Sudah beberapa hari ini kak Haru menolak untuk menerima sarapan dariku. Ia juga tidak nyeletuk lagi dengan apa yang aku bicarakan seperti sebelumnya. Auranya semakin suram. Dia duduk tidak jauh dariku di kelas. Tetapi aku bisa melihat aura di sekitarnya tampak menghitam. Aku menjadi teringat diriku yang dulu. Di kelas, keberadaanku lah yang paling suram. Orang-orang yang seharusnya aku anggap teman-teman sekelas begitu tidak menyukaiku. Mereka membenci wujudku yang seperti seorang nenek karena rambut kelabuku dan bau alkohol yang timbul di seragamku kian menyeruak.
Setiap jam olah raga, ada saja yang menginjak-injak dan membuang seragam olah ragaku ke tempat sampah. Jadi tubuhku terasa berbau menyengat setiap saat. Kalaupun mereka duduk di bangku yang tidak jauh dariku, mereka segera menutup hidung. Guru juga bertanya, kenapa tubuhku begitu bau di depan banyak siswa di kelas. Namun aku tidak mengatakan apa-apa. Sebagian dari mereka diam-diam menertawakanku. Pernah juga sepatuku yang berada di dalam loker sepatu diolesi dengan kotoran kucing dan tepung.
“Ayo, marah dong! Marah!” seru mereka yang sedang asiknya melihatku tertunduk lemas sembari memegang kedua sepatuku yang kotor. Mereka mengikutiku sampai ke kamar mandi. Ku coba untuk membilas sepatuku sebersih mungkin. Tetapi mereka malah semakin berani menarik rambutku dari belakang dengan kasar.
“Aah, sakiiitttt,” kataku hampir tidak bersuara.
“HEI, NENEK PEMABUK! KENAPA DIAM SAJA?! AYO MARAH!”
“NANGIS! NANGIS! NANGIS! Huahahahaa....,”
Rambutku ditarik hingga terjerembab di lantai yang basah. Seperti tidak terasa apa-apa, aku bangkit berdiri dan mengambil sepatuku yang tergeletak di lantai. Mereka menelan ludah sesaat melihatku menghadap mereka dengan tatapan kosong.
“Kerasukan ya dia?” gumam mereka.
“Tolong jangan lakukan ini lagi. Aku hanya ingin bersekolah dengan tenang.”
“Hee.. apa yang dia katakan tadi? Hahahaaa,” mereka malah menertawakanku. Lantas salah satu dari mereka menarik rambutku lagi dan mendorongku hingga terjatuh dan menabrak pintu kamar mandi. “DASAR NENEK DUNGU! SUDAH AH NGGAK ASIK! AYO BUBAR!”
“Hana. Hana. Hana,” seseorang menyenggol lenganku. Aku pun tersadar dari lamunan. Zuna menatapku dengan heran. “Kenapa sih sedari tadi kamu melihat Haru terus?”
“Hah, terlihat sekali ya, Zuna?” tanyaku dengan wajah memerah.
“Eh, aku sebenarnya kagum loh sama kamu, Han. Seberapa besar kamu ditolak Haru, tapi kamu tetap berjuang untuk terus berada di dekatnya. Aku ajah tidak pernah mengerti dirinya setelah ia menjauhiku dan kak Zeno. Padahal kami bertiga dekat dengannya sedari kami lahir. Tapi dia malah menjauhi kami.”
“Menjauhi?” ulangku.
“Iya. Bahkan menjauhi teman-teman sekelas juga. Ia seperti hidup di dunia yang berbeda. Dia juga mengusir orang-orang yang duduk di sebelah bangkunya. Sebenarnya aku sedih banget melihat dia hidup sendirian seperti itu. Padahal dulu Haru tuh ceria banget orangnya, pintar bergaul dan banyak yang ngefans sama dia!”
“Apa yang sudah terjadi kepada kak Haru?” pertanyaanku membuat Zuna melihat ke arah Haru yang masih tertidur di bangkunya. Lantas ia menelungkupkan tubuhnya di meja sembari menghadapkan wajahnya ke arah Hana. Zuna menarikku untuk melakukan hal yang sama. Aku pun juga ikut menelungkupkan tubuhnya sembari menatap Zuna dengan wajah penasaran.
