Loading...
Logo TinLit
Read Story - Si 'Pemain' Basket
MENU
About Us  

Perasaan bahagia kini menguar dari tubuh Dira, sepanjang perjalanan menuju kelas perempuan itu terus tersenyum sehingga mendapat tatapan yang kurang mengenakan dari sekitarnya. Dira tidak peduli akan hal itu, dia terlihat asyik dengan dunianya sendiri.

Sesampai di kelas, Santi, teman sebangku Dira langsung memberi perempuan itu beberapa pertanyaan. Setelah melihat sikap Dira yang sedikit berubah.

"Kamu kenapa? Kok senyum-senyum gitu?"

Dira yang baru saja duduk kemudian menoleh ke arah Santi, teman sebangkunya itu menatap heran dan membuat Dira tertawa kecil. "Nggak pa-pa kok. Emangnya aku nggak boleh senyum?"

"Boleh sih, tapi ... ."

Belum sempat Santi menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba guru pelajaran selanjutnya datang dan memulai kelas.

Setiap hari ada sekitar empat pelajaran yang dibagi dua dan di tengahnya ada jeda istirahat. Sebelumnya, Dira hanya keluar sebentar dan memang belum waktunya istirahat. Tetapi, dia memang memiliki waktu jeda beberapa menit untuk mengganti pelajaran.

Setelah 10 menit berlalu, kepala Santi sudah mulai sakit. Pelajaran yang dibawa oleh Ibu Wiwi selalu saja membuatnya menyerah. Hitung-hitungan juga rumus selalu mereka dapatkan tanpa henti.

Melihat Dira yang tengah sibuk memperhatikan Ibu Wiwi di depan kelas, Santi kemudian menyenggol tangan Dira untuk mengambil perhatiannya.

Dira menoleh dan mengangkat kedua alisnya dengan maksud bertanya. Santi perlahan mendekat dan berbisik di telinga teman sebangkunya tersebut. "Kamu mau masuk ekskul apa nanti?"

Ekskul? Dira belum kepikiran tentang hal itu. Karena selama ini sibuk memikirkan beasiswa padahal setiap siswa yang baru saja masuk wajib memilih satu ekskul dan sampai sekarang, Dira belum tau mau masuk ekskul yang mana.

"Belum tau," jawab Dira singkat sembari kembali fokus pada pelajaran.

"Nanti kita ke area ekskul aja buat liat-liat, aku juga masih bingung mau masuk yang mana," ajak Santi yang membuat Dira mengangguk pelan. Setidaknya, dia memiliki teman untuk pergi nanti daripada harus pergi sendirian.

Tepat pukul 12 siang, bel istirahat berbunyi. Dira dan Santi sibuk membereskan buku-bukunya sebelum pergi. Santi menjadi orang pertama yang selesai membersihkan mejanya dan kemudian sibuk memperhatikan Dira. "Kita mau ke kantin dulu atau ke area ekskul?"

Dira yang tengah memasukkan buku terakhirnya ke dalam tas kemudian berhenti. Kepalanya mulai berpikir untuk menjawab pertanyaan Santi. Dia cukup lapar, tetapi juga ingin pergi ke area ekskul.

"Makan dulu deh, aku laper soalnya."

"Ya udah, abis ke kantin kita langsung ke area ekskul ya."

"Iya."

Seperti anak kembar, Dira dan Santi saling berpegangan tangan menuju ke kantin. Selama perjalanan keduanya asyik berbincang hingga tanpa sadar sampai di kantin yang ternyata begitu ramai.

"Ih, rame banget," ucap Santi spontan sembari berhenti melangkah. Dira yang sebelumnya sibuk memperhatikan sekitar kemudian mengalihkan perhatiannya pada kantin yang berjarak kurang dari lima meter tersebut.

Dari kejauhan, dia bisa melihat banyak siswa tengah makan di sana dan membuatnya sedikit ragu untuk kembali melangkah.

"Gimana dong? Kalau mau makan pun nggak bakal ada tempat duduk," ucap Santi lagi dengan wajah murung.

Tangan Dira terangkat, mengusap punggung Santi dengan pelan. "Kita beli aja deh, terus makanannya dibawa ke kelas," tawar Dira yang membuat Santi terdiam sejenak.

"Hmm, boleh deh. Kalau gitu, abis beli makan kita jalan ke area ekskul terus balik ke kelas."

