Seperti jawaban atas ucapan Dira waktu itu, Marvin kembali sibuk dengan dunianya. Melupakan Dira yang dulu begitu berharga baginya. Tidak ada pesan singkat yang Marvin kirimkan, bertemu di sekolah saja hanya sekilas. Marvin, terlalu fokus pada latihannya.
Dira menahan wajahnya di ambang jendela kelas, memperhatikan Marvin yang tengah latihan di lapangan. Pria itu terlihat asyik bermain basket bahkan di saat jam kosong seperti ini. Biasanya, mereka akan pergi ke kantin untuk mengisi waktu luang. Namun, Marvin malah kembali latihan bahkan hingga pulang sekolah.
"Hati-hati pulangnya, Dir," ucap Santi sembari melambaikan tangan. Dia dan Dira berpisah di depan gerbang sekolah, Santi segera masuk ke dalam mobil yang menjemputnya dan Dira berjalan pergi ke rumahnya. Begitulah hari-hari Dira sekarang, Jalan kaki setiap pulang sekolah seperti biasanya.
Di tengah perjalanan, Dira yang tengah kehabisan daya ponsel merasa tengah diikuti. Biasanya, dia mengenakan earphone dan mengabaikan segala gangguan di jalan. Namun kali ini tidak, perempuan itu benar-benar yakin ada yang tengah mengikutinya.
Beberapa kali Dira menoleh ke belakang, sayangnya tidak ada yang mencurigakan. Hanya ada beberapa orang yang juga tengah berjalan sama sepertinya. Saat Dira menghentikan langkah, mereka tetap berjalan yang berarti mereka tidak mengikuti Dira.
Karena tidak mau berpikir yang aneh-aneh, Dira berjalan cepat hingga ke rumahnya.
Saat sudah masuk ke dalam pagar, Dira menghembuskan napasnya kasar. Dadanya naik-turun karena kehabisan napas.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya Fani yang tiba-tiba datang dari belakang Dira dan mengejutkan perempuan itu.
"Astaga Ibu, ngagetin aja sih!"
Fani tersenyum kecil melihat reaksi anaknya. "Apaan sih kamu, kaya lagi dikejar setan aja," ucap perempuan paruh baya itu sebelum berlalu meninggalkan Dira yang tersenyum kecut mendengar ucapan ibunya.
Ini lebih serem dari dikejar setan, ucap Dira di dalam hati. Setelah merasa baikan, perempuan itu masuk ke dalam rumah dan menemukan kedua adik kembarnya tengah belajar di ruang tamu.
Keduanya kompak menengadah menatap sang kakak yang terdiam. "Kenapa?" tanya Dira karena merasa aneh dengan sikap adiknya.
Sebelum menjawab, keduanya terlihat mencari-cari sesuatu di belakang Dira. "Kak Marvin nggak ke sini lagi ya?" tanya Yoga.
Tidak ingin membuat kedua adiknya sedih, Dira mencoba untuk menenangkan keduanya. "Hmm, Kak Marvin masih sibuk. Jadi belum bisa kesini."
Dira tau kedua adiknya tidak bisa dibohongi, sehingga dia harus terus terang pada mereka. Sejak awal, Dira sudah menjelaskan kepada adik-adiknya. Namun, Marvin sudah terlalu lama tidak datang ke rumahnya. Yoga dan Yogi pasti merasa rindu pada pria tersebut.
Wajah Yoga kembali tertunduk setelah mendengar ucapan Dira. Sama seperti Yoga, Yogi juga mengalihkan perhatiannya.
Dira menghela napas dengan pelan, sebelum pamit untuk pergi. "Kakak ke kamar dulu ya, kalau butuh apa-apa panggil kakak aja."
Keduanya kompak mengangguk tanpa menatap wajah Dira. Perempuan itu yakin, kedua adiknya tengah merasa sedih. Namun, tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang.
Sesampai di kamar, Dira langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia masih kepikiran dengan orang yang tengah mengikutinya, tapi siapa? Itu pikirnya. Karena selama ini, dia tidak pernah merasa diikuti.
Menjelang malam, keluarga Dira makan bersama seperti biasanya. Mereka asyik berbincang tentang banyak hal. Memang, Dira sangat suka bercerita pada orang tuanya terutama ayahnya yang begitu tertarik pada semua ucapan sang putri.
Setelah selesai membantu Fani bersih-bersih, Dira kembali masuk ke dalam kamarnya untuk mengerjakan tugas dan belajar. Perhatiannya kemudian teralihkan pada lampu notifikasi yang menyala di ponselnya pertanda ada sebuah pesan masuk.
