Dengan wajah yang lebam, Marvin tetap turun bersekolah walau sebenarnya dia ingin menjenguk Dira lagi. Sayangnya, dia memiliki ujian hari ini dan tidak bisa meninggalkannya.
Seharian penuh, Marvin mengunci mulutnya dan tidak menjawab semua pertanyaan yang teman-temannya lontarkan, terutama tentang luka yang memenuhi tubuhnya.
"Yaelah, kenapa lo jadi kaya robot gini sih!" tegur salah satu teman sekelas Marvin setelah diabaikan oleh pria itu.
Teman-temannya yang lain juga mengangguk pelan sebagai respon atas ucapan Darel.
"Iya, padahal kita pengen tau lo kenapa," sahut yang lain. Namun, tetap diabaikan oleh Marvin yang kini sibuk dengan ponselnya.
Bel masuk sekolah, membuat mereka yang mengumpul di meja Marvin bubar. Seorang guru kemudian masuk dan memulai pelajaran terakhir.
Saat pulang, Marvin bergegas pergi dan meninggalkan teman-temannya yang tengah berteriak memanggil namanya berulang kali. "Vin, Marvin!"
Alasan Marvin cepat-cepat pergi adalah untuk menemui Santi dan memberitahu perempuan itu mengenai keadaan Dira sekarang. Untungnya saat sampai di kelas 10-3, belum ada siswa yang keluar dan Marvin memutuskan untuk menunggu di depan kelas.
Sembari menyandarkan tubuh di dinding, Marvin sibuk memperhatikan beberapa siswa yang lewat dan menyapanya.
Tak lama kemudian, Santi keluar dan langsung ditahan oleh Marvin. "San, gue mau bicara sama lo," ucap pria itu sembari menarik tangan Santi sampai ke pinggir lapangan yang cukup sepi.
"Mau bicara apa, Kak?" tanya Santi setelah Marvin melepaskan cengkeraman tangannya.
"Gue cuman mau nyampein pesen Dira, dia bilang, lo nggak usah khawatir sama keadaan dia. Dia nggak pa-pa kok, cuman kecapekan, tapi ... ."
"Tapi apa, Kak?" potong Santi dengan penuh penasaran.
"Tapi dia masuk rumah sakit."
Bola mata Santi membulat sempurna saat mendengar ucapan Marvin, tidak mungkin Dira masuk rumah sakit hanya karena kelelahan. "Nggak mungkin banget kalau cuman kecapekan tapi masuk rumah sakit."
"Iya," jawab Marvin singkat, dia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya apalagi Santi sepertinya begitu menyayangi Dira sebagai teman. "Ya udah, gue balik dulu ya," pamit Marvin yang langsung membuat Santi mengangguk.
Marvin takut, jika terlalu lama di hadapan Santi yang kebingungan, dia akan menjelaskan semua hal yang perempuan itu tidak boleh tau.
Sesampai di parkiran, Marvin yang baru saja naik ke atas motor tak sengaja mendengar pembicaraan siswa lain. Awalnya dia tidak terlalu peduli pada ucapan mereka. Namun setelah mendengar nama Dira disebut, Marvin tidak tinggal diam.
"Lo tau nggak, itu Dira anak kelas 10-3 nyaris diperkosa sama Bagas."
"Hah, nyaris doang? Yakali, Bagas nggak sebego itu, kayanya si Dira udah habis deh sama dia."
Rahang Marvin mengeras saat mendengar tuduhan tersebut, dia tau betul apa yang terjadi dan sedikit bingung dengan cara berita itu beredar padahal sudah ditutup secara rapat.
Dengan langkah panjangnya, Marvin mendekati kedua pria yang tengah bergosip tentang Dira. Tanpa ragu, Marvin mencengkeram leher salah satu pria itu untuk meluapkan amarahnya. "Jaga ya omongan lo. Dira nggak diperkosa sama Bagas!"
Pria yang menjadi korban Marvin meringis kesakitan, cengkeraman pria itu semakin lama semakin keras. "Iya, Kak. Iya, maaf. Aku nggak maksud buat ngomong begitu."
"Iya, Kak. Maaf," timpal temannya.
Walau masih kesal, Marvin tetap melepaskan cengkeraman tangannya di leher pria yang kini tengah memperbaiki alunan napasnya. Ada bercak merah yang tertinggal di sana sebagai bukti kerasnya cengkeraman Marvin.
"Kalau sampe gue denger lo jelekin Dira lagi, habis lo sama gue," ancam Marvin sebelum pergi meninggalkan kedua pria tersebut.
Tanpa menunggu waktu lama, Marvin langsung menyalakan mesin motornya dan bergegas pergi ke rumah sakit untuk menemui Dira kembali.
