"Day, gue mau nitip dong!" seruku saat melihat dia baru saja keluar dari toilet.
"Lagi jadwal renang ya? Ih, enaknya! Gue jadwalnya masih minggu depan. Mana habis ini Accounting. Tahu sendiri gue paling males sama hitung-hitungan," gerutunya. Dia melihatku yang sudah mengenakan seragam renang.
"Kan pas liburan udah gue ajarin."
"Iya, iya, Miss. Kinan. Lo yang anak Science, tapi lebih jago dari gue. Mau nitip apaan?"
Aku menyodorkan tas kain kepadanya. "Minta tolong kasihin ke Ray ya. Ini jaket punya dia."
"Ciee ...! Gue lihat kalian makin mesra. Eh, gue lihat lho pas lo dibonceng sama dia." Dayana mencubit lenganku.
"Apaan sih? Jangan mikir macem-macem deh. Nanti malah jadi awkward. Gue cuma belajar bahasa Jerman bareng sama dia. Jangan sampe kejadian sama Ibra keulang lagi."
"Maaf banget soal Ibra. Gara-gara gue, lo sama dia—"
"Stop it, Day! Itu bukan salah lo. Penyebabnya Davina yang manfaatin masalah itu buat ngejatohin gue." Aku menepuk bahunya.
"Oh iya, maaf gue nggak bisa ngelindungin lo pas Davina nyiram waktu itu."
"Ah, no problem. Gue cuma berharap di kelas XII nggak sekelas lagi sama dia. Capek gue, dia banyak banget dramanya. Tapi waktu itu Ray nolongin gue—" Aku menghentikan perkataanku saat melihat senyuman penuh arti dari kedua bibir Dayana.
Lalu dia membisikkan ke telinga kiriku, "Inget lho, Ki. Nggak ada cewek dan cowok yang murni temenan, kecuali di hatinya ada yang lain. Lo aja yang kasih ke Ray langsung." Setelah itu Dayana melambaikan tangannya meninggalkanku.
Apaan sih, Dayana? Misiku kan untuk membuat nilai Ray membaik. Bukan membuatnya jatuh cinta. Idih, amit-amit.
***
Sebenarnya aku sangat menyukai pelajaran Physical Education (PE) terutama pelajaran renang. Apalagi biasanya kami diberikan waktu ekstra setelah berenang. Entah untuk pergi ke kantin di lantai lima, atau aku berjalan-jalan di sekitar kolam renang.
Biasanya aku berjalan dari playground milik Pre-school yang berada tepat di samping kolam renang. Lalu berjalan melewati tempat latihan wushu untuk menuju Vihara. Cuma sekadar duduk-duduk di halaman depan Vihara yang sepi.
"Udah mulai, Em?" tanyaku kepada Emma, teman sekelas.
Aku nggak terlalu dekat dengan teman sekelas. Apalagi aku sekelas dengan Davina. Kebanyakan teman-teman lebih dekat dengan wanita ular itu. Ya, mereka semua penjilat. Mentang-mentang Davina keponakan tersayang pemilik sekolah ini.
Paling aku hanya berteman dengan Emma, salah satu cewek yang kalau berbicara butuh tenaga ekstra untuk mendengarkannya. Dia anaknya super baik. Enggak terpengaruh dengan Davina dan anak-anak sok pintar lainnya di kelas.
"Belum. Kamu habis dari mana?" tanya Emma balik.
Tuh, kan! Aku harus menunduk dan mendekatkan telingaku ke dekat wajahnya. Enggak kedengaran!
"Aku habis dari kelasnya Dayana."
Coach Arif memanggil semua murid kelas XI Science-1 dan Commerce-2 untuk pemanasan terlebih dahulu. Khusus untuk sesi renang, dua kelas digabung menjadi satu waktu.
Kedua bola mataku tak sengaja berserobok dengan Ibra. Dia yang berbaris tak jauh dariku melirik ke arahku selama pemanasan. Baru ketika selesai pemanasan dan Cello mengajaknya bicara, dia nggak melihatku lagi.
