Masalahku dengan Ibra sudah selesai. Namun dengan Dayana belum. Tadinya di hari libur seperti ini, aku ingin ke rumah Dayana untuk meminta maaf dan membujuknya.
Akan tetapi Dayana diajak oleh kakak iparnya menginap di villa keluarganya di puncak. Kebetulan tanggal merahnya di hari Jumat, jadi libur tiga hari. Lalu Ibra mengajakku datang ke acara tunangan kakak perempuannya. Meskipun tanpa Ibra undang, Mama pasti menyuruhku ikut dengannya.
Mama dan Tante Astri itu sudah satu paket. Di mana ada Mama, di situ ada Tante Astri. Apalagi Mama yang mengurusi snack di acara tunangan.
Kebetulan Mama masih sibuk dengan riasannya, aku berinisiatif untuk mengambil snack yang dipesan. Sewaktu sampai di depan rumah tempat pesanan kue, aku terkejut saat Ray membuka pagar. Ternyata ini rumahnya.
Ketika bertemu dengan bundanya Ray, aku seperti melihat Ray versi cewek. Kulit kuningnya, bibir tipisnya, dan lesung pipinya. Bundanya memakai jilbab, cantik sekali. Sedangkan mata sipit Ray, tinggi badan, dan jalan berjalannya seperti menjiplak ayahnya.
Tante Astri mengabari bahwa Ibra akan menjemputku untuk membawa snack tersebut. Dia meneleponku ketika sudah sampai.
Ibra turun dari mobil ayahnya dan diantar sopir. Mobil ini bukan yang digunakan untuk mengantarnya ke sekolah. Biasanya dia diantar ke sekolah memakai mobil sedan bersama maminya. Kebetulan searah dengan tempat kerjanya. Baru sepulang sekolah dijemput sopir yang biasa membawa mobil Alphard ini untuk mengantar papinya bekerja.
Aku menyambutnya dengan semringah dan membuka pagar rumah Ray.
"Ngapain si cowok Korea ke sini?" bisik Ray.
"Cowok Korea?" Aku mengerutkan kening.
Dagu Ray menunjuk Ibra yang sedang membenarkan letak kemeja birunya yang melapisi kaus putih. Aku tergelak saat memahami ucapan Ray. Pasti karena gaya rambutnya Ibra yang poninya menutupi area keningnya.
Mirip sih kayak Ray. Cuma Ray rambutnya lurus dan tipis banget. Kayaknya kalau ada nyamuk yang hinggap di rambutnya, bakal kepeleset deh.
Berbeda dengan rambut Ibra yang tebal dan sedikit bergelombang. Lalu dia membuat kesan rambut acak-acakan. Ya, mirip personil boyband Korea. Jadi, alasan mereka memasang poni sangat berbeda. Satunya, karena alasan style. Sedangkan satunya lagi demi kesejahteraan aktivitas tidurnya.
Semenjak kedatangan Ibra, entah kenapa Ray menjadi semakin ketus. Ya, dari awal kenal sih dia kayak gitu. Cuma sekarang lebih kayak mendiamkan setiap perkataanku. Ah, mungkin dia cuma masih dendam, karena aku menjajah waktu tidur paginya.
"Makasih, Tante, atas suguhannya." Aku menyalaminya sebelum pergi. Semua kotak snack sudah diangkut oleh sopirnya Ibra ke bagasi mobil.
"Sama-sama. Maaf ya, tadi Ray cuma kasih air dingin. Kuenya jadi telat disuguhin. Ini sekalian bawa aja. Ke mana lagi tuh anak? Masa tamu pulang, malah pergi," keluh bundanya.
"Eh, nggak usah repot-repot, Tante. Biarin aja, Tante. Ray masih ngantuk kali." Aku akhirnya menyerah dan mengambil kue yang diberikan bundanya Ray setelah dipaksa untuk dibawa.
Aku menawari kue yang ada di dalam plastik kepada Ibra saat kami berada di dalam mobil.
"Nggak, ah. Gue masih kenyang, tadi baru makan," tolaknya.
Kemudian kami terdiam. Hingga Ibra tiba-tiba bertanya sesuatu yang aneh. "Apa hubungan lo sama Ray?"
Aku mengerutkan kening. "Maksudnya? Temen-lah. Emang apa lagi?"
"Gue nggak ngerasa begitu. Ya, lo nganggepnya kayak gitu. Belum tentu dia juga nganggep lo sebagai temennya," sahut Ibra.
Aku tertawa. "Emang sih, dia suka sok-sokan nggak kenal sama gue. Kita emang nggak sedekat itu kok. Lebih banyak adu mulutnya."
"Lo itu terlalu polos, Ki."
Aku memukul lengannya. "Apaan, sih?"
"Bunga suka cerita sama gue tentang Ray. Gue jadi agak tahu-lah tentang dia. Meskipun nggak banyak yang tahu kalau orangtua mereka nikah, tapi gue dan Davina tahu," terang Ibra.
