Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lazy Boy
MENU
About Us  

“Ray, gue duluan ya. Ibra maksa jemput, dia udah sampe di parkiran. Lo udah paham kan sama yang gue jelasin tadi? Coba lo kerjain di rumah, besok gue periksa semua jawaban lo. Makasih traktiran dan wejangannya ya, Pak Ustaz.” Aku melambaikan tangan.

 

Namun sebelum keluar, aku berhenti untuk memakai jilbab yang kubawa saat kursus tadi. Tadi aku lepas saat di jalan. Aku sedang ingin membuktikan kata-kataku tadi. Ya, aku sedang bereksperimen. Aku tahu kalau Ibra akan membawaku untuk berkumpul bersama teman-temannya di mal.

 

Sebenarnya ada yang kurahasiakan dari Ray. Teman-temannya Ibra kerap kali mengomentari fisik-fisik wanita. Seperti membandingkan Davina dengan Bunga atau Shakira. Anehnya, cewek-cewek itu nggak merasa risi. Malah mereka merasa mendapatkan awards jika di hari itu salah satu dari mereka diunggulkan dari yang lain. Tentu saja aku duduk berjauhan dengan mereka dan hanya duduk di samping Ibra supaya aku merasa lebih aman. Tapi ya itu, beberapa cowok malah sok akrab.

 

Dari kaca depan, aku melihat Ibra yang di belakang kemudi.

 

"Seriously?" Ibra menunjukku saat aku membuka pintu mobil. Ah, pasti ini karena jilbab.

 

“Gue tadi habis kursus ngaji.”

 

“Kenapa nggak dilepas? Kan udahan ngajinya.”

 

Aku nggak menggubrisnya.

 

"Tumben lo dibolehin bawa mobil," kataku ketika mobil sudah melaju.

 

"Mami sama Papi lagi nggak di rumah. Gue minta kunci mobil sama sopir."

 

Ibra membelokkan mobil ke parkiran mal.

 

"Jangan kemaleman ya," ujarku.

 

"Gue udah izin kok ke Tante Esti. Dibolehin." Ibra membuka seatbelt.

 

"Tapi kan besok sekolah, Baim."

 

"Iya, iya, bawel." Ibra tertawa. "Lo beneran mau masuk pake jilbab?"

 

Aku mengernyitkan dahi. "Emangnya ada aturan nggak boleh masuk pake jilbab? Kalau lo nggak nyaman, kita pulang aja."

 

"Oke, oke. Ayo, keluar."

 

Benar saja, semua teman-temannya Ibra menatapku sseperti alien. Bahkan Davina langsung berbisik-bisik layaknya nenek sihir dengan Bunga dan Shakira. Dugaanku benar, nggak ada lagi yang sok akrab. Jangankan dekat-dekat, mereka menjauhiku seolah aku membawa semacam virus. Aku juga mendengar celetukan, “Ibra kenapa ngebawa ibu-ibu majelis taklim?”

 

Lalu aku berpamitan kepada Ibra untuk ke toilet. Sebenarnya aku nggak ke toilet, tapi pulang. Aku memesan ojek online dan mengirim pesan kepada Ibra untuk meminta maaf. Nggak ada balasan dari Ibra. Dia pun nggak berusaha meneleponku. Ada sedikit nyeri di hati, tapi aku bersyukur. Seenggaknya Ibra nggak akan memaksaku lagi untuk bergabung bersama komplotannya. Apalagi aku muak jika harus berdekatan dengan Davina.

 

***

 

Final test semakin dekat. Setiap istirahat, klub makan di gazebo selalu memanfaatkan waktu belajar sambil makan. Tepatnya karena aku yang sering mengajarkan Ray. Lalu berakhir dengan Dayana dan Gamal memintaku untuk mengajari Math. Aku senang, karena dengan begini ada Gamal dan Dayana yang memaksa Ray untuk belajar. Sehingga aku nggak kejar-kejaran lagi kayak waktu itu.

 

Aku pun mengambil buku tulis Ray ketika dia bersandar di sisi kayu gazebo. Dia sama sekali nggak antusias belajar. Aku menulis rumus-rumus dan penjelasan dengan pulpen yang kubedakan warna-warnanya. Supaya Ray bisa lebih mudah untuk memahaminya. Aku juga banyak menggambar panah untuk tahapan rumusnya.

 

"Tuh, belajar!" Aku melempar bukunya tepat Ray ingin memejamkan kedua matanya.

 

Tadinya dia seperti ingin mengomel, tapi setelah membuka buku tulisnya, dia malah mesam-mesem. Dasar, aneh!

 

"Ki, dicariin Ibra tuh," panggil Dayana yang baru saja dari toilet. "Tadi dia nanyain gue."

