Ryo bangun dari tidur dan mendapati Dinda sedang terlelap di sofa samping tempat tidurnya. Dinda terlihat bercahaya pagi itu. Dari posisinya tidur, Ryo yakin, Dinda tidak tidur dengan baik malam sebelumnya.
Ryo berusaha duduk dan kain basah yang tadinya menempel di kapalanya jatuh. Kain itu membuat senyum di wajah Ryo terkembang. Dia hendak membangunkan Dinda, tapi urung karena mendengar ketukan di pintu kamarnya.
Kepala Bi Inah menyembul dari balik pintu dengan nampan berisi makanan. "Den ...."
Ryo segera memberi isyarat ke Bi Inah untuk pelan-pelan. Mata Bi Inah menangkap Dinda yang tertidur di sofa lalu mengangguk.
"Ini Bibi bikin buat dua orang. Nanti kalau Non Dinda sudah bangun, minta sarapan dulu, ya, Den. Bapak dan Ibunya Non Dinda udah Bibi kabarin."
Ryo mengangguk pelan ke Bi Inah sebelum asisten rumah tangganya itu keluar.
Di dunia ini, Ryo rasa, selain Bi Inah dan keluarga Dinda, dia tidak memiliki siapa-siapa lagi. Papa dan Mamanya bahkan tidak menganggapnya ada.
Sejak kecil, walau orang tuanya kaya raya, Ryo tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari mereka. Mereka hanya mencukupi Ryo dengan uang dan harta benda. Dari dulu, hanya ada Bi Inah dan keluarga Dinda untuknya.
Sebenarnya, Ryo sempat bertanya-tanya, bagaimana dia bisa tumbuh besar sebelum ada Bi Inah di keluarga ini. Soalnya Bi Inah baru bekerja di rumah mereka saat Ryo menginjak bangku sekolah. Tapi semua itu terjawab saat, secara tidak sengaja, dia bertemu dengan babysitter-nya. Mba Ayu namanya.
Selama ini, Ryo hanya hidup bersama Bi Inah. Orang tuanya berangkat pukul lima subuh, baru pulang setelah pukul satu malam, itu pun kalau mereka pulang. Mereka lebih sering berada di luar rumah. Kerja, katanya. Demi Ryo, katanya. Dalam waktu satu tahun, Ryo bahkan bisa menghitung dengan jari berapa menit mereka bertemu. Kalaupun mereka bertemu, Ryo hanya akan dianggap patung hidup oleh mereka. Jangankan menanyakan keadaannya, mengucapkan 'hai' pun tidak.
Seperti mereka merasa sudah menyelesaikan semua tanggung jawab mereka sebagai orang tua dengan secara rutin setiap bulan menyalurkan donasi ke rekening Ryo sebagai uang saku. Seolah tugas merawat dan membesarkan Ryo sudah terpenuhi dengan adanya pembantu serta asisten rumah tangga. Seolah kebahagiaan Ryo sudah tercapai dengan adanya mainan, buku, atau pernak-pernik remaja lainnya.
Ryo ingat jawaban orang tuanya saat dua tahun lalu tubuhnya menahan sakit dan meminta tolong kepada mereka untuk dibawa ke rumah sakit.
"Kamu itu laki-laki, kamu harus bisa mengurus dirimu sendiri."
Saat itu, akhirnya dia pergi ke rumah Dinda dan pingsan di sana. Orang asing yang membawanya ke rumah sakit. Orang asing yang akhirnya menemaninya ke dokter dan menemaninya saat dokter mengatakan usus buntunya bengkak dan harus dioperasi. Orang asing yang akhirnya menungguinya dan merawatnya di rumah sakit hingga dia sembuh.
Atas alasan itulah, Ryo sulit untuk benar-benar menyayangi orang tuanya. Dia menyalahkan orang tuanya atas semua ini. Meski jauh di dalam lubuk hatinya, Ryo masih menyimpan harap agar mereka berubah.
Dinda berdeham pelan, membuat pandangan Ryo yang tadi terpaku kepada gadis itu langsung memerah. Dengan segera dia memalingkan wajahnya ke tempat lain.
"Yo? Kamu udah baikan?" tanya Dinda sambil menjulurkan tangannya ke wajah Ryo.
Gerakan itu membuat Ryo melonjak kaget. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Kamu mau ngapain?"
Dinda mengernyit melihat reaksi Ryo barusan. "Mau ngecek suhu tubuh kamu?"
Ryo diam saja melihat tangan Dinda yang mendekati pelipisnya. Jantungnya berdetak lebih kencang seiring dengan semakin dekatnya telapak tangan Dinda. Ketika akhirnya kulitnya merasakan kehangatan yang disebarkan Dinda, bukan hanya pelipisnya yang merasakan itu, tapi sekujur tubuhnya. Ryo tiba-tiba merasakan keinginan kuat untuk mendorong tubuh Dinda menjauh, meski tidak dilakukannya.
Dinda sebenarnya menangkap perubahan reaksi Ryo itu, tapi mengingat apa yang dikatakan Ryo dalam igauannya kemarin malam, gadis itu urung menanyakannya. Dinda khawatir Ryo mengatakan sesuatu yang seharusnya disimpan dalam-dalam secara sadar. Sedangkan saat Ryo tidak sadar tadi malam pun Dinda sudah tidak tahu harus melakukan apa, apalagi saat cowok itu sadar penuh seperti saat ini.
