Setelah nyaris satu minggu, Marvin akhirnya sadar jika Dira tidak pergi ke sekolah. Kegiatannya yang padat, membuat pria itu mengabaikan sekitar dan fokus pada pertandingan terakhirnya.
"Terus, sekarang dia dimana?" tanya Marvin menginterogasi Santi di kelasnya. Menghalangi perempuan itu untuk pergi ke kantin padahal jam istirahat sebentar lagi akan berakhir.
"Nggak tau. Aku juga nggak bisa hubungin dia, nomor dia nggak aktif," jawab Santi yang membuat Marvin menghela napas. Dia pikir akan langsung mendapat jawaban dari teman sebangkunya Dira tersebut. Namun sayang, dia tidak mendapatkan apa-apa selain informasi mengenai Dira yang tengah sakit.
Tanpa malu, Marvin mendatangi wali kelas Dira guna menanyakan keberadaan perempuan itu.
"Saya mohon, Bu. Saya mau tau Dira dimana sekarang," ucap Marvin dengan selembut mungkin padahal dia biasanya tidak seperti itu. Ke ruang guru pun cuman saat dia memiliki masalah dan kini, pria itu malah memohon untuk meminta informasi mengenai Dira.
Ayu yang sedang sibuk dengan laptopnya mengabaikan Marvin yang sejak tadi berbicara tanpa henti. Dia tidak mau membuka masalah Dira pada siapapun, termasuk pada siswa di hadapannya. "Kamu siapanya Dira sih sampe nanyain dia dimana? Perasaan kamu kelas tiga deh, terus Dira kelas satu. Kalian nggak mungkin temenan kan?"
Tentu Ayu curiga pada Marvin, apalagi setelah tau jika siswanya itu selalu mendekati siswi lain yang bahkan bukan satu angkatannya.
Marvin yang tidak bisa menjawab pertanyaan Ayu hanya dapat terdiam sembari menggaruk belakang kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. "Ya udah deh, Bu. Saya balik ke kelas aja kalau ibu nggak mau ngasih tau."
"Ya udah, sana. Lagian bentar lagi masuk kelas."
Karena diusir oleh Ayu dan mendapat tatapan aneh dari guru lain, Marvin memutuskan untuk pergi dari ruang guru. Bukannya pergi ke kelas, sesuai ucapannya tadi. Marvin malah berjalan ke parkiran dan kabur dari sekolah. Tujuan utamanya adalah rumah Dira.
Sesampai di rumah tersebut, Marvin mengetuk pintu rumah Dira berulang kali sembari memanggil nama perempuan itu. "Dir, Dira! Ini gue Marvin!"
Setelah cukup lama mengetuk pintu rumah yang tak berpenghuni itu, tiba-tiba sebuah motor yang dikendarai oleh seorang pria paruh baya datang dan masuk ke dalam teras rumah Dira.
"Nyari siapa ya?" tanya pria paruh baya tersebut pada Marvin. Namun yang ditanya malah melamun. "Hei, kamu nyari siapa?" tanya pria paruh baya itu lagi yang sebenarnya adalah ayah Dira.
"Eh, maaf, Pak. Saya lagi nyari Dira, Diranya ada nggak ya?"
Marvin bertanya dengan sopan karena tau jika pria paruh baya di hadapannya kini adalah ayah Dira, dia sempat melihat foto keluarga Dira yang terpajang di ruang tamu walau belum pernah bertemu dengan Adil sebelumnya.
"Oh, kamu nyari Dira? Diranya lagi sakit, Nak. Dia sekarang lagi rumah sakit," jawab Adil sembari membuka jaket dan helm yang dia gunakan.
"Kalau boleh tau, dia dirawat dimana ya, Pak?"
"Di rumah sakit bahagia jiwa, Nak. Deket sini."
Akhirnya, Marvin mendapat jawaban yang dia inginkan. Harusnya, dia lebih cepat datang ke rumah Dira dibanding menemui wali kelas perempuan itu yang enggan memberi informasi sedikitpun.
"Kalau kamu mau ke sana, silakan. Dia di sana sama ibunya."
"Baik, Pak. Makasih sebelumnya, tapi dimana Yoga sama Yogi, Pak?"
"Loh, kamu kenal anak kembar saya?" tanya Adil dengan wajah terkejut, anak kembarnya itu jarang bermain keluar. Namun, pria di hadapannya mengenal anak kembarnya tersebut.
"Iya, Pak. Saya dulu pernah kesini, terus main sama Yoga dan Yogi. Tapi karena belakangan ini saya sibuk, jadi jarang ke sini lagi."
Adil mengangguk pelan setelah mendengar penjelasan dari Marvin. "Oh gitu, berarti kamu pulang sebelum saya balik kerja ya."
"Iya, Pak. Bener."
Setelah percakapan yang cukup panjang, Marvin pun pamit untuk pulang. Ternyata Yoga dan Yogi masih di sekolah, dia juga lupa bahwa kini tengah kabur dari sekolahnya. Ya wajar saja, jika sekarang anak-anak lain masih berada di sekolahnya.
