Ayahnya Ray menurunkanku tepat di depan rumah. Padahal aku sudah bilang kalau cukup sampai di pintu masuk gang. Meskipun gang masuk menuju rumah masih muat untuk dilalui dua mobil, tetap saja aku merasa kalau diriku merepotkan. Sudah dikasih makan gratis, diantar pula. Aku pun bukan orang terdekatnya Ray.
Benar kata Ray waktu Ustazah Nuri tanya. Dia nggak kenal-kenal banget sama aku. Lebih tepatnya kita nggak dekat-dekat banget. Ray berbuat baik, karena dia meminta imbalan. Hubungan kami kan simbiosis mutualisme.
"Makasih, Om, atas makan enaknya. Saya jadi merepotkan sampai diantar ke depan rumah." Aku sedikit menunduk supaya bisa melihat wajah ayahnya Ray.
"Emang ngerepotin lo!" teriak Ray dari bangku belakang. Padahal sewaktu aku turun, kedua matanya terpejam.
"Ray!" Ayahnya Ray memelototinya. "Sama-sama. Mudah-mudahan Ray belajar bareng sama kamu bisa ngebuat dia jadi rajin. Salam buat orangtua kamu."
Aku membuka pagar setinggi tubuhku. Masih belum dikunci, artinya Mama sama Papa belum tidur.
Aku sempat melongok ke rumah samping, rumah Dayana. Sudah sepi. Biasanya setelah magrib, keponakannya masih bermain di teras. Rumah Dayana terdiri dari satu rumah besar dan satunya lagi rumah kecil ditempati kakaknya yang sudah menikah.
Ah, itu artinya sudah malam banget. Aku membuka ransel dan mengambil ponsel. Wah, ternyata mati! Aku baru sadar, semenjak ekskul aku sama sekali enggak melihat ponsel, karena kuletakkan di dalam tas. Lalu tasnya ada di loker.
Aku lupa mengabari Mama dan Papa. Aduh, bisa dimarahi nih, karena pulang malam. Saat aku mendongak, Papa sudah berdiri di depan pintu. Wajahnya disinari sinar kuning dari lampu teras, suara gemerisik dedaunan pohon mangga yang diembuskan angin, makin membuat suasana mencekam.
"Kok baru pulang? HP-nya juga enggak aktif." Papa menyilangkan kedua tangannya.
"I—itu, Pa. HP-nya mati. Habis ekskul tadi diajak ayahnya temen makan di luar. Tadi dianterin sampe depan rumah."
"Pantesan. Biasanya kalau ngaji sama belajar kelompok, Adek nggak pulang semalam ini. Ya udah, cepetan tidur."
Aku memang mengaku kepada Papa belajar kelompok saat les bahasa Jerman dengan Om Brian.
"Mama udah tidur?"
"Barusan aja tidur."
Aku segera masuk ke dalam kamar saat Papa mengunci pagar. Ini salah satu penyebab aku nggak punya banyak teman. Aku nggak diperbolehkan pulang malam. Batasnya magrib sudah di rumah. Biasanya kalau les sama Om Brian, aku sampai rumah paling lambat jam tujuh. Namun Papa memaklumi, karena alasannya belajar. Aku juga meminta Ray untuk menurunkanku di depan gang. Bisa-bisa Ray dituduh sebagai pacarku.
Anak-anak Russelia terkadang suka berpergian saat weekend, seperti nonton bioskop, ke villa di puncak, pesta ulang tahun, atau nge-mal. Apalagi macam anak-anak populer seperti Davina and the gank. Jadi aku nggak pernah bisa datang ke perkumpulan kalau pun diundang, karena acaranya sering sampai malam.
Lagi pula sih aku juga jarang diundang. Mungkin karena aku lebih sering menolak. Terus aku juga suka dituduh sombong. Jarang bergaul. Padahal sebenarnya aku takut nggak bisa memberikan kado yang mahal untuk hadiah ulang tahun. Aku nggak bisa mentraktir balik makanan mahal.
Sudahlah, aku terlalu mengantuk untuk memikirkannya.
***
"Ada apa sih?" tanyaku kepada Emma yang sudah datang terlebih dahulu.
Aku melihat tadi tempat dudukku ramai dengan orang. Mereka mengelilingi Carissa dan Rania. Lalu Emma yang duduk sebangku denganku ikut nimbrung dengan memosisikan kursinya menghadap ke belakang. Kemudian mereka bubar saat melihat kedatanganku.
"Rania sama Carissa ngajak belajar bareng buat persiapan ujian," jawab Emma.
"Oh."
Mereka sudah terkenal suka belajar kelompok bersama dari beberapa bulan sebelum ujian. Memang sih tadi yang duduk-duduk di sini semuanya yang memiliki nilai bagus. Termasuk Davina. Dia yang menyuruh teman-teman untuk bubar saat aku datang. Davina termasuk murid yang pintar, ya walaupun nggak pintar-pintar banget. Agak nggak ikhlas nih ngomongnya.
