Dua hari setelah Dira mengumpulkan formulir pendaftaran ekskul PMR, perempuan itu mendapat pesan yang berisikan tentang kegiatan penerimaan anggota baru PMR. Lusa, dia harus ikut serta dalam rapat yang diadakan setelah pulang sekolah oleh ekskul yang dia ambil.
"Jadi, beneran masuk PMR?" tanya Santi yang ternyata ikut membaca pesan di ponsel Dira saat perempuan itu membukanya.
Dira mengangguk. "Iya, kalau kamu ngambil apa jadinya?"
"Aku ngambil Paskibra sih rencananya, cuman nggak tau bakal keterima atau enggak. Soalnya banyak yang mau masuk juga."
Paskibra di sekolah Dira memang cukup terkenal sehingga banyak siswa yang juga ingin masuk ke dalamnya. Tetapi, Dira menjadi salah satu siswa yang tidak tertarik untuk masuk ke dalam ekskul tersebut karena tinggi tubuhnya yang jauh dari kriteria untuk masuk. Namun, Santi kemungkinan bisa masuk karena dia jauh lebih tinggi dari Dira.
Saat istirahat, Dira dan Santi lagi-lagi tidak mendapatkan tempat di kantin dan memutuskan untuk hanya membeli makanan juga minuman. Rencananya mereka akan pergi ke taman belakang sekolah untuk makan siang dan berbincang sejenak.
Sepanjang perjalanan, Dira dan Santi asyik berbincang hingga tanpa sadar keduanya sampai di taman yang ternyata cukup ramai tersebut. "Tumben banget rame," ucap Santi sembari memperhatikan sekitar.
Dira ikut melakukan hal yang sama dan matanya kemudian menatap lapangan basket yang ternyata tengah digunakan. "Tuh, penyebabnya," ucap Dira memberi jawaban.
Kedua perempuan itu kemudian duduk di salah satu kursi di taman dan ikut memperhatikan orang-orang yang tengah bermain basket. Sepertinya mereka tengah latihan karena menggunakan pakaian basket dan bukan pakaian sekolah seperti biasanya.
Tak lama kemudian, suasana lapangan berubah meriah dan membuat Dira juga Santi terkejut. "Ada apaan sih?" tanya Santi dengan wajah bingung.
Dira mencari penyebabnya dengan memperhatikan sekitar dan matanya menangkap sosok Marvin yang baru saja masuk ke lapangan dengan beberapa teman di sisinya. Tanpa sadar Dira menghela napas pelan saat melihat Marvin, playboy di sekolahnya.
"San," panggil Dira pelan yang menyita perhatian Santi.
"Kenapa?"
Kedua alis Santi terangkat saat menjawab panggilan Dira, perempuan itu memiliki suatu pertanyaan yang mengganjal di benaknya dan sepertinya sekarang waktu yang tepat untuk dia tanyakan.
"Kamu kenal Kak Marvin?" tanya Dira yang langsung membuat Santi tersenyum lebar. Ada semu di wajah perempuan itu padahal Dira hanya mengatakan nama Marvin. "Kamu nggak pa-pa?" tanyanya lagi.
"Nggak pa-pa kok. Hmm, kenal dong. Siapa sih yang nggak kenal Kak Marvin," jawab Santi dengan semangat.
"Kamu suka ya sama Kak Marvin?" tanya Dira asal karena melihat sikap Santi yang berubah. Perempuan itu langsung salah tingkah dan merapikan rambutnya padahal tidak berantakan.
"Suka," cicitnya pelan sembari menundukkan kepala.
"Dia playboy loh, kok bisa kamu suka dia?"
Dira tentu penasaran dengan alasan Santi menyukai Marvin padahal pria itu jelas kurang baik. Ya walaupun Dira belum tau lebih dalam tentang Marvin, hanya saja karena dia suka berganti pasangan, Dira membencinya. Menurut Dira, pasangan itu hanya perlu satu dan untuk selamanya.
"Hmm, aku tau kok dia suka gonta-ganti cewek. Tapi, wajar sih soalnya dia ganteng."
"Cuman gara-gara dia ganteng?" tanya Dira setelah berdecih pelan. Alasan Santi benar-benar di luar batas pikirannya.
"Bukan cuman ganteng!" potong Santi dengan cepat. "Dia juga orang kaya tau."
Perlahan Dira memijat dahinya yang terasa sakit, hanya karena tampan dan kaya raya, Marvin menjadi idola di sekolahnya. Ya, Dira mengakui bahwa pria itu tampan. Namun, untuk apa semua itu jika dia tidak setia.
"Duh, kepala aku sakit denger omongan kamu. Aku balik ke kelas dulu deh."
Dira beranjak dari tempat duduknya dan bergegas untuk pergi ke kelas. Sayangnya di tengah perjalanan, dia yang kurang hati-hati kemudian menabrak tubuh seseorang hingga tubuhnya jatuh ke tanah.