Sebelum duduk di kursi meja belajar, Dira duduk di atas kasur dan membuka pesan yang baru saja masuk.
+62 8776 **** ****
Aku akan mengejar dan menggapaimu.
Pesan singkat yang benar-benar singkat itu membuat Dira mengerutkan dahinya, dia bingung dengan pesan yang entah dikirim dari siapa itu. Apaan sih, nggak jelas banget.
Dira mengabaikan pesan itu dan bergegas untuk pergi ke meja belajar. Dia kembali meninggalkan ponselnya di atas kasur agar tidak menggangu waktu belajarnya.
Pesan singkat kembali masuk pagi harinya sebelum Dira pergi ke sekolah. Lagi-lagi pesan yang dikirim membuat Dira kebingungan.
+62 8776 **** ****
Akan kujaga kamu dari belakang
Tiba-tiba Dira memahami maksud pesan yang baru masuk. Apa jangan-jangan dia lagi yang ngikutin aku kemarin, ucap Dira di dalam hati mengira-ngira.
Tentu orang yang mengirim pesan pada Dira mengetahui tentang perempuan itu sehingga besar kemungkinan, dia-lah yang mengikuti Dira kemarin.
Seperti sebelumnya, dia mengabaikan pesan itu dan pergi ke sekolah begitu saja. Walau penasaran dengan orang yang mengiriminya pesan. Namun, Dira tidak tertarik untuk meladeninya apalagi sekarang perempuan itu tengah sibuk belajar untuk kenaikan kelas.
Sesampai di gerbang sekolah, Dira tak sengaja bertemu dengan Bagas yang langsung tersenyum saat menatapnya. Dira yang masih takut pada pria itu kemudian mengabaikannya dan bergegas pergi ke kelas. Namun, langkahnya tertahan saat Bagas tiba-tiba menarik tangannya.
"Dir," panggil Bagas yang semakin membuat perasaan Dira tidak tenang. Mata perempuan itu menjelajah mencari bantuan. Sayangnya, tidak ada orang yang dia kenal walau sudah cukup banyak orang datang ke sekolah.
"Kalau Kakak nggak lepasin tangan saya, saya bakal teriak," ancam Dira dengan pelan yang membuat Bagas ikut memperhatikan sekitar.
Di depan gerbang, masih ada seorang guru yang bertugas untuk memperhatikan siswa yang datang dan jika Dira teriak, pasti akan membuat masalah yang cukup besar.
"Oke, saya bakal lepasin. Tapi, saya pengen bicara sama kamu pulang sekolah nanti," ucap Bagas dengan nada memohon.
Genggaman tangan Bagas melonggar yang membuat Dira berhasil pergi darinya. "Saya nggak bisa janji, Kak," ucapnya sebelum berlari ke kelas dengan sekuat tenaga.
Sesampai di kelas, dada Dira naik turun. Meraup penuh oksigen yang dia butuhkan. Selama perjalanan, perempuan itu mengabaikan semua orang. Yang penting, dia harus sampai di kelas secepat mungkin.
"Kamu kenapa?" tanya Santi setelah melihat sikap Dira yang sedikit aneh. Matanya menjelajah wajah teman sebangkunya itu yang dipenuhi dengan keringat.
Perlahan wajah Dira menoleh dan setelah menghembuskan napas kasar, perempuan itu pun menjawab, "nggak pa-pa kok, aku nggak pa-pa."
Dira sadar bahwa masalahnya tidak perlu untuk dibesarkan, apalagi Bagas bukan siswa sembarangan. Dia terkenal aktif juga pintar. Mungkin, saat itu ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sehingga membuat Dira ketakutan.
Sepanjang kelas, Dira tidak memiliki semangat untuk belajar. Beberapa kali perempuan itu memperhatikan lapangan yang biasa Marvin gunakan untuk latihan.
Santi yang duduk di sisinya, kemudian memperhatikan perempuan itu sembari ikut menatap apa yang dilihat oleh Dira. "Kamu kangen sama Kak Marvin?" tanya Santi yang membuat Dira langsung menoleh ke arahnya.
"Apaan sih kamu."
Semu di wajah Dira sudah menjelaskan bagaimana dia malu saat mendengar nama Marvin. Sayangnya, hal itu tidak bertahan lama karena dia menyadari bahwa dia tidak memiliki hubungan apa-apa dengan kapten ekskul basket tersebut.
***
seru ni, menatikan playboy kena karma. wkakakka
Comment on chapter Chapter 1ada yang tulisannya Dio dan Deo,
mau berteman dan saling support denganku?