Aku terpaksa mengambil tawaran Pak David soal Russelia GTC. Ibra marah besar saat dia mengetahui bahwa aku jalan bersama Ray. Ternyata Ibra menelepon Dayana di hari itu dan Dayana mengaku sedang tidak bersamaku.
Lalu aku sempat mengomporinya soal foto skandal itu, tapi Ibra malah bilang, “Emang kenapa? Itu kejadian sewaktu kita belum jadian. Nggak bisa dikatakan selingkuh. Beda sama lo yang jalan begitu aja setelah gue bilang nggak boleh.”
“Meskipun lo pacar gue, tapi bukan berarti lo ngatur-ngatur gue.”
Ibra tersenyum sinis. “Jadi pengorbanan gue sia-sia ya. Gue sampe minta tolong Papi supaya lo lolos dari kasus sontekan. Gue sengaja request supaya Papi ngebujukin Pak David masukin lo ke Russelia GTC. Gue juga udah menyuruh Davina supaya nggak mengusik lo lagi. Oh iya, jangan lupa. Tante Esti pernah kena kasus yang bisa status PNS-nya dicabut. Lo mungkin nggak tahu, karena pasti orangtua lo nggak cerita. Pokoknya itu yang menyebabkan Tante Esti nge-drop dan masuk rumah sakit. Papi juga yang ngeberesin soal itu.”
Hatiku mencelus.
“Gue bisa aja dengan tega ngebocorin semua ini dan membatalkan semua pertolongan gue.”
Nggak bisa. Aku nggak mau Mama sakit lagi. Kalau Mama dicabut PNS-nya, bagaimana dengan biaya sekolahku? Meskipun aku mendapatkan potongan, tetap saja mahal. Belum lagi cicilan rumah, mobil, dan utang keluarga Mama. Gaji Papa saja nggak akan menutupi.
“Oke, gue ambil tawaran itu. Puas?”
Belum ternyata. Ibra menunjuk jam tangan milik Ray yang kukenakan.
“Gue tahu itu bukan punya lo. Punya siapa? Ray?”
Aku melepas jam tangan milik Ray.
“Balikin secepatnya. Besok gue beliin buat lo yang lebih bagus.”
***
Mendekati bulan Oktober, yaitu bulan pendaftaran Jardine dan Oxford, aku semakin sibuk. Aku cukup terbantu sekali dengan mentor di Russelia GTC. Ditambah para mentor membantuku untuk mempersiapkan tes tulis. Kebetulan aku mengambil Computer Science, jadi ada yang namanya Mathematics Admissions Test (MAT).
Sebelum Kak Mira balik lagi ke Oxford, dia sempat menyarankanku untuk masuk jurusan yang sama dengannya.
"Kamu juga harus lihat intake-nya, Ki. Computer Science yang lulus sedikit. Cuma diambil 41 orang dari seluruh dunia. Kalau Engineering bisa 171 orang. Apalagi kita sekolah di Indonesia yang Kakak akui masih banyak yang missed. Lebih baik kamu ambil jurusan yang chance-nya lebih besar." Begitulah saran darinya.
Namun dasarnya diriku yang keras kepala. It's always been a dream of mine, masuk Oxford dengan jurusan Computer Science.
Di tengah-tengah kesibukanku, Ibra berulah. Dia berusaha memaksaku untuk datang ke birthday party-nya Cello. Dia gila ya?!
Sampai aku sangat kesal saat dia menarikku paksa untuk ikut dengannya masuk ke dalam mobil. Padahal aku sudah janji ingin video call dengan Kak Mira untuk konsultasi tes yang semakin dekat.
Refleks aku melepas cekalan tangannya.
“Tahu nggak sih, Ki? Lo itu bukan rajin lagi, tapi terobsesi. Lo nggak takut gila? Padahal lo pasti keterima kok.”
Hatiku seketika panas. "Emangnya lo siapa? Admission kampus yang nyatain gue lolos apa nggak? Dapet beasiswa buat kuliah di Oxford itu segalanya bagi gue, Im. Lo nggak bakal paham, karena lo mau kuliah di mana pun, nggak pernah mikirin soal biaya. Kita beda, Im."
Aku pergi meninggalkannya begitu saja. Lagi pula nggak ada waktu lagi untuk memikirkan hal tersebut. Masa bodoh Ibra minta putus atau apalah.
***
Setiap makan siang, aku berusaha menyendiri. Tadinya aku belajar di perpustakaan, tapi ternyata aku baru tahu kalau di pojokan selalu ada Ray. Itu artinya dia selalu menguping setiap aku bertengkar dengan Ibra dong? Aku nggak peduli. Dia sudah melabeliku dengan wanita yang menyedihkan, buat apa aku memikirkan reputasiku di hadapannya?
Aku nggak mau ada drama lagi. Makanya aku berinisiatif untuk pergi ke lab komputer. Mudah-mudahan Ibra nggak mengikutiku lagi. Namun aku gagal, karena Ibra dan teman-temannya menyeretku ke rooftop. Jujur, aku lupa kalau hari ini ulang tahun. Ada kue tart besar dan Ibra menyodorkan satu buket bunga.
“Tadinya kita kepingin ngasih surprise tengah malam, tapi bokap lo mengerikan kata si Ibra,” cetus Cello.
Aku hanya bisa menyengir. Faktanya Papa dan Mama memang belum tahu kalau aku dan Ibra berpacaran. Entah Tante Astri dan Om Rashid tahu atau tidak.
Lamunanku buyar saat Ibra menyodorkan satu kotak hadiah. Lalu teman-temannya Ibra serempak bersorak, “Cium! Cium!”
Aku memelotot dan menggeleng keras. “Kalau Miss. Deli tahu nanti kita semua bisa dipanggil. Kalian nggak ingat kasus foto ciuman angkatan tahun lalu yang diprotes wali murid?”
“Relaks, Miss. Deli nggak mungkin patroli. Mending langsung cium aja, bro. Pipi dulu nggak apa-apa. Nanti malam tancap bibir.” Cello dan yang lainnya tertawa terbahak-bahak.
Aku nggak bisa mencegah saat Ibra mencium pipi kiriku. Refleks aku menamparnya dan seketika semuanya membeku. Aku melempar hadiah dan berlari, karena air mataku sudah luruh ke kedua pipiku.
Hatiku semakin perih saat tadi sebelum aku berlari, aku sempat mendengar, “Sok suci banget. Dicium pipi doang pake nampar segala.”