 

Aku hanya menatap Dayana dan nggak menanggapinya. Malas sekali. Apa aku perlu memakai jilbab di sekolah supaya dia nggak mengajakku bersama teman-temannya? Andai saja Dayana ikut. Aku pasti mau. Ibra pernah mengajak Dayana, tapi Dayana menolaknya. Katanya, "Nanti gue jadi kambing congek di sana."

 

***

 

Aku seperti dihantui oleh Ibra. Nggak di sekolah, di rumah. Sekarang saja saat liburan, pagi-pagi dia sudah datang ke rumah.

 

"Ajarin gue Math dong." Tanpa dosa, Ibra melenggang masuk begitu saja.

 

Ibra datang bersama Tante Astri, tapi ternyata Tante Astri ingin pergi dengan Mama. Papa sendiri sejak jam tujuh tadi sudah melajukan motor menuju sekolah. Ada keperluan katanya. Papa semakin sibuk semenjak diangkat menjadi Kepala Sekolah. Sekolah Papa berjarak sekitar dua puluh menit dari rumah.

 

Day, ke rumah dong. Mau belajar bareng, nggak? Ada Ibra di sini. Gue nggak enak berduaan doang di rumah.

 

Aku mendesah kecewa saat mendapatkan kabar bahwa Dayana pergi bersama keluarga kakaknya hari ini. Akhirnya aku mengajarkan Ibra. Ketika dia sibuk mengerjakan soal-soal yang telah kuajari, aku berkutat dengan materiku.

 

Setelah Ibra dan Tante Astri pulang, ada perdebatan sengit antara Papa dan Mama.

 

"Kok Mama ngebolehin Ibra masuk ke rumah? Berduaan doang sama Adek. Nanti dilihat tetangga nggak enak!" seru Papa.

 

"Ibra kan cuma belajar bareng, Pa. Mereka nggak macem-macem. Biasanya juga Ibra dulu sering ke sini. Mereka udah temenan dari kecil," sahut Mama.

 

"Waktu kecil itu beda, Ma. Dulu Dayana juga ada. Ini cuma berduaan. Adek sudah besar. Nggak bisa dibolehin berduaan tanpa ada orang dewasa."

 

Aku berusaha menengahi Mama dan Papa. Lantas aku berjanji agar selanjutnya nggak terulang kejadian serupa.

 

***

 

Satu masalah belum usai, masalah lain datang. Sebulan sebelum Final Test, Ibra kembali menanyakan pertanyaan yang selama ini sengaja kugantung.

 

"Ki, kapan lo ngasih kepastian? Are we dating or just friends?" Ibra membuntutiku dari semenjak aku keluar kelas.

 

"Not here."

 

"Okay, let's go for coffee." Ibra menarik tanganku. Padahal tadi aku sempat menulis pesan kepada Ray. Aku ingin membicarakan soal gajiku. Terpaksa aku membatalkannya.

 

Setelah aku dan Ibra duduk di cafe dekat lobi sekolah, kami hanya sibuk mengaduk-aduk minuman masing-masing.

 

"Are you seeing someone, Ki?" tanya Ibra tiba-tiba.

 

"Hah? Jangan gila deh, Im. Gue nggak ada waktu buat pacaran. Lo tahu kan Papa strict banget soal lawan jenis. Pas lo ke rumah dan kita cuma berduaan, gue dimarahin sama Papa."

 

"Do you still love me?"

 

Seharusnya aku bisa menjawab, "I do," dengan mudah. Namun entah kenapa lidahku terasa kelu. Apa iya, aku masih menyukainya?

 

Aku mencoba untuk menatap Ibra. Dari ujung poninya yang acak-acakan, kedua matanya yang lebar, hidung bak perosotan, garis pipi yang tegas. Lalu aku merogoh ranselku untuk mengambil ponsel. Buru-buru aku membuka aplikasi kamera. Terlihat semburat merah sekilas di kedua pipiku.

 

Maybe I still love him.

 

Bukan mulutku yang mengeluarkan suara. Hanya sebuah anggukan. Ibra terlihat sangat semringah dan dia mengambil tanganku. Di saat dia ingin mencium punggung tanganku, aku segera menariknya.

 

Ini salah.

 

Sehari setelahnya, gosip bahwa diriku dan Ibra berpacaran tersebar ke seantero kelas XI. Bahkan sampai ke adik kelas dan merebaklah isu barisan patah hati. Siapa yang nggak naksir Ibra? Apalagi dia baru saja menyabet medali emas di Sirkuit Nasional Wushu.

 

Nggak seharusnya begini. Ini salah!

 

Namun aku nggak sempat memikirkan hal itu. Aku sibuk berkutat dengan Final Test yang semakin dekat. Pokoknya kalau sampai Papa tahu gosip ini, aku akan memenggal kepala Ibra.

 

Semenjak gosip bahwa aku berpacaran dengan Ibra, Ray nggak pernah datang makan bersama lagi. Aku mencarinya di lorong Music Room, nggak ada. Di perpustakaan juga nggak ada. Saat nggak sengaja berpapasan, Ray langsung lari terbirit-birit seakan aku ini hantu.

