Read More >>"> Titik Kembali (3. Belenggu Kenangan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Titik Kembali
MENU
About Us  

"080808."

Bella mengerjap bingung. "Iya, Mas?"

"Password-nya."

"Oh, iya, Mas."

Rama segera menekan password pintu apartemen dan membawa langkahnya masuk lebih dulu. Bella yang datang hanya dengan satu koper pun berjalan mengikuti Rama dari belakang. 

Pandangannya menyapu bersih ruangan di dalam apartemen Rama yang cukup besar itu. Bella menoleh ke arah lelaki yang sudah menjadi suaminya itu saat namanya dipanggil. 

"Kamu bisa menepati kamar itu." Rama menunjuk salah satu kamar di dekat ruang TV. 

"Baik, Mas."

"Istirahat saja. Kamar saya di sana, kamu bisa bilang saya kalau butuh sesuatu," ujar Rama sebelum beranjak meninggalkan Bella untuk masuk ke kamarnya sendiri. 

Lelaki itu nampak sangat lesuh. Pandangannya tidak lagi memancarkan semangat seperti yang Bella lihat pertama kali. Pasti sangat berat mengetahui bahwa calon istrinya hilang di hari pernikahan. 

"Oh iya, makanannya!" seru Bella tiba-tiba. 

Dia mengambil tas makanan, lalu berjalan menuju dapur. Disusunnya lauk-pauk pemberian Bu Salya ke dalam lemari pendingin sesuai perintah. Setelahnya Bella meraih satu botol air dingin dan satu buah gelas untuk menghilangkan rasa hausnya. 

Drrt... Drrt... 

Bella meraih ponsel di saku outer dan menilik nama di layar benda pipih tersebut. Senyumnya mengembang bersamaan dengan gerakan tangannya menempelkan ponsel ke telinga. 

"Halo, Bunda..."

 

###

 

Berdasarkan petuah ibundanya untuk menjadi istri yang baik, maka Bella harus bangun pagi-pagi sekali demi membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan. Namun, semangatnya tiba-tiba pudar ketika dia tidak menemukan Rama di manapun. Bella bahkan memeriksa kamar lelaki itu, tetapi Rama sudah tidak di sana. 

Pencariannya berakhir ketika Bella ke dapur dan mendapati menu sarapan sudah terhidang di sana. Serta ada sticky notes tertempel di atas meja makan. 

Jangan lupa sarapan, BellaMaaf, saya ada urusan mendesak.

Senyum Bella mengembang sempurna. "Manisnya," gumam gadis itu. 

"Tunggu, bukankah seharusnya ini semua tugasnya istri?" Mata Bella mengerjap dua kali. 

Tak ingin mengurusi hal itu lebih jauh, Bella segera mengambil duduk untuk menghabiskan sarapannya. Lima menit kemudian dia segera bersiap untuk pergi ke perpustakaan kampus demi melanjutkan rivisi.

Beberapa langkah ketika keluar dari lobi apartemen, mata Bella membelalak melihat Laksmana berdiri menjulang di sana. Lelaki itu melambaikan tangan saat pandangannya bertubrukan dengan manik Bella. 

"Kok lo bisa di sini?" tanya Bella sarkas. 

Laksmana mendengus tak terima. Harusnya gadis itu menyapanya dengan lembut, bukannya memberi sambutan sesinis itu. "Kalau gue jawab gue ke sini naik karpet terbang lo percaya?"

"Maksud gue itu lo ada urusan apa pagi-pagi udah ke sini?"

"Emangnya gue nggak boleh ke sini?"

"Ih, ya nggak gitu!" geram Bella. Dia mengambil napas sejenak demi melunturkan emosinya. Kata orang tidak baik marah sebelum jam sembilan pagi, nanti dia cepat tua. "Jadi, lo mau jawab pertanyaan gue, apa gue tinggal?"

"Gue ke sini mau ngajak lo pergi ke kampus bareng," ujar Laksmana pada akhirnya. 

"Oh, ya udah ayo!"

Bella berjalan lebih dulu menuju pintu keluar. Laksmana menyusul setelah dibuat kebingungan oleh jawaban gadis itu yang kelewat cepat. 

