “Kan, aku udah pernah coba, Nu. Cuma emang gak cocok aja. Aku lebih suka menggambarkan tokoh pakai imajinasi sendiri daripada tinggal lihat gambar yang dikasih sama penulis gitu,” balas Yasmine. Kini novel yang sedang ia pegang telah berganti. Hanya untuk menyembunyikan kegugupannya, Yasmine meraih novel romansa terjemahan.

    Ibnu pun ikut melangkah, terus mengekori ke mana Yasmine bergerak. “Tapi, kalau kamu segitu sukanya baca novel, kenapa kamu enggak coba nulis aja, Yas?”

    Gadis itu berbalik sesaat. Lalu, Yasmine geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan pemikiran aneh yang muncul di kepala Ibnu. “Aku punya modal ilmu dari mana buat mulai nulis novel? Gak lupa kalau aku ini mahasiswa Manajemen, kan, bukan Sastra Indonesia?”

    “Jadi penulis itu gak selalu harus punya background pendidikan sastra juga, Yas. Istri kakak sepupu aku, sekarang jadi penulis terkenal padahal dulunya pramugari.”

    Dahi Yasmine lantas berkerut. “Hah? Kamu punya saudara penulis?”

    Dengan penuh kemantapan, Ibnu mengangguk. Ia meraih salah satu novel di hadapannya. “Humaira Nuryn, penulis Cinta Paling Suci ini, dia istri kakak sepupu aku.” Lelaki itu terkekeh mendapati Yasmine menatapnya tak percaya. “Aku serius, Yas. Masa gak percaya sama sahabat sendiri, sih? Humaira Nuryn ini emang saudara aku.”

    “Yasmine?”

    Baru saja Yasmine hendak menimpali ucapan Ibnu—yang terdengar seperti bualan semata—sebuah panggilan sudah lebih dahulu menarik perhatiannya. Ekspresi Yasmine berubah seketika. Senyumnya langsung terbit ketika seorang perempuan patuh baya dengan gamis hitam dan kerudung panjang berjalan ke arahnya dengan penuh semangat.

    “Ih, tante kira tante salah lihat. Ternyata beneran kamu.” Perempuan senja itu langsung menggandeng tangan Yasmine. Pandangannya tertuju pada Ibnu. “Ini siapa? Pacar kamu, ya?”

    “Bukan, Tante!” sergah Yasmine dengan cepat. “Cuma temen, kok.”

    “Yakin cuma temen?”

    “Iya, Tan. Kami cuma temen. Kalaupun lebih, namanya cuma sahabat, kok.” Kali ini, Ibnu yang menjawab.

    Perempuan bergamis hitam itu mengangguk puas. Kemudian, ia berkata, “Tante boleh gabung sama kalian, gak? Tante cuma datang sendiri, nih.”

    Tidak langsung menjawab, Yasmine dan Ibnu sempat bertukar pandang untuk beberapa saat. Bukannya bermaksud menolak, tetapi perbedaan usia yang terlalu jauh pasti akan mempengaruhi kecocokan pembicaraan, bukan?

    Yang menggandeng tangan Yasmine saat ini adalah Umi Inaya, orang tua Adam, calon besan Bu Asti dan Pak Salim. Beliau memang sangat ramah dan tidak sungkan untuk bergaul dengan anak-anak seusia buah hatinya. Menurutnya, dibandingkan harus terjebak sepi di tengah keramaian, lebih baik menjadi saksi kelucuan para ABG yang baru saja mengenal cinta. Kebetulan, sosok yang ia kenal di tengah banyaknya pengunjung Gramedia saat ini hanyalah Yasmine, adik calon menantunya.

    “Tinggal gabung aja, Tan. Gak usah sungkan,” celetuk Nurul tiba-tiba, yang baru saja muncul dari belakang Yasmine dengan setumpuk novel horor di tangannya.

    Wajah Umi Inaya berubah semringah seketika. “Beneran boleh, nih?”

    “Boleh, dong. Saudaranya Yasmine juga saudara aku sama Ibnu. Kebetulan kita menganut prinsip berbagi bersama,” tambah Nurul lagi.

    “Makasih banyak, ya,” balas Umi Inaya dengan nada riang. “Abis ini kita jajan es krim, yuk? Tante yang traktir.”

    “Ayo!”

    Selanjutnya, rangkulan Umi Inaya terlepas. Beliau berpindah haluan, menjadi berdiri di antara Nurul dan Ibnu serta melakukan perkenalan. Sementara Yasmine hanya bisa terkekeh melihat pemandangan itu. Sepertinya, anggota persahabatan mereka akan bertambah mulai hari ini.

