Dengan langkah lunglai, Yasmine mendorong gerbang rumahnya. Kepalanya ramai, menyusun sejumlah rencana kegiatan yang akan dilakukan begitu memasuki kamar. Membersihkan wajah dari berbagai polusi, mandi, salat asar, lalu merebahkan punggungnya sembari menunggu salat magrib. Sepertinya akan sangat nyaman berpelukan dengan kasur setelah segudang keringat lolos dari tubuhnya.
Bruk!
Baru beberapa detik hati Yasmine berbunga membayangkan kegiatan menyenangkan, rasa lelahnya harus ditambah dengan mendaratnya sebuah bola plastik di kepala. Ia hanya bisa berusaha mengatur napas ketika bola biru itu menggelinding dan berhenti di depan sepatu ketsnya. Tidak ada permintaan maaf dari pelaku, yang terdengar justru pekikan tawa dari sejumlah orang yang ada di halaman depan.
“Kak, lempar bolanya, dong!” teriak seorang anak laki-laki. Tanpa mengangkat pandangan pun, Yasmine bisa tahu bahwa itu adalah suara Beny.
Perempuan itu tidak banyak bicara. Dengan bibir yang mengatup rapat, Yasmine langsung memungut bola plastik di kakinya dan melemparkan dengan kekuatan yang tersisa.
“Aduh!”
“Pelan-pelan lemparnya, dong, Yasmine!” hardik seorang perempuan yang sempat menertawakan Yasmine beberapa saat lalu, Bu Ika. Bahkan, matanya sudah mencuat setengah dan menatap Yasmine dengan begitu tajam. “Sama anak kecil, tuh, yang lembut! Diminta tolong segitu doang, langsung marah!”
“Udah, Mbak. Kita harus banyak maklum sama anak satu itu. Kebanyakan dimanja sama bapaknya, jadi gak punya adab,” sahut Bu Yani, adik Bu Ika.
Untuk ke sekian kali, Yasmine hanya bisa menghela napas panjang untuk menekan sesuatu yang berusaha berontak dari dalam dirinya. Ia memilih melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Kakinya lurus menuju garasi, memutuskan untuk masuk rumah lewat pintu samping supaya tidak berhadapan dengan adik dari mamanya.
Selama dua hari ini, rumah Yasmine memang lebih ramai dari biasanya. Sejumlah sanak saudara berdatangan dan menginap untuk menyambut pernikahan kakak perempuan Yasmine, Elea. Mengingat sebagian besar keperluan pernikahan disiapkan keluarga mempelai laki-laki, jadi keluarga Yasmine sangat santai menjelang hari H. Para saudara yang datang pun hanya bermodal tenaga untuk meramaikan suasana rumah yang biasanya tenang.
“Baru pulang, Nak?”
Begitu menginjakkan kaki di lantai rumah, suara lembut itu yang menyambut kedatangan Yasmine. Setelah sekian lama menunduk, akhirnya kepala gadis itu terangkat juga. Senyum langsung terbit di wajah cantiknya begitu mendapati sang ayah tengah duduk lesehan dan sibuk memotong jengkol.
“Assalamualaikum, Yah.” Yasmine pun mendudukkan diri di lantai dan segera mencium punggung tangan ayahnya.
“Waalaikumsalam,” sambut Pak Salim—ayah Yasmine. “Eh, sekarang hari Jumat, ya? Pantesan aja kamu pulang sore.”
Yasmine mengangguk lesu. “Udah untung bisa pulang jam segini, Yah. Kalau dosen Komunikasi Bisnis masuk, udah pasti aku pulang abis isya.”
“Lho, kenapa gak masuk?” tanya Pak Salim seraya kembali menyambung kegiatannya, memotong jengkol.
“Istrinya melahirkan,” singkat Yasmine. Lalu, ia pun bangkit dari duduknya. “Aku masuk kamar dulu, ya? Belum salat asar. Mau istirahat sebentar juga, capek.”
“Jangan lupa mandi dulu.”
“Iya, Yah.”
Tidak berbeda jauh dengan suasana di halaman depan, ruang tengah pun sama ramainya. Beberapa mainan berserakan di lantai, suara televisi cukup untuk menembus tembok tetangga, sejumlah sampai makanan kemasan juga memenuhi meja. Itu bukan ulah anak kecil seperti Beny, melainkan sejumlah remaja yang seharusnya bisa membawa diri di rumah orang lain.