"Lo udah sarapan belum?" tanya Laksmana ketika dia memakaikan Bella helm. 

Gadis itu mengangguk bersamaan dengan senyum manisnya yang indah. "Udah, tahu nggak kalau—"

"Kak Rama bikinin lo sarapan, right?" tebak Laksmana.

"Exactly!" sentak Bella sambil cengengesan. 

"Ya udah, ayo buruan naik!"

"Siap!"

Begitu mesin motor dinyalakan, Bella segera naik ke belakang Laksmana. Dia melingkarkan lengan di perut lelaki itu seperti biasa. Namun, rupanya Laksmana merasa tertegun sesaat. Pandangannya turun ke tangan Bella yang memeluknya.

 

###

 

Demi cerahnya cuaca hari ini, Rama ingin sekali mengutuk dirinya yang bahkan tak tahu di mana keberadaan orang terkasihnya—Aqila. Mereka sudah menjalin hubungan selama dua tahun, namun agaknya Rama masih belum begitu mengenal perasaan gadis itu. 

Bahkan, ketika dia ditanya oleh calon ayah mertuanya sendiri soal Aqila, Rama tertegun lama sekali. Bagaimana dia menjawab pertanyaan Lukman tentang; "Apa kamu mendapati perilaku aneh dari Aqila sebelum kalian dipingit?"

Maka hanya gelengan kepalalah yang bisa Rama berikan pada Lukman. Dia menunduk demi menghindari kontak mata dengan pria paruh baya di depannya. 

"Kamu tidak perlu merasa bersalah, Nak. Justru kami sebagai pihak keluarga Aqila-lah yang merasa sangat bersalah. Kami selaku orangtuanya tidak tahu apapun, lalu bagaimana bisa kami menuntutmu atas ini." Lukman mengulum bibirnya untuk menjeda ucapan panjang itu. Setelahnya, pria baya tersebut mengulurkan selembar kertas yang tersobek. "Lihatlah, Rama. Ini alasan kami selalu percaya bahwa Aqila tidak hilang dengan sengaja."

Rama mendongak untuk mengambil sobekan kertas yang disodorkan Lukman. Terdapat tulisan tangan Aqila di sana yang sudah familier di mata Rama. 

Aku akan menjadi istri Rama besok. Ah, rasanya aku sudah tidak sabar sekali...

Aqila tidak mungkin berkhianat. Meskipun seluruh dunia menentang pendapatnya soal itu, Rama akan tetap meyakininya.

"Sebagai perwakilan keluarga, saya minta maaf, Rama..." lirih Lukman. 

Rama menggeleng pelan. "Kenapa Papa minta maaf? Ini semua musibah, mungkin memang belum saatnya aku dan Aqila menikah."

"Maaf kami tidak bisa menjaga Aqila dengan baik. Maaf juga kami melepaskan tanggungjawab pada hari H dan tidak datang karena Mama Aqila jatuh pingsan. Maaf karena kamu harus menerima semua ini, dan menanggungnya sendirian." Dengan menebalkan wajahnya Lukman mengungkapkan segala rasa malunya di depan Rama. 

"Tidak ada yang salah di sini. Tidak ada, Pa..."

"Semua keputusan selalu ada di tanganmu, Nak. Apapun itu," ujar Lukman. 

"Aku akan mencari Aqila." Rama memantapkan hatinya untuk tetap mencari di manapun Aqila berada. "Hanya dia yang pada akhirnya menjadi pasangan hidupku."

Lukman tersenyum getir mendengar keputusan Rama. Dia tahu sejak awal bahwa lelaki yang dipilih putrinya adalah sosok yang sangat baik. Lukman tidak pernah ragu sedikitpun dengannya. 

"Soal pernikahanmu yang sekarang, Rama. Maaf, saya hanya ingin tahu. Apa yang akan terjadi nanti?" tanya Lukman. 

Rama terdiam sejenak. Bayangan wajah Bella dan keputusan gadis itu kemarin masih terpatri di kepalanya. Gadis ajaib yang tak terbaca sama sekali. 

"Aku dan dia sepakat berpisah jika Aqila sudah ditemukan, Pa."

