Sore-sore begini, jalanan Jakarta macetnya minta ampun. Hampir setengah jam lebih gue sama Kinan sampai di rumah Om Brian. Mana tuh cewek pakai acara buang air dulu sambil mengambil helm.
Om Brian itu adiknya Bapak’e. Tadinya dia tinggal sama Nenek di daerah Grogol. Cuma Om Brian sepulang dari Jerman malah buka cafe di sekitar kampus yang ada di Meruya. Katanya capek kerja kantoran. Dia nggak betah. Jadilah dia tinggal di lantai dua ruko cafe-nya.
"Ini cafe punya Om Brian?" tanya Kinan sambil menatap plang berwarna cokelat kayu bertuliskan Senja Cafe. Om Brian memang sok puitis. Lihat aja nama cafe-nya.
"Yoi. Awalnya cafe baca sih. Cuma lebih banyak yang nongkrong ketimbang baca. Palingan banyak mahasiswa yang ngerjain tugas di sini," jawab gue.
“Pasti om lo rajin baca, makanya bikin café baca. Kok beda banget sama keponakannya?”
“Pulang sana lo!”
“Gue sih mau-mau aja pulang, tapi lo mau rahasia lo gue sebar?”
“Halah, punya temen si Cutbray doang belagu. Lo mau bocorin ke Davina? Nggak usah repot-repot, dia udah tahu. Masa lo kalah dalam menjaga rahasia? Davina aja bisa.”
Kinan menghentakkan kakinya dan mendengkus kesal. Namun saat dia masuk ke dalm café, dia sibuk memperhatikan beberapa pengunjung yang memenuhi teras cafe. Kedua bola matanya seperti takjub melihat dekorasi-dekorasi lawas yang unik.
Om Brian itu suka banget sama barang-barang jadul. Makanya dia suka mengumpulkan barang rongsokan.
Awas aja kalau Kinan sibuk selfie-selfie di sini. Biasanya kalau cewek-cewek datang ke cafe ini, mereka suka teriak, "ih, unyu banget cafe-nya! Ayo, kita foto!" Lalu cafe dipenuhi oleh gerombolan Desi duck.
Setelah gue sama Kinan masuk, Om Brian yang berada di belakang meja barista yang nggak jauh dari pintu kaca melambaikan tangan. Di sampingnya ada Leon, barista cafe ini. Terus di bagian kasir, ada Marlina. Kalau koki yang membuat makanan berat, ada di dapur belakang.
"Itu om lo? Lebih mirip jadi abang lo," bisik Kinan.
"Lo naksir ya? Dih, seleranya om-om," cibir gue. Ya, gue akui sih Om Brian masih oke di umurnya yang sudah kepala tiga. Apalagi pas lagi kerja di cafe. Mirip kayak Rio Dewanto waktu main Filosofi Kopi.
"Ini teman yang kamu ceritain?" tanya Om Brian sewaktu kita menghampirinya.
"Iya, Om," sahut gue.
Kemudian Kinan tersenyum kepada Om Brian sambil ingin menyalami tangannya.
"Nggak usah formal-formal pake salaman. Saya bukan Pak Ustaz." Om Brian terkekeh.
Kinan hanya menggaruk kepalanya dengan kikuk.
"Lagian lo salaman sama tukang kopi," ujar gue.
"Ih, lo nggak boleh gitu sama om sendiri," tegur Kinan.
"Idih, kenapa jadi lo yang ceramahin gue?" protes gue.
"Kalian mau pesen apa? Bilang aja, nanti dibawain ke atas," kata Om Brian.
"Nggak usah, Om." Kinan menggelengkan kepala.
"Udah bawain aja es kopi gula aren, Om. Sok malu dia. Kalau dikasih juga nggak nolak—"
Sontak Kinan mencubit gue. Gila tuh cewek, lengan gue panas.
Sehabis itu gue berjalan menuju tangga di ujung ruangan dekat dengan dapur. Kinan berlari mengikuti gue. Terus gue membuka pintu ruangan tempat tinggal Om Brian yang kuncinya sudah dikasih ke gue sebelumnya.
Gue langsung duduk di atas kursi kayu dekat dengan pantry dapur kecil. Biasanya memang kita belajar di sini. Ada papan tulis berdiri dekat sini. Sedangkan Kinan masuk ke dalam ruangan dengan kikuk. Dia memperhatikan semua barang-barang yang ada di ruangan.
"Yah, kamu, Ray. Bukannya beresin dulu sebelum masuk. Om jadi malu sama Kinan kalau rumahnya berantakan." Om Brian berjalan masuk tepat di belakang Kinan sambil membawa dua gelas plastik es kopi gula aren dan dua piring cheesecake. Kinan berjalan ke arah gue supaya nggak menghalangi Om Brian.
"Sok gengsi banget, Om. Kinan juga bakal paham kali. Namanya juga rumah cowok bujang," cibir gue.
"Itu artinya kamu nggak beda jauh sama Om. Kamu udah pernah masuk ke kamarnya Ray?" tanya Om kepada Kinan.
Kinan menggeleng. "Hubungan kita nggak sejauh itu, Om. Cuma simbiosis mutualisme."
Om Brian tergelak. "Ya, ya, saya bisa membayangkan sih melihat Ray orangnya kayak gimana. Tapi kamu keren bisa bikin dia nawarin kamu buat belajar bareng. Om tebak, kamu pasti megang kelemahan dia."
"Dia pernah lihat gue sama Bunga dan Ayah," sela gue.
"Oh, pantes," kekehnya.
"Oke, kita sekarang mulai belajar dari awal aja ya kalau gitu. Dari mulai alfabet, supaya Kinan paham," pungkas Om Brian.