"Di mana?" tanyaku.
"Di Starbucks. Kamu mau ikut?" tanyanya balik.
Hah? Starbucks? Nggak deh, terima kasih. Kenapa nggak di rumah saja sih?
"Tapi itu buat minggu ini. Itu Davina yang usul. Minggu depan di rumahnya Carissa. Davina nggak ikut soalnya dia mau ada persiapan olimpiade sama Mrs. Shelly," imbuh Emma.
Kemudian Emma menengok ke arah belakang. "Eh, kalau minggu depan Kinan ikut belajar bareng, boleh nggak?"
Aku melirik sedikit dan melihat wajah Carissa dan Rania yang kebingungan. Mereka saling berpandangan. Mimik wajah mereka seperti tersenyum, tapi dipaksakan.
"Nggak usah, nggak apa-apa. Aku udah ada jadwal belajar sama yang lain kok." Aku memegang bahu Emma sambil tersenyum.
Aku enggak perlu mendengar alasan Carissa atau Rania yang dibuat-buat untuk sekadar menolakku. Mereka agak selektif untuk merekrut teman belajar di kelompoknya. Sebetulnya aku masuk kriteria mereka, kalau melihat nilaiku. Hanya saja mereka menempatkanku sebagai rakyat jelata semenjak aku kalah olimpiade. Lagi pula selama ini ada Davina di kelompok belajar mereka. Pasti mereka nggak berani mengajakku.
Sewaktu aku beranjak dari kursi untuk ke kelas Dayana, aku sempat mendengar Carissa berbicara kepada Emma. "Kamu kenapa selalu ngajak Kinan? Kita kan nggak enak nolaknya. Nanti kalau dia berantem sama Davina, gimana?"
Bullshit! Davina minggu depan nggak bisa ikut, kata Emma tadi. Aku tahu Emma pengertian. Dia mengajakku tepat saat Davina nggak bisa dan bertempat di rumah, bukan cafe mahal.
Sisa waktu sebelum bel masuk masih seperempat jam lagi. Lebih baik aku pergi ke kelas Dayana. Padahal tadinya aku mau mengerjakan soal-soal latihan Chemistry.
Saat aku melongok, Dayana sedang mengobrol dengan anggota choir yang mengelilinginya. Mereka memang terkenal solid. Dayana cukup populer di antara mereka.
"Sini!" panggil Dayana saat melihatku.
Dia pasti tahu kalau aku ke kelas, artinya aku sedang ada masalah di kelas.
"Duduk di sini aja dulu. Gamal belum datang." Dayana menunjuk ke tempat duduk di samping Ray.
Aku melihat Ray sedang menikmati aktivitas favoritnya. Tidur. Wajahnya menghadap ke dinding kelas. Tangannya menjulur di atas meja.
Aku pun iseng mengambil pulpen yang tergeletak di atas meja dan memukulkannya ke kepala Ray.
"Arrgghh! Kampreto! Siapa sih?" gerutunya.
Dia menatapku kesal ketika menengok dan mendapati diriku yang sedang menyengir lebar.
"Lagian lo pagi-pagi tidur. Rejekinya dipatok ayam lho," sahutku.
"Lo emak gue?" sindirnya. Kemudian dia tertidur lagi. Kali ini wajahnya menghadap ke bawah meja.
"Eh, weekend nanti kita mau jalan-jalan ke Bandung. Mau ikut, nggak?" tanya Dayana yang menengok ke belakang. "Kinan boleh ikut, kan?" Dayana menatap anak-anak choir satu persatu.
Jelas sekali dari raut wajah mereka. Mereka mengangguk hanya karena merasa nggak enak menolak usulan Dayana.
Dulu Dayana pernah mengajakku ke pesta ulang tahun salah satu anggota choir. Terus aku mendengar seorang cewek menggerutu, "Kenapa sih Dayana ngajak Kinan? Gue agak males sama dia. Sok pinter orangnya. Belagu. Beda banget sama Dayana. Kok mau ya Dayana temenan sama orang kayak gitu?"
"Weekend gue ada acara. Belajar bareng." Aku nggak bohong kok ada acara. Cuma acaranya kursus ngaji sama kerja di cafe.
"Ah, lo mah jangan belajar mulu! Sekali-kali refreshing. Ayo kek, ikut!" rengek Dayana.
Aku hanya menggeleng sambil tersenyum. Ketika aku menengok ke samping, Ray menatapku dengan posisi kepalanya masih di atas meja.
"Kenapa?" tanyaku.
"Nggak." Lalu dia menenggelamkan kembali wajahnya.