“Sebenarnya aku tidak bisa cerita ini terlalu lantang. Bisa bahaya kalau kedengaran anak lain,” Zuna menghembuskan nafasnya. Kemudian bercerita lagi, “Saat almarhumah ibunya meninggal karena kecelakaan ditabrak truk, Haru berada disana. Ibunya hendak menghampirinya di seberang jalan. Tapi ternyata ibunya tertabrak dan meninggal tepat di depan matanya. Haru begitu terpukul. Aku dan kak Zeno berusaha menghiburnya, tetapi Haru malah semakin depresi. Tidak keluar kamar maupun sekolah.”
“Kak Haru pasti begitu menderita,” gumamku. Ternyata penderitaan yang kak Haru alami tidak sebanding dengan apa yang pernah aku alami. Aku merasakan empati pada nasib kak Haru. Ia pasti merasakan rasa sakit setiap harinya karena tidak lagi melihat ibunya berada di sisinya. Sedangkan aku berusaha untuk tetap kuat dan bertahan hidup demi mama. Andai saja kehidupan kak Haru terjadi padaku, aku merasa tidak akan kuat menanggung ngerinya kehidupan ini lagi.
“Hingga suatu hari dia keluar kamar. Tubuhnya sangat kurus dan tidak terawat. Kami segera membantunya. Kak Zeno membantunya membersihkan diri dan aku memasak untuknya. Aku ingat betul, dia makan dengan lahap. Lalu papanya pulang ke rumah dan memeluknya. Tapi Haru malah menolak pelukan dari papanya. Dia malah berteriak, ‘INI SEMUA SALAHMU! KEMBALIKAN IBUKU! KEMBALIKAN IBUKU!’ Aku kira pasti sudah terjadi sesuatu sebelum kecelakaan itu terjadi. Mungkin suatu pertengkaran?”
“Kak Haru..,” diriku menggumamkan namanya sembari melihat ke arahnya yang masih terlelap. Ternyata kejadian meninggalnya ibu kak Haru menimbulkan penderitaan padanya sampai ia juga memutuskan lari dari kehidupannya yang bahagia sebelumnya.
Aku pun baru menyadari bahwa kehadiranku dengan mama malah semakin memperburuk kehidupan kak Haru. Seharusnya kami berdua tidak muncul di dalam kehidupannya juga papanya. Tidak. Seharusnya tidak akan pernah. Aku tidak ingin membiarkan hal ini terjadi. Aku merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan kehidupan kak Haru agar ia kembali hidup dengan kebahagiaan. Papa telah memberikanku kehidupan yang baru, keluar dari kehidupan yang membosankan. Ini saatnya aku harus membalas budinya. Aku akan terus berada di sisi kak Haru dan membuatnya tersenyum. Membuatnya memiliki alasan untuk bertahan hidup sepertiku. Kak Haru, kak Haru...
“Tapi aku agak kaget loh saat tahu kalau kamu yang menggantikan Haru menjadi vokalis band. Apa nggak apa-apa nih?”
“Aa.. apa?” aku terperangah mendengar ucapan Zuna barusan.
***
Pada saat jam pulang sekolah, Zeno mengajakku latihan band di dalam studio sekolah bersama dengan anggota band lainnya. Sebenarnya aku masih tidak menyangka kalau sebelumnya kak Haru adalah anggota band ini. Zeno juga tidak pernah mengatakan apapun tentang itu. Aku juga tidak pernah bertanya sih. Kak Haru pasti akan semakin membenciku jika tahu kalau aku yang menggantikannya.
“Hana, kok sedari tadi bengong ajah?” aku pun mengernyitkan dahi tidak mengerti pertanyaan yang dilontarkan Zeno.
“Bengong?” tanyaku balik. Ia tertawa kecil melihat kebingunganku.
“Melamun, maksudnya. Ya udah, ayo kita latihan lagu ini. Kita sepakat ya menggunakan lagu Kanade dari Sukima Switch. Kamu sudah berlatih kan?”
“Su.. sudah.” Jawabku agak canggung.
Aku tidak pernah menduga jika Zeno memiliki hobi menonton anime dan mendengarkan lagu-lagu Jepang. Aku sering pergi ke rumahnya untuk menonton anime bersama. Lalu dia merekomendasikan film Isshukan Friends versi live actionnya. Karena menyukai anime sekaligus film live action-nya, aku mengenal lagu Sukima Switch dan ingin menyanyikannya di pensi sekolah. Zeno menyuruhku untuk berlatih di rumah. Aku pun bersemangat dan sudah membayangkan bagaimana aku tampil nantinya. Namun setelah mengetahui bahwa kak Haru adalah vokalis sebelumnya membuatku merasa bersalah karena telah menggantikan posisinya. Aku sayang kak Haru. Aku tidak ingin menyakitinya lebih dari ini.