"Aku jadi nggak enak, Om. Kalau mau lanjut juga enggak apa-apa," sahut Kinan.
"Kamu nggak usah, nggak enak. Ray aja masih banyak yang lupa. Coba aja dia disuruh mengeja namanya. Sebenarnya dia itu bisa dan pintar, tapi dia nggak niat belajar," sindir Om Brian.
Gue cuma mencibir aja. Terus Om Brian mulai menulis alfabet beserta cara bacanya dengan lafal Jerman. Gue melihat Kinan membuka buku catatannya dan dengan sigap dia menulis semua yang Om Brian tulis.
Kok bisa dia fokus banget? Padahal udah capek sekolah seharian. Gue aja berkali-kali menguap. Lalu seperti biasa, Om Brian melayangkan spidol tiap kali kepala gue terantuk ke atas meja.
"Wah, kamu cepat juga buat ngelafalinnya, Kinan. Coba sekarang eja nama kamu sendiri. Nama panggilan dulu aja," puji Om Brian setelah Kinan melafalkan tiap alfabet.
"Baik, Om. Kinan. Ka - I - En - A - En." Kinan menyebutkannya dengan lantang.
"Kalau gitu, gue juga bisa," celetuk gue.
"Ya udah, Ray, sekarang giliran kamu. Eja nama Rayi."
"Er -"
"Bukan begitu, Ray. Jangan sama persis kayak R di bahasa Indonesia. Intensitas getarnya dikurangi," potong Om Brian.
"Err - A - Ypsilon - I."
"Ypsilon itu bacanya bukan upsilon. Lafalinnya kayak antara A sama U."
Gue pun mengulanginya lagi dari awal.
Om Brian mengacungkan jempol ke arah gue. "Kamu ada kemajuan."
Lalu Kinan dan gue disuruh Om Brian untuk mengeja beberapa kata. Namun ketika gue melafalkan huruf P dan T, Kinan protes.
"Lo setiap bilang huruf P sama T, pasti muncrat!" keluhnya.
"Ya, namanya juga harus faseh. Ngomongnya phe, pheh!" seru gue.
"Tuh kan muncrat lagi! Bau jigong, ih!"
"Ya udah, sono jauh-jauh!" Gue mengibaskan tangan ke wajahnya.
Lalu Om Brian melerai kami. Belum lagi kami saling mengejek. Gue sering mencibir dan bilang, "Lebay," waktu Kinan melafalkan ä dan ö.
Akhirnya setelah belajar selama satu jam, kami semua beristirahat.
"Kamu mau kuliah di Jerman jurusan apa?" tanya Om Brian kepada Kinan.
"Aku baru riset beberapa kampus sih, Om. Di Humboldt dan Freie. Jurusannya kalau enggak Mathematics, ya Computer Science."
"Kamu pasti suka banget sama Matematika ya?"
"Suka banget, Om!" seru Kinan.
"Dia pernah dapet medali perak OSN bidang Matematika waktu SMP," sahut gue.
"Wah, keren kamu, Nan. Kamu nggak kepingin apply di negara lain?" tanya Om Brian.
"Aku udah bikin beberapa personal statement sih, Om. Aku juga mau nyoba daftar ke Oxford," jelas Kinan.
"Terus, kenapa kamu mau belajar bahasa Jerman dan kuliah di Jerman?"
"Jaga-jaga, Om. Aku takut nggak keterima beasiswa Jardine buat ke Oxford. Ini aja ke Jerman, aku pesimis ada duitnya. Aku denger-denger les di Goethe sampai selesai bisa habis puluhan juta. Belum lagi ujian A1 dan B1-nya. Terus living cost di Jerman."
Jelas banget gue melihat raut putus asa di wajah Kinan. Gue jadi merasa tertampar. Selama ini gue santai saja, nggak memikirkan kuliah. Gue cuma mengikuti apa yang Bapak'e suruh. Dia bilang sih nggak usah memikirkan biaya, yang penting gue mau belajar. Sementara ada orang yang keinginannya besar banget, tapi bingung sama biaya.
"Memangnya kamu nggak ikut program beasiswa sekolah kamu? Apa itu namanya?" tanya Om Brian lagi. “Om pernah denger dari ayahnya Ray.”
“Russelia GTC.” Aku pun menceritakan tentang tantangan dari Mrs. Shelly.
Sontak Om Brian tertawa besar. “Sori, Nan. Om nggak bisa bantu. Kalau om tahu trik supaya Ray bisa rajin belajar, kita udah ngabisin satu buku ini.” Om Brian mengibaskan buku yang dipegangnya.
Kinan menatap gue, tapi gue pura-pura nggak mendengar sindiran Om Brian. Gue bersiul sambil membuka aplikasi game kesayangan gue. Bla, bla, bla, intinya Om Brian sedang menyindir gue yang tiba-tiba nggak bisa dihubungi saat jamnya les. Lalu soal laporan gue sering bolos ekskul. Ini pasti dari Bapak’e.
Gue jadi ingat kejadian sewaktu SD. Dulu Bapak’e kepingin banget gue jago di salah satu bidang olahraga. Sebenarnya sebelum Bapak’e dan Emak bercerai, gue nggak males-males amat. Cuma dari dulu gue nggak terlalu suka pelajaran olahraga. Eh, gue malah dikasih privat macam-macam. Dari mulai les renang. Gue suka pura-pura pingsan dan mengambang di atas air kayak orang mati. Les basket dan gue sering keceplosan melempar bola ke kepala coach-nya. Sampai akhirnya nggak ada guru les yang bertahan. Hahaha.