"Bunga? Cih! Lo cuma tahu dari sudut pandang Bunga. Kalau lo tahu ceritanya Ray, lo bakal nggak simpati sama keluarganya Bunga."
"Oke, oke. Gue nggak bakal bahas Bunga, Davina, dan gank-nya. Asal lo janji panggil gue Baim kayak dulu lagi."
Dulu aku memang memanggil Ibra dengan panggilan Baim. Waktu kecil dia mirip dengan artis cilik terkenal bernama Baim. Terus aku risi, karena teman-temannya memanggil dia, "Bra, Bra." Padahal kan namanya bagus.
"Oke. Tapi lo masih temenan sama mereka. Ya, gue nggak punya hak juga untuk ngelarang lo berteman dengan siapa," ujarku.
"Gue bakal ngejauhin mereka kalau lo mau. Dan lo sangat punya hak untuk itu, kalau lo mempertimbangkan permintaan gue—"
Aku lekas turun dari mobil sebelum Ibra menyelesaikan perkataannya. Tante Astri menyambutku saat dia membuka rumah mewah yang mirip dengan rumah-rumah yang dipakai untuk syuting sinetron-sinetron di televisi.
***
Di luar prediksi, Dayana sudah sampai rumah di hari Sabtu. Aku segera pergi ke rumahnya. Bahkan aku mempersiapkan untuk menginap di rumahnya.
Dayana memasang tampang masam ketika melihatku menghampirinya di dapur. Mamanya paham bahwa kami sedang bertengkar, tapi membiarkan kami berdua menyelesaikannya sendiri. Sudah biasa dari kecil, kami bertengkar sampai jambak-jambakan. Lalu keesokan harinya menangis dan mengaku sama-sama menyesal.
Meskipun sedang kesal, Dayana tetap menyodorkan beberapa kotak mochi kesukaanku. Aku menarik tangannya menuju kamarnya di lantai dua.
"Gue lagi capek, Ki. Puncak macet banget tadi. Nggak ada tenaga buat marah-marah ke elo," ucap Dayana.
"Iya, tahu. Gue dateng buat bawa bendera damai kok," sahutku sambil menelan mochi.
Aku duduk santai di kursi samping ranjang sambil menyalakan laptop milik Dayana tanpa dosa. Selanjutnya aku malah cekikikan melihat gambar memes yang dibagikam Gamal pada sosial media. Kami memang saling berteman di sosial media semenjak sering makan siang bersama. Ray juga sih, cuma dia nggak aktif. Jadi mirip kayak akun bodong.
Sebuah bantal mendarat telak di wajahku. Lalu saat aku mendongakkan pandangan dari ponsel, aku menemukan Dayana sudah memelotot.
"Oke, gue mau minta maaf sama lo." Aku berjalan ke arah Dayana yang duduk di atas ranjang.
Aku menceritakan semuanya dari Ray yang privat bayaran dua kali lipat di hari weekend. Keuangan keluargaku yang memburuk semenjak ditipu oleh keluarganya Mama. Itu salah satu alasan kenapa aku nggak mau terus terang soal keinginan kursus di Goethe yang bayarannya selangit.
"Gue kan bisa bantu, Ki," kata Dayana dengan lirih.
"Lo tahu gue kan, Day. Gue paling nggak mau ngutang sama orang. Kebetulan gue sama Ray juga saling simbiosis mutualisme. Makanya gue sering istirahat sama dia, karena ngajarin dia dan sepulang sekolah juga les sama omnya. Gue agak optimis bakal lolos tantangannya Mrs. Shelly. Apalagi ayahnya Ray udah tahu. Bundanya juga bilang kalau nilai Ray sekarang membaik. Plus gue punya uang tabungan dari bayaran privat, buat jaga-jaga Mrs. Shelly nggak memenuhi janjinya."
"Iya, Ki. Sebenarnya masalah waktu istirahat lo lebih sering sama Ray, gue nggak masalah. Cuma gue tahu kalau lo agak ngejauh karena anak-anak choir, kan? Lo pasti nggak nyaman sama anak-anak choir. Sori, Ki. Kita emang jadi sering kumpul semenjak abis Assembly. Apalagi mau perform lagi nanti pas End Year. Gue merasa bersalah, apalagi waktu gue tahu lo sakit dari mulut Ray. Sahabat macam apa gue yang nggak tahu kalau lo lagi kesusahan? Jadi gue nutupinnya dengan marah-marah," jelas Dayana.
Aku memeluk Dayana. "Ya ampun, Day. Sampe kapan pun, lo itu teman terbaik gue.” Aku terdiam. “Sebenarnya, gue selalu minder sama lo yang banyak temen, gampang bergaul. Lo disukai banyak orang. Gue kayak nggak pantes bareng sama lo. Orang-orang jadi nggak nyaman mau ngedeketin lo, karena ada gue."