"Bagaimana dengan gadis itu?" Lukman bertanya cemas. Dia juga seorang ayah dari anak perempuan, pastilah ada bayangan soal apa yang akan dihadapi Bella kelak. 

"Itu semua atas keinginan gadis itu sendiri. Papa tidak perlu khawatir."

Senyum terbit di bibir Lukman, kali ini terlihat sangat tulus. "Maka tolong jaga dia dengan baik, Nak. Meski hubungan kalian hanya sementara, tetapi bagaimanapun dia adalah istri sahmu saat ini."

Rama menganggukinya. Dia bahkan sudah berjanji akan menjaga keputusan baik Bella yang sudah membantu keluarganya menemukan jalan keluar. 

 

###

 

"Mas Rama tuh sukanya makan apa sih?"

"Dia hobinya ngapain kalau nggak kerja?"

"Oh iya, kalau lagu favorit dia apa?"

"Zodiaknya Mas Rama apa?"

Laksmana mengempas buku yang tengah dibacanya saat telinganya berdengung menerima semua pertanyaan Bella. Saat dia mendongak untuk meluapkan kekesalan, justru senyum Bella menghentikan niatnya. 

"Berisik," desis Laksmana. 

"Oke gini aja." Bella mengangsurkan buku catatannya ke hadapan Laksmana, lalu memberikan bolpoin kepada lelaki itu. "Isi aja semua pertanyaan itu ya, nggak perlu jawab pakai suara."

"Ck," decak lelaki itu. Tangannya dengan cekatan mengangkat buku catatan Bella dan membaca isinya. Dia tercekat menemukan rentetan pertanyaan seputar kakaknya. 

"Gampanglah itu, isi ya."

"Ogah," pungkas Laksmana seraya mengembalikan buku catatan itu ke Bella. 

"Ih, kenapa sih lo?" desis Bella. 

Laksmana beranjak dari duduknya. "Gue ada bimbingan."

"Nggak seru, sana sana!" usir Bella. Bodo amat suaranya mengganggu pengunjung perpustakaan yang lain, dia sedang kesal dengan sahabatnya itu. 

"Duluan, bye.."

"Iya, iya, bye."

Laksmana sengaja melangkah sepelan mungkin untuk memperhatikan Bella. Gadis itu kembali tersenyum dengan wajah berbunga-bunga hanya karena memikirkan soal Rama. Hal yang mulai diirikan oleh Laksmana.

Bella mulai fokus pada laptop setelah daftar pertanyaan seputar Rama selesai dia susun. Satu-persatu akan dia temukan nanti. Ya Tuhan, memikirkannya saja semakin membuat gadis itu bahagia. 

Selesai dengan urusannya di perpustakaan kampus, Bella ingin segera pulang. Dia tidak sabar bertemu dengan Rama dan menyiapkan makanan untuk menyambut kepulangan lelaki itu. 

"Mas Rama kalau pulang jam berapa ya?" gumam Bella bertanya-tanya. Dia baru saja selesai membereskan rumah, saat ini dirinya sedang menimang rencana untuk menyiapkan makanan atau tidak. "Kenapa gue nggak nanya sama Mana tadi ya?"

Bella akhirnya memutuskan untuk menyiapkan makanan sekitar pukul enam sore. Dia menyiapkannya di meja makan, lalu kembali ke ruang tengah untuk menunggu di sana sembari menonton sinetron. Lama dia menunggu, lalu memutuskan untuk kembali ke dapur dan menghangatkan lauk. Setelahnya kembali lagi ke ruang TV untuk menunggu, hingga tak sadar dia tertidur di atas sofa.

 

###

 

Rama melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Dirasa semua karyawannya mungkin sudah pulang karena jam kerja telah usai, Rama menutup laptopnya. Dia menempelkan punggung ke sandaran kursi dan memejamkan mata sejenak. 

Ketika itu tanpa sengaja bayangan wajah Aqila memenuhi isi kepalanya. Senyum ceria gadis itu mampu menahan pejaman mata Rama. 

"Aku suka, kok."

"Serius?"