"Duh, pantat aku sakit," cicitnya pelan dengan dahi mengerut.
Sebuah tangan kemudian terulur di hadapan Dira dan perempuan itu perlahan mengangkat wajahnya. Kak Marvin, ucapnya di dalam hati.
Marvin mengangkat salah satu alisnya saat menunggu Dira menerima uluran tangannya. Tapi, perempuan itu hanya terdiam tanpa bereaksi apa-apa. "Lo nggak pa-pa kan?" tanya Marvin yang langsung dibalas gelengan oleh Dira.
Dengan cepat, Dira bangun dari duduknya sendiri tanpa memegang tangan Marvin. "Nggak pa-pa kok, Kak. Maaf ya sudah nabrak kakak."
"Iya, nggak pa-pa."
"Saya permisi dulu, Kak."
Tanpa menunggu balasan Marvin, Dira bergegas pergi dari hadapan pria itu. Karena dia menyadari bahwa ketika tengah bersama Marvin, dia menjadi pusat perhatian dan Dira kurang menyukai hal itu. Menjadi populer adalah sebuah beban baginya.
Saat pulang sekolah, Dira memutuskan untuk berjalan kaki. Uang sangunya sudah dia habiskan untuk makan siang dan sekarang tidak ada yang tersisa di dalam kantung bajunya.
Langkah pelannya membawa perempuan itu sampai di gerbang, Santi sebelumnya sudah dijemput oleh ayahnya dan karena jalur yang berbeda perempuan itu enggan untuk ikut. Lagipula, Dira tidak mau merepotkan teman sebangkunya itu yang baru dia kenal dalam beberapa bulan ini.
Di dekat halte yang penuh dengan siswa sekolahnya, Dira menyadari ada seseorang yang tengah memperhatikan. Mata yang sebelumnya memperhatikan jalan kemudian menengok ke sebelah kanan dimana Dira menyadari arah tatapan itu berasal. "Kak Marvin!" pekik Dira dengan mata membulat sempurna.
Marvin sejak tadi mengikuti perempuan itu. Dia menjalankan motornya dengan sangat pelan, mengikuti Dira melangkah.
Tawa kecil keluar dari mulut Marvin saat melihat wajah terkejut milik Dira, pria itu kemudian membuka sebagian helmnya agar suaranya dapat terdengar oleh Dira. "Mau ikut nggak? Gue anterin ke rumah. Anggep aja sebagai permintaan maaf gue."
Tangan Dira mengibaskan di hadapan kakak kelasnya itu. "Nggak, Kak. Nggak usah. Saya nggak mau ngerepotin."
"Nggak ngerepotin kok," balas Marvin yang membuat wajah Dira berubah bingung. Matanya menjelajah, mencari cara agar bisa kabur dari kakak kelasnya itu.
Sebelum sempat kabur, tangan Marvin mencengkeram tangan Dira dengan cukup kuat. Sama seperti sebelumnya, saat mereka pertama kali bertemu.
"Gue tau, lo mau kabur kan? Ayo lah, gue cuman mau anter lo kok."
Suara Marvin menelan diakhir pembicaraan dan membuat Dira merasa kasihan. Tangan Marvin juga masih mencengkeram kuat pergelangan tangannya sehingga membuat Dira tidak bisa kemana-mana.
"Ya udah deh, Kak."
"Nah gitu dong. Naik gih."
Bukannya langsung naik, Dira malah terdiam sembari memperhatikan motor sport milik Marvin. Melihat hal itu, Marvin bertanya dengan dahi mengerut, "Kenapa?"
"Motor kakak ketinggian, aku nggak tau gimana naiknya."
Lagi-lagi Marvin dibuat tertawa oleh Dira, sudah jelas bahwa perempuan itu tidak pernah menaiki motor besar seperti miliknya dan hal itu membuat Marvin terkesan pada Dira.
Marvin menyodorkan tangannya di hadapan Dira. Namun, perempuan itu hanya menatap tangan Marvin dengan bingung.
"Ayuk, pegang tangan gue."
Mengerti dengan maksud perintah Marvin, Dira pun menggenggam tangan kakak kelasnya itu dan berusaha untuk naik ke atas motornya. Dalam percobaan pertama, Dira bisa naik ke atas motor itu dan membuatnya merasa lega.
"Pegangan ya," perintah Marvin lagi yang membuat Dira memegang kedua bahu kakak kelasnya itu. "Bukan pegangan disitu maksud gue, tapi di sini."
Marvin mengarahkan tangan Dira untuk memeluknya dari belakang. Tidak bisa perempuan itu pungkiri bahwa detak jantungnya menjadi tidak karuan saat berdekatan dengan Marvin.
***
seru ni, menatikan playboy kena karma. wkakakka
Comment on chapter Chapter 1ada yang tulisannya Dio dan Deo,
mau berteman dan saling support denganku?