Sesampai di ruangan Dira, Marvin segera menaruh kresek berisi makanan yang dia beli di jalan ke atas meja. Setelahnya, berjalan menuju kasur Dira.
"Gimana keadaan lo?" tanya Marvin dengan cepat karena Dira ternyata tidak tidur dan sibuk dengan buku yang tengah dia baca.
Dira menutup bukunya dan menaruh di sisi ranjang, sebelum menjawab ucapan Marvin. "Udah enakan kok, Kak."
"Syukurlah," balas Marvin sembari mengusap pipi Dira dan sengaja menyibak rambut yang menutupi lehernya.
Bola mata gelap milik Marvin memperhatikan bekas cekikkan di leher Dira yang ternyata sudah mulai memudar sehingga membuat pria itu bernapas lega.
"Kak," panggil Dira yang membuat perhatian Marvin teralihkan.
"Iya, kenapa?"
"Kakak nggak perlu ke sini terus, aku tau kakak masih harus latihan. Aku udah nggak pa-pa kok."
Sebelum menjawab, Marvin menghela napas pelan. Dia tau Dira tidak bermaksud untuk mengusirnya, dia hanya tidak enak pada Marvin. Namun, pria itu tetap mau menjaganya.
"Jadinya, lo cepet sembuh dong, biar bisa temenin gue lagi. Biar gue nggak perlu khawatir lo."
"Iya, Kak."
Seakan tidak kehabisan tenaga, Marvin menjalani hidupnya dengan sedikit kesulitan. Dia harus membagi waktunya yang sempit, untuk sekolah, latihan juga menemui Dira yang ternyata harus tinggal beberapa minggu di rumah sakit guna mengobati luka dan traumanya.
Sedikit demi sedikit, kondisi Dira semakin membaik dan Marvin bersyukur akan hal itu. Untuk masalah Bagas, pria itu tetap memberikan aliran dana yang sebenarnya sudah dilarang oleh Marvin karena pria itulah yang mau membayar semua pengobatan Dira.
Masalah Marvin dan Bagas pun selesai begitu saja, mereka hanya mau saling melampiaskan amarah dan berakhir damai. Walau begitu, Marvin tetap memiliki dendam pada Bagas.
"Jadi, besok tes terakhir?" tanya Marvin kepada Dira yang tengah makan. Perempuan itu sudah bisa beraktifitas hanya saja terus dikontrol keadaannya.
Dengan makanan yang penuh di dalam mulut, Dira mengangguk pelan sebagai jawaban. Marvin yang duduk di sisinya kemudian ikut mengangguk.
"Mau gue temenin?" tanya Marvin lagi, karena besok dia besok luang dan ingin menemani Dira seharian.
Setelah mengunyah habis makanan di dalam mulut dan meminum setegak air, Dira pun menjawab, "nggak usah, Kak. Aku nggak mau ngerepotin."
"Walau lo nolak, gue tetep temenin," jawab Marvin santai yang membuat Dira menghela napas. Sikap perempuan itu berhasil membuat Marvin mengangkat salah satu alisnya. "Kenapa?" tanyanya seakan tidak tau apa yang terjadi.
Wajah Dira menoleh dan kembali dia letakkan sendok yang sebelumnya dia pegang. "Kalau kakak maksa, ngapain nanya dulu?"
"Ya, terserah gue."
Tidak ada hal yang perlu Dira sampaikan lagi, dia malas berdebat dengan Marvin karena pada akhirnya, dia tidak bisa menang dari pria tersebut. Lagian Dira perlu banyak tenaga agar bisa cepat keluar dari rumah sakit, bukannya malah membuang-buang tenaga untuk bertengkar dengan pria tersebut.
"Kakak kenapa nggak pulang?" tanya Dira setelah selesai makan. Perempuan itu sibuk membereskan perlengkapan makannya dan menaruh di atas meja.
"Lo ngusir gue lagi?" tanya balik Marvin dengan wajah jailnya yang membuat Dira menutup mata guna menurunkan emosi yang mungkin siap untuk meledak.
"Nggak ngusir, Kak. Kan aku cuman nanya."
Marvin tertawa pelan sebelum menjawab karena tau jika Dira tengah berusaha mengontrol emosinya. "Gue nginep di sini, kan besok minggu. Lagian nyokap lo udah titipin lo sama gue, dia besok ada acara soalnya."
"Loh, kok ibu nggak cerita ke aku?" tanya Dira dengan wajah terkejut.
Marvin mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban. Sebenarnya alasan Fani tidak mengatakan hal tersebut karena putrinya saat dia pergi tengah tidur dan hanya ada Marvin saat itu, sehingga Fani mengatakannya kepada Marvin guna disampaikan ke Dira.
***
seru ni, menatikan playboy kena karma. wkakakka
Comment on chapter Chapter 1ada yang tulisannya Dio dan Deo,
mau berteman dan saling support denganku?