"Serius, Rama. Apa salahnya pernikahan diadakan di rumah mempelai pria? Toh, yang terpenting itu prosesinya, kan? Lagipula, kalau acaranya diadakan di rumah keluarga kamu, kamu kan bisa sekalian pamerin aku."

"Maksudnya?"

"Biar kamu bisa pamer kalau pengantin kamu itu cantik. Itu maksud aku, Rama."

Sudut bibir Rama terangkat. Dalam bayangan itu dia ingat sekali tak ada satupun yang membuatnya menemukan alasan atas hilangnya Aqila. 

Tok... Tok... Tok... 

Ketukan pintu di ruangannya menyadarkan lamunan Rama. Dia segera menegakkan punggung ketika sekretarisnya masuk. 

"Maaf, Pak. Apakah saya boleh izin pulang lebih cepat? Ibu saya sedang sakit hari ini."

"Oh, tentu saja. Lagipula pekerjaan memang sudah selesai," jawab Rama. 

"Baik, Pak. Terima kasih banyak, saya permisi..."

Tak berselang lama setelah kepergian sekretarisnya, Rama juga beranjak keluar dari ruangannya. Dia melangkah gontai tanpa semangat. Bahkan ucapan selamat dari beberapa karyawan yang ia temui di lobi pun tak dihiraukan. Saat itu Rama sedang membiarkan Aqila memenuhi pikirannya. 

Langkah kakinya mendadak berhenti ketika netranya bertumpu ke kafe di seberang kantornya. Kafe yang selalu menjadi tempat pertemuannya dengan Aqila. 

"Suatu hari nanti setiap kita melewati kafe ini, kita akan teringat dengan pertemuan pertama kita yang manis."

"Maksudmu perdebatan kali."

"Haha, benar juga. Tapi hari itu kan emang benar-benar salahmu, Rama."

"Apapun itu, Qila. Bagiku... Itu momen paling indah."

"Kamu lagi gombal?"

"Bukan, itu fakta."

Dalam hatinya Rama selalu bertanya-tanya tentang keberadaan Aqila. Namun, dia masih belum sanggup mencari gadis itu. Rencana pertamanya dengan mencari tahu lewat keluarga gadis itu tak membuahkan hasil. Jadi, selanjutnya ke mana dia harus mencari jawaban? 

Rama mengistirahatkan pikiran galaunya dengan mendatangi galeri lukisan milik Aqila yang masih digelar untuk sepekan ke depan. Dia mematung di salah satu lukisan yang memperlihatkan gambaran langit senja. Rama ingat sekali saat itu dia menemani Aqila mendapatkan objek gambarnya di sebuah pantai yang mereka kunjungi bersama. 

"Lukisan ini bakalan jadi yang paling favorit dari semua koleksi lukisanku di galeri nanti."

"Alasannya?"

"Karena lukisan ini menyimpan kenangan kita. Kenangan saat Rama dan Aqila menikmati senja mereka yang indah."

"Dan aku akan jadi orang yang akan membeli lukisan itu."

"Tidak, tidak, lukisan ini tidak akan aku jual."

"Kenapa?"

"Pokoknya tidak boleh, ini kan punyaku!"

Rama menghabiskan waktunya sendirian lebih lama. Dia baru kembali ke apartemen sekitar pukul sembilan malam. Saat masuk ke dalam apartemennya, pemandangan Bella yang tengah tertidurlah yang dilihat Rama pertama kali. 

Lelaki itu melangkah ke arah sofa, berjongkok untuk membangunkan gadis itu. Diusapnya pelan lengan Bella, Rama secara halus memanggil nama Bella. 

"Bell... Bella, ayo bangun."

Tidak butuh waktu lama Bella pun membuka matanya. Dia langsung tersenyum senang melihat Rama di hadapannya. "Mas Rama baru pulang?" tanyanya. 

"Iya. Maaf ya saya ganggu tidur kamu, saya hanya ingin menyuruhmu pindah ke kamar, nanti badan kamu sakit kalau tidur di sofa."

"Saya ketiduran, Mas. Oh iya, saya akan panaskan lauk dulu. Mas Rama pasti lapar, kan?" 

Rama menggeleng. "Tidak usah, kamu istirahat aja, saya tidak lapar kok."