“Zeno, kenapa vokalis sebelumnya tidak nyayi lagi?” tanyaku dengan nada hati-hati. Kulihat Zeno mulai menunjukkan raut wajah aneh. Ia tampak tidak ingin membahasnya.
“Dia mengundurkan diri dengan cara yang tidak baik. Dia egois. Tidak peduli dengan anggotanya lagi.”
“Apa yang sudah dilakukannya?”
“Dia marah dan memukul kami tanpa alasan,” aku hampir tidak percaya kak Haru yang melakukannya. Apakah yang dilakukan oleh kak Haru semata-mata karena ingin sendirian? Sampai hati menyakiti dan menjauhi orang-orang yang baik dan peduli padanya.
Usai berlatih, aku langsung meminta ijin untuk pulang duluan. Zeno hendak pulang bersamaku. Tetapi aku melarangnya dan ingin pulang sendirian. Sepanjang perjalanan pulang diriku terus saja menitikkan air mata di atas angkutan umum. Entah kenapa rasa sakit yang dirasakan oleh kak Haru terus menghantuiku. Rasanya diriku turut merasakan penderitaannya. Ingin rasanya aku segera memeluknya. Setelah sampai di rumah, aku segera menaiki lantai atas dan berpapasan dengan mama yang baru saja meletakkan hidangan makanan di depan pintu kamar Haru. Aku pun menyalami tangannya. Lalu hendak mengetuk pintu kamar kak Haru.
“Kemana saja kamu, Hana? Sore begini baru pulang, sayang,” aku tidak jadi mengetuk dan berbalik ketika mama berbicara padaku.
“Oh, tadi aku berlatih band dengan Zeno, ma.”
“Wah, sekarang kamu ikut band?” mama memegang kedua pundakku sembari menatapku dengan wajah sumringah. Sepertinya beliau senang melihatku semakin bisa berbaur dengan orang-orang di sekolah.
“Saya bagian vokalisnya, ma.”
“Menyanyi lagu Indonesia, Inggris, atau Jepang?
“Lagu Je..,”
“Eh, Haru!” aku terkejut saat mama melihat dimana kak Haru sedang mengambil hidangan makanan di bawah lantai. Apa sedari tadi kak Haru mendengarkan pembicaraanku dengan mama? Apa dia akan marah padaku? Ku beranikan diri untuk menatap matanya. “Nee.. nee.. dengar deh, sekarang Hana jadi anggota band dengan Zeno loh. Padahal Hana biasanya merajut. Mama kaget kalau ternyata dia juga bisa bernyanyi.”
Raut wajah kak Haru menunjukkan ekspresi terkejut. Namun hanya sekejap. Setelah itu ia menatapku dengan tatapan seperti biasanya. Ya, tatapan tidak suka padaku. Perasaan dibenci olehnya membuatku semakin ingin menangis.
“Selamat ya,” ucapnya kemudian. Giliran aku yang terkejut dengan perkataannya. Apakah dia baru saja memberikan ucapan selamat padaku? Berarti dia tidak marah padaku? “Hebat sekali si muka dua ini!” setelah mengatakan hal itu, ia kembali memasuki kamarnya dengan pintu tertutup.
“Sayang, perkataan kakakmu jangan dimasukkan ke dalam hati ya,” aku masih terpaku pada pintu kamar kak Haru yang tertutup. Lantas menoleh ke mama dengan wajah penuh tanya. Ingin rasanya bertanya padanya, namun aku tahu bahwa aku harus mencarinya sendiri. Setelah mama turun ke lantai bawah, aku segera mencari kata ‘itu’ di kolom pencarian. Kak Haru sering sekali mengatakan kata itu padaku. Tapi aku tidak pernah memahami apa yang dikatakannya.
"Muka dua? Apa itu 'muka dua'?! HAH!"
Aku segera menutup kedua mulutku. Ponselku terpelanting ke lantai dalam sekejap. Dadaku berdegup kencang tidak karuan setelah membaca beberapa barisan kalimat dari ponselku. ‘Orang munafik dan tidak jujur, yang selalu memakai topeng karena motifnya yang egois. Mereka menampilkan 'satu wajah' pada satu waktu dan wajah lain pada saat lain dan merupakan pembohong. Mereka tidak pernah jujur dengan teman, pekerjaan, atau dalam hubungan. 'Apakah aku terlihat seperti itu? Apakah selama ini kak Haru melihatku seperti itu? Berarti kak Haru benar-benar semakin membenciku.'
***