Baru beberapa langkah yang Yasmine ambil, kedua kakinya harus kembali berhenti ketika sang mama sudah berdiri di hadapannya. Sebuah baskom dengan tiga buah kelapa dan parut di dalamnya beliau pegang erat-erat.
“Kenapa baru pulang, sih? Mama keteteran nyiapin makan malam dari tadi. Nih, bantuin!” sekoyong-koyong Bu Asri menyerahkan baskom itu pada Yasmine.
Mau tak mau, gadis itu pun menerimanya. Dengan sorot nanar, ia memandang sang mama dan berkata, “Aku belum salat, Ma. Mau mandi juga, badanku lengket banget.”
“Ya udah, salat dulu, sana! Gak usah mandi. Lama!”
“Badan aku kotor, Ma.”
“Ih, susah banget minta tolong sama kamu!” ketus Bu Asri. “Mandinya jangan lama-lama, lima menit aja. Begitu beres, langsung ke sini. Mama keteteran, nih. Tante-tante mau makan ayam gulai, santannya belum ada.”
Dengan berat hati, Yasmine pun menjawab, “Iya, Ma. Nanti aku langsung bantuin Mama, kok.”
“Nih, mama simpen di sini, ya,” ucap Bu Asri sembari menyimpan baskom di atas meja makan. Kemudian, beliau masuk dapur kembali dan menyibukkan diri dengan sejumlah pekerjaan yang belum selesai juga.
Yasmine berbalik dan menatap ayahnya dengan penuh permohonan. Gadis itu sangat berharap beliau bisa membantu mencari alasan untuk lolos dari tugas parut kelapa karena benar-benar membutuhkan istirahat. Namun, yang diterima Yasmine hanyalah senyuman. Untuk ke sekian kali, Yasmine diminta sabar dan menuruti keinginan mamanya tanpa banyak membantah. Dia pun segera memburu kamar dengan perasaan jengkel dan sedih yang bercampur aduk.
Sementara di halaman depan, para saudara Bu Asri langsung menghentikan kegiatan mereka begitu mobil sport sedan putih dengan logo kuda hitam memasuki pekarangan. Senyum mereka mengembang, siap menyambut sejoli yang selama dua hari ini menjadi tokoh utama pembicaraan mereka.
“Kamu yakin gak mau ganti aja?” Suara bariton langsung terdengar begitu mesin mobil dimatikan.
“Yakin, Dam. Lagian gak akan sempet kalau kita ganti baju. Desainnya juga udah cantik banget, sesuai sama yang aku mau selama ini,” jawab seorang perempuan, bersahutan dengan suara stiletto yang beradu dengan paving block.
“Tapi, kita nikah seminggu hari lagi, lho, Sayang.”
Perempuan itu berbalik dan menatap sosok laki-laki yang baru saja turun dari balik kemudi. “Aku pasti bisa turunin berat badan aku, kok. Pokoknya, kamu tenang aja, aku pasti bisa pakai gaun itu untuk akad nanti.”
“Daripada kamu diet sampai menyiksa diri, mending ganti gaun aja, Sayang. Ya?”
Kali ini, tidak ada jawaban dari perempuan dengan rambut sepinggang itu. Ia hanya terus melangkah menuju teras depan seraya mencubit gemas pipi para adik sepupu yang menyapanya. Ia baru berhenti ketika berhadapan dengan kedua adik mamanya yang sudah berdiri di tempat. Senyum keduanya begitu lebar. Pandangan mereka pun tertuju pada kantung keresek yang dipegang perempuan itu.
“Itu apa, El? Makanan, ya?” Bu Ika melayangkan tebakannya.
“Donat, ya, El? Kayaknya enak, tuh?” sambung Bu Yani.
Perempuan itu—Elea—pun menyerahkan satu keresek dari tangannya. “Bagikan sama yang lain, ya, Tan. Aku belinya ngepas, kehabisan tadi.”
Bu Ika langsung mengambil alih keresek itu dengan pandangan berbinar. “Iya, nanti pasti tante bagiin ke yang lain. Makasih, ya.”
“Yang itu buat siapa?” tanya Bu Yani, penuh rasa ingin tahu.
“Yang ini keju semua, buat Yasmine,” jawab Elea dengan begitu enteng. Ia tidak memedulikan perubahan ekspresi wajah kedua tantenya. “Dia udah pulang, kan?”