    ***

    Ya Allah, hamba mohon, lancarkanlah pernikahan hamba dengan Elea nanti. Limpahkanlah rahmat untuk rumah tangga kami. Tuntun hamba menjadi suami yang baik untuk Elea. Semoga kami bisa menjadi muslim yang lebih baik untuk ke depannya. Aamiin ....

    Seperti biasa, doa tentang pernikahan menjadi penutup dari segala permintaan yang Adam panjatkan kepada Sang Khalik. Kata demi kata ia ucapkan dengan penuh harapan. Kalimat demi kalimat ia curahkan dengan penuh khidmat.

    Adam tidak pernah main-main mengenai Elea Arsyinta. Semua yang pernah Adam katakan tidak pernah menyiratkan candaan jika sudah menyangkut perempuan cantik berusia 25 tahun itu. Segala bentuk perhatian, tindakan, dan keputusan selalu disertai keseriusan yang tiada dua. Karena cinta Adam pun sungguh-sungguh. Elea begitu berarti dalam hidupnya, maka dari itu Adam mantap menjadikannya sebagai rumah barunya.

    “Eh, El, pulang sama siapa?”

    “Sama Adam. Tuh, mobilnya udah ada di depan.”

    “Bagus, deh, kalau dia udah jemput. Kirain lo naik taksi, tadinya gue mau nawarin tumpangan.”

    Saat itu juga, Adam langsung mengalihkan pandangannya dari lantai musala samping studio tempat Elea melakukan pemotretan. Dari kejauhan, ia bisa melihat seorang lelaki menatap Elea dengan begitu dalam. Senyumnya juga tampak palsu saat mengucapkan syukur setelah mengetahui mobil Adam sudah ada di jangkauan matanya. Tanpa memberikan kesempatan lelaki itu untuk menikmati kecantikan Elea lebih lama, Adam segera mengenakan sandalnya dan menghampiri perempuan yang dicintainya.

    “Udah?”

    Elea langsung menoleh. “Iya, udah,” jawabnya sembari tersenyum tipis. “Kamu habis dari mana?”

    “Baru beres salat magrib.” Tanpa diminta, Adam langsung mengambil alih tas kecil yang dipegang Elea. “Kamu udah salat belum?”

    Perempuan itu menggeleng sebagai jawaban.

    “Ya udah, salat magrib dulu, sana. Aku tungguin.”

    “Nanti aja, ah,” tolak Elea dengan begitu enteng. “Kita mau lihat apartemen, kan? Nanti aku salat di sana aja.”

    “Tapi waktu magrib itu cuma sebentar, Sayang.”

    “Makanya, bawa mobilnya agak cepet. Ayo.” Elea segera merangkul lengan Adam dan melangkah dari sana. Dia melambai tanpa membalikkan tubuhnya. “Gue duluan, ya, Guys. See you tomorrow!

    Dengan wajah datarnya, Adam segera membukakan pintu untuk Elea. Setelah perempuan itu masuk, ia segera memutari mobil untuk memburu kursi kemudi. Adam sempat melayangkan tatapan tajam pada rekan kerja Elea yang masih saja curi-curi pandang pada calon istri Adam itu.

    “Cowok yang tadi model juga?” todong Adam begitu mobilnya telah menjauh dari studio pemotretan.

    Tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel, Elea menjawab, “Heem.”

    “Namanya siapa?”

    “Rendi.”

    “Jauh-jauh dari dia. Aku gak suka.”

    Kalimat satu inilah yang akhirnya berhasil membuat Elea memusatkan perhatiannya pada Adam. Ia membuang napas panjang, seakan lelah dengan sikap tunangannya yang satu ini. “Jangan mulai, deh, Dam. Aku sama dia cuma rekan kerja. Gak mungkin juga aku jauh-jauh dari Rendi karena kita punya beberapa proyek bareng-bareng buat ke depannya.”

    “Ya udah, di depan kamera aja kalian deketnya. Setelah itu, kamu jaga jarak sama dia.”

    “Dam, please ...,” lirih Elea. Ia menatap Adam penuh permohonan. “Aku capek. Dari pagi sampai sore, aku gak berhenti ganti wardrobe dan bergaya di depan kamera. Jangan kamu tambah lelahnya aku dengan perdebatan yang gak penting kayak gini.”

    Sontak saja Adam mengalihkan pandangannya dari jalanan untuk beberapa saat. “Kok, kamu ngomong begitu, sih? Ini penting, lah, El. Sekalipun cowok itu cuma rekan kerja, tapi dia suka sama kamu.”

    Elea tertawa sumbang, menertawakan perkataan Adam. “Kamu tahu dari mana kalau Rendi suka sama aku?”

