Setelah seminggu berlalu, akhirnya pertandingan terakhir Marvin terlaksana. Sebelum berkumpul di lapangan, pria itu menyempatkan diri untuk bertemu dengan Dira yang juga akan menonton pertandingannya bersama dengan Santi.
"Doain gue ya," ucap Marvin yang langsung membuat Dira mengangguk pelan.
"Pasti!" jawab Dira dengan semangat. Melihat hal itu, Marvin langsung membawa perempuan yang dia sukai untuk masuk ke dalam pelukan hangatnya.
"Makasih ya, udah mau nemenin gue sampe sekarang," bisik Marvin dengan pelan.
"Iya, Kak. Semoga tim Kakak menang ya."
"Iya, Amin."
Marvin melepas pelukannya dan tiba-tiba memegangi kepala Dira dengan kedua tangannya. Perlahan wajah pria itu mendekat dan bibirnya menempel di dahi Dira yang langsung membeku. "Kalau gue menang, lo harus jadi cewek gue!"
Tanpa menunggu balasan Dira, Marvin segera berlari masuk ke dalam lapangan. Mau tak mau, Santi-lah yang harus menyadarkan teman sebangkunya tersebut.
"Dir, Dira," panggil Santi sembari menggoyangkan tubuh temannya agar Dira sadar.
"Hah, iya. Kenapa?" tanya Dira setelah sadar.
"Itu pertandingan Kak Marvin sudah mau mulai."
Mendengar ucapan Santi, Dira sedikit panik dengan mata yang tertuju pada lapangan basket. "Udah mau mulai ya. Yuk, buruan ke tribun," ajak Dira sembari menarik tangan Santi untuk mengikutinya.
Selama pertandingan, suasana lapangan begitu ramai dengan nyanyian juga teriakan. Nama Marvin juga ikut serta dipanggil oleh siswi-siswi yang menonton. Apalagi setelah pria itu mencetak gol, pasti siswi-siswi yang menonton histeris.
"Kak Marvin!"
Yang dipanggil langsung melambaikan tangannya ke arah tribun penonton. Matanya kemudian menjelajah mencari keberadaan Dira yang ternyata duduk di sisi kiri.
Setelah menemukan perempuan yang dia sukai, Marvin kembali melambaikan tangannya yang membuat Dira tersipu malu. Namun ternyata, ada seseorang yang menatap tidak suka pada interaksi Dira dan Marvin dan memiliki niatan jahat di benaknya.
Satu jam berlalu dan mereka yang tengah bertanding pun istirahat. Marvin meninggalkan teman-temannya untuk mendekat ke arah Dira. Melihat hal itu, Dira langsung menyodorkan air mineral kepada Marvin dan diterima oleh pria tersebut. "Masih ya," ucap Marvin dengan lembut yang langsung dibalas anggukan oleh Dira.
Tidak butuh waktu lama, air mineral yang Dira berikan pun habis diminum oleh Marvin. Setelahnya, pria itu harus kembali ke lapangan untuk melanjutkan pertandingan.
Babak kedua menjadi sedikit sengit saat teman satu tim Marvin mendapat perlakuan kasar oleh tim lawan. Sebagai kapten, Marvin tidak tinggal diam dan nyaris bertengkar dengan lawannya tersebut. Untungnya, wasit cepat datang dan melerainya.
"Sudah, sudah. Kalau kalian nggak mau dapat kartu merah!" ancam wasit tersebut yang membuat kedua tim membubarkan diri.
Karena sikap tim lawan yang sedikit arogan, Marvin menjadi lebih bersemangat untuk mengalahkan mereka dan tercetaklah angka yang cukup mengalahkan mereka.
Dengan hasil akhir yang tidak jauh beda, tim Marvin tetap dapat mengalahkan tim lawan. Mereka juga mendapat piala, medali dan uang tunai sebesar 25 juta rupiah.
Melupakan semua kebahagiaannya, Marvin berniat untuk menemui Dira yang ternyata telah menghilang dari tribun penonton. "Loh, kemana dia?" monolog Marvin sembari tetap memperhatikan orang-orang yang masih ada. Sayangnya, Dira tak juga dapat dia temukan.
Saat tengah bingung, tiba-tiba sebuah tangan melingkar di bahunya. Tangan itu ialah tangan Dio, teman satu timnya. "Kenapa bengong lo, Bro?"
Marvin menoleh dan melepaskan rangkulan Dio dengan sedikit kasar. "Bukan urusan lo."
Mereka hanya bercanda akan hal itu, Marvin segera pergi ke ruang ganti diikuti oleh Dio di belakangnya. "Lo ikut makan-makan kan entar?"
Yang ditanya terlihat tidak peduli dengan tangan yang sibuk membuka tali sepatu.
"Vin, gue ngomong sama lo!" ucap Dio lagi karena muak dengan sikap Marvin.
"Gue nggak tau!" balas Marvin dengan sedikit berteriak. Hatinya agak kurang baik sekarang karena tidak menemukan Dira padahal dia ingin menagih janji pada perempuan itu.