“Udah, tadi.” Nada suara Bu Ika mendadak lesu, seperti tidak rela keponakannya memberikan satu kotak donat hanya untuk Yasmine seorang.
“Bagus, deh, mumpung masih anget.” Elea menepuk bahu kedua tantenya, dan berkata, “Aku masuk dulu, ya, Tan.”
“Iya, El,” sahut Bu Ika dan Bu Yani. Kemudian, keduanya menoleh pada lelaki yang membuntuti Elea sedari tadi. “Silakan masuk, Mas Adam,” sambut keduanya, secara bersamaan.
Lelak itu pun mengangguk sopan kepada kedua adik calon mama mertuanya. Setiap langkah yang diambil menuntutnya untuk terus menebar senyum pada siapa saja yang melihat kedatangannya. Elea juga terus melangkah, tanpa melirik ke belakang sekali pun. Memang, jika sudah menyangkut tentang adiknya, fokus Elea tidak bisa diganggu gugat.
“Yasmine mana, Yah?” tanya Elea begitu memasuki area dapur.
Sontak saja Pak Salim menengadah. “Di kamarnya, Kak. Baru pulang, kayaknya lagi mandi,” jawab beliau.
Elea mengangguk paham. “Aku ke kamarnya, deh.” Ia pun berbalik dan langsung bertukar pandang dengan sang kekasih. “Kamu tunggu di sini. Aku ke kamar Yasmine dulu.”
“Iya.”
“Lho, udah pulang? Gimana fitting bajunya? Lancar? Pas, kan?”
Baru saja Elea hendak melanjutkan langkahnya, tiba-tiba sang mama muncul dari dapur dan langsung melemparkan banyak pertanyaan. “Berat badanku naik, Ma, jadi agak sempit tadi.”
Wajah semringah Bu Asri berubah seketika. “Lho? Terus gimana, dong? Acaranya seminggu lagi, lho, Kak.”
“Gampang, nanti aku diet. Pasti bisa turun,” jawab Elea dengan begitu enteng. Kemudian, dia menyerahkan satu kotak donat pada mamanya. “Ini buat Mama sama Ayah. Untuk saudara-saudara udah aku titipin ke Tante Ika waktu ketemu di depan tadi. Yang ini buat Yasmine.”
“Buat dia satu kotak?”
“Iya, ini keju semua. Mama gak suka keju, kan?”
Dengan wajah masam, Bu Asri pun mengangguk, membenarkan pertanyaan putrinya. “Terus itu apa?” tanya beliau lagi sembari menunjuk paper bag hitam yang sedari tadi ditenteng putri kesayangannya.
“Ini sepatu buat Yasmine. Dia belum sempet beli karena sibuk kuliah. Terus tadi aku nemu yang cocok di butik. Adam yang bayarin.”
Saat itu juga, pandangan Bu Asri langsung berpindah pada lelaki yang masih setia berdiri di belakang Elea. “Ya ampun, Mas Adam. Kenapa beli yang mahal-mahal? Padahal, sepatu yang di emperan juga bisa dipakai sama Yasmine.”
“Gak mahal, kok, Ma. Yang penting kualitasnya bagus dan Yasmine nyaman saat pakainya,” jawab Adam—calon suami Elea—sembari tersenyum tipis. “Lagipula ini, kan, untuk acara istimewa. Yasmine harus tampil cantik di nikahan kakaknya.”
“Iya, Tante paham. Tapi jangan keseringan dibeliin barang mewah, nanti Yasmine malah ngelunjak.”
“Ma.” Elea langsung memegang bahu mamanya. Dia menggeleng pelan dan menatap sang mama penuh keseriusan, meminta beliau berhenti mengatakan hal yang buruk tentang Yasmine. “Kamu duduk aja dulu, ya. Aku gak akan lama, kok,” ucap Elea pada Adam.
Lagi, lelaki itu pun hanya mengangguk dan segera mendudukkan diri di samping Pak Salim. “Aku bisa bantu apa, nih, Ma?”
“Gak usah bantu apa-apa. Mas Adam duduk aja. Nanti makan malam di sini, ya? Sekalian bungkus buat abi sama umi di rumah,” ungkap Bu Asri dengan keramahan yang tiada dua. Setelahnya, beliau pun kembali ke dapur. “Elea kenapa sayang banget sama Yasmine, sih? Saudara kandung juga bukan, tapi ngemanjainnya minta ampun!” gumam beliau dengan penuh kekesalan.