Sebelum pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Dira, Marvin membeli beberapa makanan untuk perempuan itu. Dia merasa tidak enak jika datang dengan tangan kosong.
Sesampai di rumah sakit, Marvin bertanya pada resepsionis dimana ruang Dira berada. Untungnya dia masih mengingat nama lengkap perempuan itu sehingga memudahkan dia untuk bertanya.
"Ruangan di VVIP, lantai tiga ya, Mas," ucap resepsionis berpapan nama Juli itu pada Marvin.
Sama seperti Adil. Setelah mendengar dimana letak ruang Dira, Marvin juga merasa aneh. Ruangan perempuan itu bukanlah ruangan sembarang yang harganya sangat mahal.
"Beneran di ruang VVIP, Mbak?" tanya Marvin lagi memastikan. Dia takut jika Dira yang dimaksud oleh Juli itu adalah Dira yang lain. Bukan Adina Benita.
"Iya, bener kok. Dia di ruangan VVIP lantai tiga. Soalnya nggak ada nama lain lagi."
"Ya udah deh, Mbak. Makasih."
"Iya, sama-sama."
Dengan langkah pelannya, Marvin berjalan menuju lift. Di sana, seorang satpam menunggu untuk membawa Marvin ke lantai tiga dimana Dira berada.
"Silakan, Mas," ucap satpam yang menemani Marvin setelah pintu lift terbuka di lantai tiga.
"Makasih, Mas."
Setelah langkah ke dua, Marvin kembali terdiam dan sibuk memperhatikan sekitar. Ruang tunggu untuk masuk ke ruangan Dira juga begitu mewah sama seperti tempat yang pernah dia datangi saat sang ibu sakit.
Walau dipenuhi kebingungan, Marvin tetap memutuskan untuk masuk ke dalam ruang rawat yang katanya adalah ruang rawat Dira. Dia akan malu sekali jika ruang tersebut bukanlah ruang rawat Dira. Namun, dia harus tetap mencobanya. Seharusnya saat bertemu dengan ayah Dira tadi, Marvin juga menanyai ruang rawat Dira, tetapi pria itu melupakannya.
Di depan pintu ruang rawat Dira, Marvin mencoba untuk tenang. Beberapa kali, pria itu mengatur napasnya karena ada kegugupan yang entah bagaimana datangnya.
Perlahan, tangan pria itu terangkat untuk mengetuk pintu berwarna coklat tua tersebut. Namun sebelum sempat tangannya sampai, pintu itu terbuka dan menampilkan Fani, Ibu Dira.
"Loh, Marvin. Kok kamu bisa kesini? Nggak sekolah?" tanya Fani bingung melihat Marvin yang berdiri di hadapannya dengan menggunakan pakaian sekolah lengkap.
"Eh, tante. Aku kabur dari sekolah hehe," jawab Marvin yang di akhiri dengan tawa kakunya. Dia benar-benar kaget saat melihat Fani. Ternyata benar, ruangan tersebut adalah ruang rawat Dira.
Fani menggeleng pelan sembari tersenyum. Dia merasa Marvin sangat lucu apalagi saat melihat pria itu gugup. "Ya udah kalau gitu, kamu masuk aja ke dalam. Kamu mau ketemu Dira kan? Tapi, dia lagi tidur. Saya mau ke bawah dulu. Mau beli sesuatu. Tolong jagain Dira sebentar ya."
"Oke, Tan."
Setelah Fani pergi, Marvin masuk ke dalam ruang rawat Dira. Saat masuk, pria itu langsung melihat sosok yang dia cari tengah tertidur di atas kasur dengan infus yang terpasang di tangan kanannya.
Sembari melangkah, Marvin terus memperhatikan Dira hingga akhirnya bisa menatap wajah perempuan itu dengan jelas. Garis-garis wajah Dira semakin terlihat saat ini yang berarti dia semakin kurus. Ada perasaan sedih di benak Marvin saat ini, melihat Dira yang tengah sakit.
Tangan Marvin terangkat, menyisihkan beberapa helai rambut Dira yang menutupi wajah cantik perempuan itu. Setelahnya, Marvin mengusap lembut pipi Dira seraya berkata, "kenapa lo bisa gini, Dir?"
Marvin merasa kesal pada dirinya karena kurang peduli pada Dira sehingga perempuan itu bisa masuk ke rumah sakit, jika dia bisa memutar waktu. Mungkin Marvin akan terus bersama Dira dan tidak membiarkan perempuan itu sampai jatuh sakit.
"Kenapa lo bisa drop gini sih, Dir," cicit Marvin pelan sebelum duduk di sisi kasur rawat Dira. Menemani perempuan itu sampai waktu yang belum dia tau akhirnya bahkan jika bisa, sepertinya dia akan bermalam di rumah sakit tersebut.
***
seru ni, menatikan playboy kena karma. wkakakka
Comment on chapter Chapter 1ada yang tulisannya Dio dan Deo,
mau berteman dan saling support denganku?