Bella ingin bilang kalau dia sudah menyiapkan makanan khusus untuk Rama. Tetapi gadis itu merasa tidak bisa mengatakan apapun. 

"Saya duluan ke kamar ya, selamat istirahat."

"Iya, Mas Rama juga ya, selamat istirahat."

Bella menarik napas panjang setelah mendengar suara pintu tertutup dari kamar Rama. Mendadak rasa semangatnya menghilang. Dia pasti terlalu bermimpi untuk bisa mengembalikan senyum Rama. 

"Sepertinya hanya Mbak Aqila saja yang bisa membuat senyum Mas Rama kembali," gumam Bella. 

 

 

 

###

Susah ya Bell bikin Mas Rama ceria lagi... 

Para pembaca tahu nggak gimana caranya bikin Rama semangat lagi? 

Tolong kasih tahu Bella, dong... 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • aiana

    tanda-tanda bel takdir berbunyi ini mah

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Tetesan Air langit di Gunung Palung
396      267     0     
Short Story
Semoga kelak yang tertimpa reruntuhan hujan rindu adalah dia, biarlah segores saja dia rasakan, beginilah aku sejujurnya yang merasakan ketika hujan membasahi
Gareng si Kucing Jalanan
6536      2772     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...
Petualangan Angin
136      120     1     
Fantasy
Cerita tentang seorang anak kecil yang bernama Angin. Dia menemukan sebuah jam tangan yang sakti. Dia dengan kekuatan yang berasal dari jam itu, akan menjadi sesuatu kekuatan yang luar biasa, untuk melawan musuhnya.
Stay With Me
157      130     0     
Romance
Namanya Vania, Vania Durstell tepatnya. Ia hidup bersama keluarga yang berkecukupan, sangat berkecukupan. Vania, dia sorang siswi sekolah akhir di SMA Cakra, namun sangat disayangkan, Vania sangat suka dengan yang berbau Bk dan hukumuman, jika siswa lain menjauhinya maka, ia akan mendekat. Vania, dia memiliki seribu misteri dalam hidupnya, memiliki lika-liku hidup yang tak akan tertebak. Awal...
mutiara hati
697      283     1     
Short Story
sosok ibu
Bulan dan Bintang
5244      1396     1     
Romance
Orang bilang, setiap usaha yang sudah kita lakukan itu tidak akan pernah mengecewakan hasil. Orang bilang, menaklukan laki-laki bersikap dingin itu sangat sulit. Dan, orang bilang lagi, berpura-pura bahagia itu lebih baik. Jadi... apa yang dibilang kebanyakan orang itu sudah pasti benar? Kali ini Bulan harus menolaknya. Karena belum tentu semua yang orang bilang itu benar, dan Bulan akan m...
Premium
GUGUR
3481      1677     9     
Romance
Ketika harapan, keinginan, dan penantian yang harus terpaksa gugur karena takdir semesta. Dipertemukan oleh Kamal adalah suatu hal yang Eira syukuri, lantaran ia tak pernah mendapat peran ayah di kehidupannya. Eira dan Kamal jatuh dua kali; cinta, dan suatu kebenaran yang menentang takdir mereka untuk bersatu. 2023 © Hawa Eve
Me & Molla
493      275     2     
Short Story
Fan's Girl Fanatik. Itulah kesan yang melekat pada ku. Tak peduli dengan hal lainnya selain sang oppa. Tak peduli boss akan berkata apa, tak peduli orang marah padanya, dan satu lagi tak peduli meski kawan- kawannya melihatnya seperti orang tak waras. Yah biarkan saja orang bilang apa tentangku,
Aku baik-baik saja Âż?
2317      1020     2     
Inspirational
Kayla dituntut keadaan untuk menjadi wanita tangguh tanpa harus mengeluh, kisah rumit dimulai sejak ia datang ke pesantren untuk menjadi santri, usianya yang belum genap 17 tahun membuat anak perempuan pertama ini merasa banyak amanah yang dipikul. kabar tentang keluarganya yang mulai berantakan membuat Kayla semakin yakin bahwa dunianya sedang tidak baik-baik saja, ditambah dengan kisah persaha...
Acropolis Athens
3798      1649     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.