    “Dari cara dia tatap kamu. Sebagai sesama cowok, aku tahu banget arti sorot mata dia saat tatap kamu. Aku juga tahu kalau dia mau nawarin kamu tumpangan tadi, tuh, bukan sekadar basa-basi.”

    “So what if he likes me? Everyone knows that I’m gombal marry you, Adam Mubarak. Bahkan Rendi juga udah terima undangan pernikahan kita. Gak mungkin dia melewati batas di H-5 ijab kabul kita, kan?” sambung Elea dengan cepat. Nada bicaranya mulai naik, menandakan emosi mulai menyertai perkataan Elea saat ini.

    “Tapi, El—”

    “Berhenti jadi cowok posesif, Dam. It's such ennoying.”

    Lidah Adam kelu seketika. Kalimat Elea ini berhasil membuatnya kehilangan kata. Bahkan, Adam juga menurut saja saat Elea meminta diantar pulang saja. Momen yang seharusnya Adam gunakan untuk memamerkan unit apartemen yang nantinya akan menjadi rumah mereka, justru berakhir kacau.

    Ya, Adam akui, dia memang lelaki yang posesif. Ia tidak pernah suka berbagi sesuatu yang sudah menjadi miliknya. Apalagi tentang Elea, Adam tak pernah sudi lelaki mana pun melewati batas wajar saat berinteraksi dengannya. Sekalipun pernikahan sudah di depan mata, Adam merasa tetap harus bersikap waspada. Dan, ya ... untuk ke sekian kali, sifat Adam ini menyulut emosi Elea.

How do you feel about this chapter?

5 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • darmawati

    Oh ternyata Yasmin cuman anak sambung toh....dan ibu tirinya memberikan perlakuan yang berbeda

    Comment on chapter 1. Kehidupan Yasmine
Similar Tags
Cinta Sebatas Doa
612      429     0     
Short Story
Fero sakit. Dia meminta Jeannita untuk tidak menemuinya lagi sejak itu. Sementara Jeannita justru menjadi pengecut untuk menemui laki-laki itu dan membiarkan seluruh sekolah mengisukan hubungan mereka tidak lagi sedekat dulu. Padahal tidak. Cukup tunggu saja apa yang mungkin dilakukan Jeannita untuk membuktikannya.
Aranka
4419      1473     6     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...
Invisible
738      463     0     
Romance
Dia abu-abu. Hidup dengan penuh bayangan tanpa kenyataan membuat dia merasa terasingkan.Kematian saudara kembarnya membuat sang orang tua menekan keras kehendak mereka.Demi menutupi hal yang tidak diinginkan mereka memintanya untuk menjadi sosok saudara kembar yang telah tiada. Ia tertekan? They already know the answer. She said."I'm visible or invisible in my life!"
Letter From Who?
488      339     1     
Short Story
Semua ini berawal dari gadis bernama Aria yang mendapat surat dari orang yang tidak ia ketahui. Semua ini juga menjawab pertanyaan yang selama ini Aria tanyakan.
A CHANCE
1961      878     1     
Romance
Nikah, yuk!" "Uhuk...Uhuk!" Leon tersedak minumannya sendiri. Retina hitamnya menatap tak percaya ke arah Caca. Nikah? Apa semudah itu dia mengajak orang untuk menikah? Leon melirik arlojinya, belum satu jam semenjak takdir mempertemukan mereka, tapi gadis di depannya ini sudah mengajaknya untuk menikah. "Benar-benar gila!" 📌📌📌 Menikah adalah bukti dari suatu kata cinta, men...
Boy Who Broke in My Window
14697      2595     12     
Humor
A social outcast A troubled airhead of a jock The two titles arent meant to be paired But when he breaks in her bathroom window one fateful Friday night all hell breaks loose
Venus & Mars
6080      1570     2     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagunan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan ...
Trying Other People's World
155      132     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Love in the Past
572      425     4     
Short Story
Ketika perasaan itu muncul kembali, ketika aku bertemu dengannya lagi, ketika aku harus kembali menyesali kisah itu kesekian kali.
RANIA
2455      886     1     
Romance
"Aku hanya membiarkan hati ini jatuh, tapi kenapa semua terasa salah?" Rania Laila jatuh cinta kepada William Herodes. Sebanarnya hal yang lumrah seorang wanita menjatuhkan hati kepada seorang pria. Namun perihal perasaan itu menjadi rumit karena kenyataan Liam adalah kekasih kakaknya, Kana. Saat Rania mati-matian membunuh perasaan cinta telarangnya, tiba-tiba Liam seakan membukak...