Inilah faktanya, Yasmine bukanlah anak kandung Bu Asri, melainkan anak sambung yang dibawa oleh Pak Salim. Mereka menikah 15 tahun yang lalu, setelah menjalin kedekatan setahun lamanya. Elea, yang selama 10 tahun merasakan kesepian karena tidak memiliki saudara, melimpahkan semua kasih sayangnya pada Yasmine. Gadis itu juga menyambut baik cinta Elea dan menjadikannya sebagai panutan.
Namun, kasih sayang yang besar nan tulus itu selalu tidak bisa didapatkan Yasmine dari mama sambungnya. Bu Asri bersikap baik hanya pada tahun pertama pernikahannya dengan Pak Salim. Selebihnya, beliau selalu menunjukkan ketidaksukaannya meskipun dengan cara tersirat. Orang-orang yang menyadari tingkah beliau pun cenderung diam. Mengingat Bu Asri cukup keras kepala, tidak ada yang berani mendebat beliau, termasuk Pak Salim.
Setelah mengetuk pintu beberapa saat, kepala Elea pun menyembul, mengintip adiknya. “Hai.”
Yasmine berbalik. Dia langsung tersenyum pada sang kakak yang baru saja memasuki kamarnya. “Hai,” balasnya sembari mencium punggung tangan Elea.
“Baru beres salat, ya?” tebak Elea setelah melihat mukena adiknya yang dilipat sembarangan, seakan Yasmine sedang dikejar waktu.
Gadis itu hanya mengangguk, kemudian bergerak menuju meja rias untuk memoles pelembap bibir. “Kakak abis pemotretan di mana?”
“Di Kemang. Terus dijemput sama Adam buat fitting baju.” Elea mengekori sang adik dan meletakkan kotak donat di atas meja rias. “Nih, buat isi energi kamu yang terkuras seharian ini.”
Pergerakan Yasmine terhenti seketika. Dia sempat melirik kotak donat itu sebelum akhirnya menatap sang kakak dengan penuh haru. “Makasih. Kakak tahu banget apa yang aku butuhkan.”
“Iya, sama-sama,” ungkap Elea seraya mengusap jilbab hitam yang dipakai adiknya. “Dan ini sepatu yang harus kamu pakai di akad nanti. Kakak yang pilih, tapi Adam yang bayar. Nanti bilang makasih, ya.”
Yasmine langsung memeluk paper bag yang diberikan kakaknya. “Makasiiiiiih!”
“Makasih mulu, kayak sama siapa aja.” Merasa urusannya telah selesai, Elea pun melangkah menuju pintu kamar sang adik. “Oh iya. Adam lagi di luar, tuh. Kalau udah beres, langsung bilang makasih, ya.”
“Siap!” jawab Yasmine, lengkap dengan telapak tangan di depan dahi, pertanda hormat.
Puas dengan jawaban sang adik, Elea pun segera keluar. Bukan hanya Yasmine, dirinya juga perlu membersihkan diri. Namun, sebelum mandi, Elea harus membersihkan riasan yang menempel di wajahnya sejak tadi. One shoulder dress di atas lutut yang bersembunyi di balik long coat hitam pun harus segera Elea ganti dengan pakaian yang lebih sopan. Jangan sampai kejadian Minggu lalu terulang, ketika kedua orang tua Adam datang dan memergoki Elea masih memakai baju kurang bahan setelah pemotretan di salah satu studio Jakarta.
Baru saja Yasmine hendak membuka sepatu yang diberikan Elea, tetapi perhatiannya teralihkan pada layar ponsel yang menyala. Sebuah pesan singkat baru saja diterimanya.
Ibnu
Besok jadi cari novel sama Nurul? Aku boleh ikut, gak?
Senyum di wajah Yasmine kian mengembang. Isi pesan itu tidak akan begitu berkesan untuk Yasmine jika orang lain yang mengirimnya. Jika bukan Ibnu, dua pertanyaan di pesan itu akan terasa hambar. Jika bukan Ibnu, hati Yasmine tidak akan berbunga-bunga saat ini.
Sayangnya, walaupun lelaki itu begitu mampu membuat Yasmine kasmaran, hubungan mereka hanya sebatas teman.
Oh ternyata Yasmin cuman anak sambung toh....dan ibu tirinya memberikan perlakuan yang berbeda
Comment on chapter 1. Kehidupan Yasmine