Mata Dinda menangkap sajian di meja kecil dekat pintu kamar Ryo. "Itu apa?"
Ryo yang sudah mulai merasa tenang, melirik ke arah makanan yang dibawa Bi Inah tadi. "Bubur kayaknya. Bi Inah yang siapin. Katanya supaya kita sarapan."
Dinda mengangguk. Dia bangkit dari posisi duduknya dan beranjak mengambil nampa berisi makanan itu. Dibawanya makanan itu ke meja yang ada di balkon kamar Ryo. "Kamu mau sampai kapan di situ? Ayo, sarapan dulu!"
Ryo bangkit dari tempat tidur dan menyusul Dinda ke balkon kamar. Balkon itu tidak besar, hanya sebesar 3m x 2m, tapi Ryo menyulp balkon kecil itu menjadi tempat bacanya. Ada lemari bertutup kaca di dinding sebelah kanan dan kiri. Pintu menuju kamarnya tepat di sebelah kanan. Ada tanaman gantung yang dirawat Bi Inah di bagian depan kamar, di atas pagar pembatas. Sementara di sisi kiri pintu, terdapat dua buah sofa kecil yang memang dia sediakan untuk mereka berdua. Hanya Dinda yang pernah duduk di balkonnya, bahkan orang tua Ryo dan Bi Inah pun tidak pernah mendekam terlalu lama di sana.
Dinda menyerahkan semangkuk bubur ke tangan Ryo dan mengambil satu mangkuk lagi untuk dirinya sendiri. "Makan dulu. Habis ini kamu minum obat."
Tanpa membantah, Ryo mulai menyiduk bubur kepiting ke mulutnya. Tangannya memang fokus menyiduk sesendok demi sesendok bubur dari mangkuk bubur, tapi matanya tidak sekalipun lepas dari Dinda.
Ada yang aneh dari bagaimana Dinda merespons tindakannya atau dari bagaimana Dinda melirinya. Gadis itu seperti menghindari tatapan mata Ryo dan itu sangat aneh.
"Apa aku tadi malam melakukan sesuatu yang buruk, Din?"
Ryo bisa melihat dengan jelas Dinda menggigit bibir bawahnya sebelum menggeleng. Reaksi itu malah meyakinkan Ryo bahwa jawaban dari pertanyaannya berkebalikan dari reaksi Dinda.
"Aku melakukan apa?"
Dinda menggeleng, tapi tetap tidak membalas tatapannya. Ini aneh. Dinda tidak biasanya seperti ini. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang mampu diingatnya. Tapi satu-satunya hal yang mungkin membuat Dinda bertingkah aneh seperti ini adalah jika Ryo mengucapkan perasaannya ke Dinda dan itu tidak mungkin kecuali ....
Ryo membelalakkan matanya.
Jantungnya berdegup kencang. Tangannya langsung meletakkan mangkuk berisi bubur yang sudah setengah habis. Dia menatap Dinda. Dengan perasaan tidak menentu, Ryo bertanya kepada Dinda, "Apa ... apa ... apa aku mengigau tadi malam?"
Itu adalah kebiasaan buruk Ryo saat sakit. Dia tidak bisa mengendalikan bibirnya saat sedang sakit. Dia mudah sekali mengigaukan sesuatu. Dia pernah mengatakan dalam igauannya kalau dia mengambil buku favorit Dinda. Dia juga pernah mengigau dan mengatakan bahwa dia membenci orang tuanya. Tapi satu hal yang pasti di dalam semua ucapan yang dia keluarkan saat mengigau, dia selalu mengatakan apa yang ada di hatinya. Dan kalau itu benar-benar terjadi, menginat hal terakhir yang dipikirkan Ryo sebelum jatuh sakit adalah perasaannya kepada Dinda, artinya dia sedang menerjunkan dirinya ke jurang.
"Din?"
Dinda mengangguk.
"Apa ... apa yang aku katakan?"
Dinda menatap mata kelam Ryo, kali ini tidak lagi menghindar. "Aku ... tidak tahu pasti apa yang ingin kamu tanyakan tapi, kamu ...." Dinda menggigit bibir bawahnya.
"Aku ...?"
"Kamu bilang ke aku kalau ...."
"Din?"
"Kalau orang tua kamu mau cerai. Dan ...."
"Dan ...?"
"Kamu suka aku sudah sejak lama."
Mendengar itu, Ryo merasa lega. Dia sudah pernah mengatakan hal yang sama kepada Dinda sebelum masalah dengan Levi muncul. Jadi, ungkapan itu pasti tidak ada apa-apanya. Tapi, kalau Cuma itu, kenapa reaksi Dinda berbeda?
Ryo menatap ke Dinda lagi. Karena cewek itu terlihat seperti akan menambah kalimatnya. "Ada lagi?"
Dinda mengangguk. "Kamu bertanya apa aku suka kepadamu juga, tapi bukan sebagai sahabat."
Oke. Ryo memang sedang terjun ke jurang.