Selain Ibra, ada yang membuatku nggak nyaman di kelas XI Commerce-2. Siapa lagi kalau bukan Bunga? Sebenarnya dari dulu aku nggak suka dengannya. Dia selalu melirikku sinis, terutama saat aku sedang bersama Ibra. Tentunya dulu sebelum kami perang dingin.
Ditambah semenjak kejadian aku memergoki Bunga bersama Ray dan ayahnya. Nggak heran kalau Davina tahu aku ingin kuliah di Jerman. Pasti Bunga yang memberitahunya.
Bunga berdiri dengan gayanya yang sok cantik di sebelah Davina. Pastinya dia memilih berbaris dekat Ibra dan Cello. Gerah sekali melihat perkumpulan itu. Untung saja Shakira di kelas XI Commerce-3. Kalau nggak, lengkap sudah kelompok anak-anak sombong itu. Cih!
Perhatianku teralihkan kepada penjelasan Coach Arif yang sedang mempraktikkan gaya renang bebas dan dada. Setelah itu kami disuruh untuk melakukannya dengan dipanggil satu persatu.
Di saat aku sedang mengobrol bersama Emma dekat dengan sisi sebelah kiri kolam renang sambil menunggu giliran, ada seseorang yang mendorongku. Tubuhku terhempas ke dalam kolam renang dan menabrak seorang murid yang sedang praktik renang. Untung saja hanya terbentur ringan.
Aku melirik tajam ke arah Davina yang sok berlagak nggak sengaja sambil berseru, "ups!" Lalu dia berkata, “Mau ngetes jam tangan KW lo. Kira-kira anti air nggak ya?” Raut wajahnya dibuat seolah dia sedang sedih.
Aku benar-benar muak. Aku pernah memergokinya mengambil jam tangan yang kugeletakkan di atas meja. Saat itu aku baru saja selesai salat zuhur di musala. “Menurut kalian, ini jamnya KW berapa ya?” Lalu saat dia melihatku yang berdiri di depan pintu, dia segera melemparnya ke atas mejaku.
Namun aku nggak bisa terima begitu saja. Rasanya sudah habis kesabaranku. Masa bodoh dengan petuah Papa yang menyuruhku untuk sabar saat aku dikucilkan teman-teman. Aku keluar dari kolam renang dan mengejar wanita ular itu. Lalu aku menarik rambutnya yang dikuncir kuda dengan kencang.
Davina memberontak. Aku kewalahan menanggapi tangannya yang menjambakku dengan liar. Tangan nenek lampir ini sudah menyetarai petinju profesional. Tubuhku hampir limbung bagaikan gelas plastik ditiup angin besar.
Kami berhenti saat mendengar suara pluit berbunyi melengking. Sebelum Coach Arif menghampiri kami, Ibra telah lebih dahulu menarikku, sedangkan Cello dan Bunga mengajak Davina pergi. Aku menghempaskan cekalan tangan Ibra.
***
Setelah keluar dari ruangan konselor di lantai tiga, aku segera berlari menuju gedung satu. Satu tujuanku, Music Room. Sayangnya, di dalam ruangan Mr. Asep sedang berbicara dengan Mr. Alex, guru Art, yang ruangannya bersebelahan.
Aku terpaksa berjalan menuju lorong di sebelah Music Room. Ada sedikit celah di sana. Terkadang Office Boy suka meletakkan alat-alat kebersihan di sana.
Air mata sudah menggenang di kedua pelupuk mataku. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan dan terduduk di celah lorong tersebut. Aku berusaha sekuat tenaga supaya suara tangisku nggak terdengar keras. Meskipun saat istirahat di sekitar sini sepi, aku takut kedua guru di dalam Music Room mendengarnya.
Semua perkataan yang dikatakan oleh Miss. Deli terngiang-ngiang.
"Saya perhatikan kalian berdua sering nggak akur. Apa ini ada hubungannya dengan olimpiade? Saya pernah bertanya dengan Mrs. Shelly. Katanya kamu, Kinan, enggak mau kalau Davina yang mewakilkan sekolah dan bersikeras supaya kamu yang maju," tutur Miss. Deli.