Kini, kedua sepatu Marvin sudah terlepas dan pria itu berniat untuk mandi juga berganti pakaian. Di tengah perjalanan menuju kamar mandi, Marvin mendengar pembicaraan teman satu timnya yang membuat langkah pria itu terhenti.
"Lo tau nggak, Sela ngebully anak baru lagi!"
"Oh ya? Emangnya siapa yang Sela bully kali ini?"
"Dira, anak 10-3. Cantik sih, tapi gue juga nggak paham alasan dia ngebully tuh anak."
Ucapan tersebut lantas membuat Marvin terkejut, pria itu kemudian mendekat pada dua orang yang membicarakan tentang Dira. "Dira dibully sama Sela?" tanya Marvin yang langsung dibalas anggukan oleh keduanya.
Tanpa alas kaki, Marvin berlari keluar dari ruang ganti walau tak tau harus kemana. Pria itu hanya mengikuti perasaannya dan setelah sampai di lorong sekolah, matanya menemukan segerombolan siswa tengah berdiri di depan toilet.
Mengira ada sesuatu, Marvin kembali berlari dan masuk ke dalam kerumunan tersebut. "Minggir! Gue bilang minggir!" pekik Marvin sehingga bisa masuk ke dalam toilet perempuan tersebut.
Bola mata Marvin membulat saat melihat sosok perempuan yang dia cari tengah terduduk di lantai bersama dengan teman sebangkunya. Mereka saling berpelukan sembari menangis pelan.
"Dir," cicit Marvin yang tak hanya membuat Dira menatapnya. Namun, orang yang melakukan hal jahat pada perempuan itu juga.
Di hadapan Marvin, ada Sela dan teman-temannya yang menatap takut kepada pria tersebut. "Mar-vin," panggil Sela terbata.
"Lo apain Dira! Lo apain dia sampe begini!" bentak Marvin dengan wajah memerah karena marah.
"Gue nggak ngapa-ngapain dia kok," bantah Sela yang membuat Marvin berdecih pelan.
"Bohong, Kak. Dia dorong dan siram kita!" jelas Santi yang mendapat tatapan tajam dari Sela.
"See. Lo denger sendiri kan, apa yang Santi omongin. Gue lebih percaya dia daripada lo!"
"Tapi, Vin!"
"Tapi apa? Alasan apa yang ngebuat lo ngelakuin ini sama Dira!" bentak Marvin lagi. Namun, kali ini Sela ikut merasa kesal pada pria tersebut.
"Gue cemburu, Vin. Gue cemburu sama dia!"
"Lo cemburu sama Dira? Emangnya lo siapa gue?"
Pertanyaan Marvin amarah Sela semakin meningkat, perempuan itu tidak diakui oleh Marvin dan membuatnya merasa sakit hati. "Jadi, selama ini lo cuman mainin gue?"
"Semua orang juga tau! Gue nggak pernah serius sama perempuan manapun sebelum akhirnya gue ketemu sama Dira!"
Lagi-lagi, nama Dira menyangkut pada percakapan mereka. Hal itu membuat sang pemilik nama ketakutan. Untungnya, Santi dengan cepat menenangkan Dira.
"Kamu nggak usah takut, Dir, "bisik Santi sembari mengusap punggung Dira dengan pelan.
"Lo bohong kan, Vin? Lo nggak mungkin suka sama cewek itu!"
"Kenapa enggak? Gue emang suka mainin cewek sebelumnya, tapi nggak untuk Dira. Gue sayang sama dia, gue cinta sama dia!"
Ungkapan Marvin membuat Sela tidak tahan dan pergi dari hadapan pria itu. Teman-temannya juga mengikuti Sela entah kemana. Setidaknya, perempuan itu sudah pergi sekarang.
Marvin melangkah mendekat ke arah Dira dan berlutut di depan perempuan itu. "Sorry ya. Gue nggak bisa jagain lo," ucap Marvin dengan penuh penyesalan. Namun, Dira menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Nggak, Kak. Kakak nggak salah kok."
"Ya udah, kita pergi dari sini ya," ajak Marvin sembari bersiap menggendong Dira, tetapi perempuan itu mengabaikannya karena fokus pada kaki telanjang Marvin.
"Sepatu kakak mana?" tanya Dira yang membuat Marvin ikut menatap kakinya.
"Ketinggalan di ruang ganti."
Jawaban Marvin membuat orang-orang yang ada di sana tertawa, begitu pula dengan Santi yang berada di dekat mereka.
Memang saat pergi tadi, Marvin seakan kehilangan kesadaran dan pergi begitu saja padahal jalanan yang dia lalui cukup berbatu dan sakit ketika dilalui tanpa alas kaki.
~Cinta memang sehebat itu, membuat hal yang tidak masuk akal menjadi masuk akal~
seru ni, menatikan playboy kena karma. wkakakka
Comment on chapter Chapter 1ada yang tulisannya Dio dan Deo,
mau berteman dan saling support denganku?