Dayana mengembuskan napas. "Ya ampun, Ki. Dari dulu masalah lo tuh terlalu insecure. Yang seharusnya insecure tuh gue, bukan lo. Lo pinter, gue akui lo itu cepet banget nangkap pelajaran. Lo cantik, Ki—"
"Tapi gue merasa wajah gue kusem. Berminyak. Nggak pede gue," potongku.
"Nah, itu! Gimana orang mau suka sama lo, kalau lo sendiri suka ngerendahin diri sendiri? Lo itu cakep, Ki. Sedangkan gue? Pinter kagak. Cakep juga, nggak. Tahu sendiri di negara kita masih ada persepsi kalau punya kulit sawo matang itu nggak cantik. Tapi gue pede-pedein aja, karena siapa lagi yang bisa menghargai kita, selain diri sendiri? Lo itu berharga, Ki. Jangan terlalu keras sama diri lo sendiri." Dayana memegang pundakku.
"Buktinya Ibra suka sama lo," katanya lagi.
Ah, aku jadi teringat kejadian setahun yang lalu. Penyebab renggangnya hubunganku dengan Ibra. Sewaktu kelas sepuluh, aku sekelas sama Davina. Entah kenapa aku selalu ditakdirkan sama wanita bengis itu.
Ketika itu aku sedang pulang dari makan siang saat istirahat. Aku melihat Davina membaca diary milikku yang berada di bawah tumpukan buku di atas meja. Sialnya lupa kumasukkan lagi ke dalam loker. Dia membaca curhatan tentang diriku yang menyukai Ibra, tapi aku memendamnya. Apalagi saataku tahu kalau Dayana ternyata suka juga kepada Ibra.
Gosip tersebut tersebar ke seantero sekolah dari mulut Davina. Ibra yang ternyata menyimpan rasa kepadaku, dia menyatakan perasaannya saat tahu rasa cintanya bersambut. Namun aku malah menolaknya, karena aku nggak bisa menyakiti Dayana. Ibra marah besar, karena aku lebih memikirkan perasaan Dayana ketimbang dirinya. Padahal mereka berdua sama-sama temanku dari kecil.
Dayana yang tahu tentang hal itu merasa bersalah. Dia berkali-kali meminta maaf kepadaku dan Ibra. Aku nggak merasa Dayana salah. Begitu pun Ibra. Ibra hanya marah kepadaku.
"Oh iya, soal itu. Kita udah baikkan," akuku.
"Beneran?"
Aku mengangguk. "Dia selama ini marah besar sama gue. Makanya dia sengaja gabung di circle-nya Davina. Cuma buat nyakitin gue. Terus dia nggak mau bantuin gue bujuk Mrs. Shelly, ya karena mau balas dendam. Padahal dia bisa minta bantuan Tante Astri yang dulu temenan sama Mrs. Shelly. Waktu hari Kamis itu kita ngobrol panjang lebar. Terus dia minta maaf, gue juga. Ya kita baikkan."
"Syukurlah. Gue seneng dengernya. Maafin gue juga ya, kalau kata-kata gue nyakitin lo sewaktu di depan klinik." Dayana memelukku.
Aku menepuk-nepuk punggungnya.
***
Aku murka sekali saat menemukan fakta bahwa Ray mengejekku jelek waktu SD dulu. Jadi ketika aku sedang membereskan rak buku di kamar, aku menemukan tumpukan diary. Aku memang suka sekali menulis di diary sejak kecil.
Terus ada satu diary mini berwarna biru berisi biodata teman-teman sekelas sewaktu SD. Dulu sebelum lulus, para penghuni kelas banyak yang meminta teman-teman untuk menulis biodata diri dan opini mereka tentang pemilik diary.
Aku tersenyum sendiri ketika membacanya. Kebanyakan mereka mengomentari diriku kecil, kuntet, dan sebagainya. Mungkin mereka akan menyesal saat melihat diriku yang sudah tumbuh menjulang.
Kemudian aku melihat salah satu tulisan yang acak kadut. Namanya Rayi Baskara. Oh, bukan itu saja. Dia menulis opini tentangku bahwa aku agak jelek. Sudah begitu, tulisan "agak" disempilkan pula. Itu artinya, dia sebenarnya mau bilang kalau aku jelek.
Makanya, keesokan harinya aku mencari Ray. Kata si Gamal, dia melihat Ray ada di perpustakaan. Sudah kuduga, dia nggak mungkin serajin itu. Dia tidur dengan mendengkur halus. Dia marah, karena aku membangunkannya. Lalu dia protes karena aku kurang kerjaan mengomentari masa lalu.
Saat aku marah-marah kepada Ray, ada yang memotong pembicaraan kami.
"Gara-gara lo, gue jadi nggak lolos olimpiade! Lo emang sengaja kan berdoa biar gue gagal?!" Davina tiba-tiba datang menghampiriku di depan perpustakaan.
Sebelum ini, aku sempat mendengar saat di kelas kalau Davina nggak lolos olimpiade tingkat Provinsi.