"Saya sebenarnya nggak mau seperti ini, Miss. Cuma Kinan mendoakan saya biar enggak lolos olimpiade. Terus dia berusaha supaya saya nggak ngewakilin sekolah ini," seru Davina.
Tentu saja aku protes balik, tapi seperti yang aku duga. Semua penghuni sekolah ini pasti membela Davina. Meskipun aku tahu Miss. Deli nggak bermaksud untuk berpihak kepada Davina, tapi masa dia nggak mengerti sih? Di sekolah ini jelas-jelas ada kesenjangan sosial. Terutama orang-orang sepertiku yang mendapatkan subsidi.
Aku maunya Miss. Deli membelaku sepenuhnya dan nggak mendengarkan perkataan ngawurnya Davina. Nggak usah sok bijak deh, dan membawa-bawa kasus olimpiade.
Aku dan Davina itu sudah bermusuhan semenjak SMP. Tentu saja semenjak aku pernah menang olimpiade dan dia gagal di tingkat Kabupaten pada waktu yang sama. Ya, sekitar dua-tiga tahun yang lalu. Dia berubah menjadi ratu dengki bagai saudara tirinya Cinderella.
Mungkin Miss. Deli nggak mau berakhir seperti Mrs. Shelly, karena membelaku. Mrs. Shelly juga sama! Dia memberikan punggungnya ketika aku gagal. Dia merasa malu, karena menolak permintaan Pak David untuk mengajukan anaknya sendiri di tahun lalu. Kemudian berakhir dengan kekecewaan, karena aku gagal. Sebenarnya aku bisa paham dengan Mrs. Shelly. Dia bisa terancam pekerjaannya jika dia berkelit lagi dengan permintaan Pak David di tahun ini. Ya, setidaknya Mrs. Shelly masih ada keinginan untuk membantuku. Walaupun tantangannya sudah serupa membangun candi dalam satu malam.
Belum lagi dengan perkataan Ibra. Aku semakin sesak!
"Ki, kenapa sih Davina harus dilawan? Kita udah mau kelas XII. Kalau lo bermasalah sampe ke Pak David, gimana?" bisik Ibra ketika membawaku pergi dari Davina.
"Lo nggak usah sok peduli sama gue."
"Ya, gue nggak bisa diem aja, Ki. Kalau lo sampe dipanggil Pak David, gue terpaksa minta tolong ke Papi buat bantuin lo."
Aku tertawa sumbang. "Oh, jadi gue harus jatoh ke jurang dulu baru lo nolongin? Meskipun gue menghormati Papi dan Mami, gue nggak sudi ditolongin. Ke mana aja waktu gue minta lo ngomong ke Mrs. Shelly, hah?"
"Lo kenapa jadi begini, Ki? Pasti gara-gara lo deket sama Ray, kan? Gue ngelihat kalian bareng terus akhir-akhir ini. Gue denger dari Bunga, dia bukan anak baik-baik."
Aku memelotot, lalu berdecih. "Lo tahu apa tentang Ray? Lo tahu dari Bunga? Lo tahu nggak sih, Bunga itu nggak ada bedanya sama Davina. Iya, dia nggak ikutan nge-bully gue. Tapi dia berdiri dan diam aja waktu nyaksiin temennya ngejajah gue. Dan lo paling tahu kalau gue nggak suka sama Davina, tapi lo sekarang temenan sama dia. Terus sekarang lo bawa-bawa Ray? See you in hell!"
Tanpa aku sadari, aku merasakan ada yang sedang memperhatikanku di celah lorong sempit ini.
Please, jangan penunggu sekolah ini!
"Ha! Kenapa lo ada di sini?" tunjukku kepada cowok yang sedang menyantap roti nggak jauh dariku. Aku buru-buru menghapus air mataku dengan lengan baju.
Ray seketika menghentikan kunyahannya sambil menatapku dengan santai. Dia terlihat aneh dengan jepitan berwarna kuning yang bertengger di poninya.