 

Padahal ujian kali ini adalah momen krusial untuk mengajarinya. Makanya aku selalu memberikan ringkasan catatan melalui Gamal untuk Ray. Mudah-mudahan dia bisa membacanya dan belajar dengan ringkasan itu.

 

Aku berharap ujian berjalan lancar. Banyak sekali yang mengganggu soal konsentrasi. Entah soal Ibra atau Ray. Namun dugaanku salah. Saat ujian aku dituduh menyontek! Davina yang meneriakiku kepada pengawas. Lalu ditemukan kertas soal ujian Math beserta kunci jawabannya di kolong mejaku. Kejadian ini telah menyeretku kepada sidang menegangkan di ruangan Pak David bersama Miss. Deli. Kemudian Mrs. Shelly turut dipanggil.

 

Di saat yang bersamaan, aku terngiang-ngiang perkataan Davina beberapa minggu yang lalu. "But, I believe in karma. One day it will get to you, Kinanthi."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
April; Rasa yang Tumbuh Tanpa Berharap Berbalas
1486      628     0     
Romance
Artha baru saja pulih dari luka masa lalunya karena hati yang pecah berserakan tak beraturan setelah ia berpisah dengan orang yang paling ia sayangi. Perlu waktu satu tahun untuk pulih dan kembali baik-baik saja. Ia harus memungut serpihan hatinya yang pecah dan menjadikannya kembali utuh dan bersiap kembali untuk jatuh hati. Dalam masa pemulihan hatinya, ia bertemu dengan seorang perempuan ya...
Tumpuan Tanpa Tepi
10882      3038     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
Gareng si Kucing Jalanan
10442      3391     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...
HARMONI : Antara Padam, Sulut dan Terang
1292      599     5     
Romance
HARMONI adalah Padam, yang seketika jadikan gelap sebuah ruangan. Meski semula terang benderang. HARMONI adalah Sulut, yang memberikan harapan akan datangnya sinar tuk cerahkan ruang yang gelap. HARMONI adalah Terang, yang menjadikan ruang yang tersembunyi menampakkan segala isinya. Dan HARMONI yang sesungguhnya adalah masa di mana ketiga bagian dari Padam, Sulut dan Terang saling bertuk...
For One More Day
489      343     0     
Short Story
Tentang pertemuan dua orang yang telah lama berpisah, entah pertemuan itu akan menyembuhkan luka, atau malah memperdalam luka yang telah ada.
Unexpected You
487      347     0     
Romance
Pindah ke Indonesia dari Korea, Abimanyu hanya bertekad untuk belajar, tanpa memedulikan apapun. tapi kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang diinginkannya. kehidupan SMA terlalu membosankan jika hanya dihabiskan untuk belajar saja. sedangkan Renata, belajar rasanya hanya menjadi nomor dua setelah kegemarannya menulis. entah apa yang ia inginkan, menulis adalah pelariannya dari kondisi ke...
Dream Of Youth
752      490     0     
Short Story
Cerpen ini berisikan tentang cerita seorang Pria yang bernama Roy yang ingin membahagiakan kedua orangtuanya untuk mengejar mimpinya Roy tidak pernah menyerah untuk mengejar cita cita dan mimpinya walaupun mimpi yang diraih itu susah dan setiap Roy berbuat baik pasti ada banyak masalah yang dia lalui di kehidupannya tetapi dia tidak pernah menyerah,Dia juga mengalami masalah dengan chelsea didala...
Soulless...
5460      1265     7     
Romance
Apa cintamu datang di saat yang tepat? Pada orang yang tepat? Aku masih sangat, sangat muda waktu aku mengenal yang namanya cinta. Aku masih lembaran kertas putih, Seragamku masih putih abu-abu, dan perlahan, hatiku yang mulanya berwarna putih itu kini juga berubah menjadi abu-abu. Penuh ketidakpastian, penuh pertanyaan tanpa jawaban, keraguan, membuatku berundi pada permainan jetcoaster, ...
Rinai Kesedihan
794      534     1     
Short Story
Suatu hal dapat terjadi tanpa bisa dikontrol, dikendalikan, ataupun dimohon untuk tidak benar-benar terjadi. Semuanya sudah dituliskan. Sudah disusun. Misalnya perihal kesedihan.
Teman Hidup
6520      2410     1     
Romance
Dhisti harus bersaing dengan saudara tirinya, Laras, untuk mendapatkan hati Damian, si pemilik kafe A Latte. Dhisti tahu kesempatannya sangat kecil apalagi Damian sangat mencintai Laras. Dhisti tidak menyerah karena ia selalu bertemu Damian di kafe. Dhisti percaya kalau cinta yang menjadi miliknya tidak akan ke mana. Seiring waktu berjalan, rasa cinta Damian bertambah besar pada Laras walau wan...