"Boleh."

Sesuai kesepakatan, mereka pergi ke kantin untuk membeli makanan. Dira membeli roti dan Santi membeli pentol bakar. Keduanya kemudian berjalan menuju area ekskul untuk mengetahui ekskul apa saja yang ada di sekolah mereka.

Di lorong yang cukup panjang, ada banyak pilihan ekskul yang Dira lihat. Mereka memperkenalkan ekskul dengan memberi selembaran dan juga mengajak siswa baru untuk mencoba beberapa permainan yang mereka buat guna membuat orang-orang tertarik untuk masuk.

Dira dan Santi hanya melihat-lihat sebentar, tetapi mereka sudah membawa banyak lembar kertas ke dalam kelas mereka. Ada beberapa form juga yang mereka dapat untuk menjadi anggota salah satu ekskul, tetapi Dira dan Santi masih harus berpikir untuk masuk ke mana.

"Jadi, kamu mau masuk apa?" tanya Santi sembari memakan pentol bakar yang sebelumnya dia beli.

Di sisinya, Dira sibuk membaca selembaran kertas promosi ekskul dengan saksama. "Masih belum tau, tapi aku tertarik sama PMR sih," jawab Dira tanpa mengalihkan tatapannya.

"Jadi PMR capek tau, harus ngurus orang sakit. Mending pilih yang lain," ucap Santi yang membuat Dira kembali berpikir.

Memang ketika menjadi anggota PMR, Dira akan menguras penuh energinya karena harus membantu teman-temannya ketika tengah sakit. Namun, menurutnya hal itu adalah suatu kebaikan yang kelak akan kembali padanya. Apalagi, setelah lulus SMA nanti dia berencana untuk menjadi perawat. Alangkah baiknya jika dia masuk sebagai anggota PMR. Ya hitung-hitung sekalian belajar.

"Jadi, kamu beneran mau masuk PMR?" tanya Santi lagi karena tidak mendapat penolakan dari Dira.

"Iya, kayanya aku masuk PMR aja deh."

"Ya udah deh, terserah kamu. Kalau aku mau pilih yang lain."

Sepulang sekolah, Dira menyempatkan diri untuk pergi ke ruang ekskul PMR. Dia harus mengembalikan formulir keanggotaan yang sebelumnya sudah dia isi sebagai persyaratan menjadi anggota PMR sekolah.

Sesampai di sana, Dira bertemu dengan seorang pria. Sepertinya dia kakak kelas Dira karena lambang di baju pria itu yang berwarna biru. Di sekolah, ada tiga warna lambang yang membedakan kelas siswanya. Merah untuk kelas satu, kuning untuk kelas dua dan biru untuk kelas tiga.

"Misi, Kak. Saya mau ngembaliin formulir pendaftaran," ucap Dira sembari menyerahkan selembar kertas kepada pria di hadapannya.

Pria berlesung pipi itu kemudian menerima kertas yang diberikan Dira dan membacanya dengan saksama. "Adira Benita," eja pria berpapan nama Bagas Aksa itu sembari beralih memperhatikan wajah Dira.

"Iya, Kak. Itu nama saya."

"Ya udah, saya terima ya. Untuk kelanjutannya diterima atau tidak akan kami hubungi via whatsapp."

Dira mengangguk pelan dengan senyum kecil di wajahnya. "Baik, Kak. Kalau gitu, saya balik dulu ya."

"Iya, hati-hati di jalan ya."

"Baik, Kak. Makasih."

Sepeninggal Dira, Bagas masih memperhatikannya hingga tubuh perempuan itu tak lagi dapat dia lihat. Tatapannya kemudian beralih kembali menatap kertas di hadapannya.

Sembari membaca isi formulir milik Dira, Bagas berjalan masuk ke dalam ruang ekskul PMR. "Kelas 10-3 ya," ucapnya di dalam hati.

Di sisi lain, Dira sudah sampai di depan gerbang dan bersiap untuk mencari taksi. Matanya menjelajah jalanan yang begitu ramai. Ada beberapa taksi yang lewat sayangnya semua begitu penuh dan Dira enggan jika harus berdempetan dengan siswa lain.

Di tengah kegiatannya mencari taksi, matanya melihat sosok Marvin yang tengah mengendarai motor dengan seorang perempuan di kursi belakangnya. Dira hanya tersenyum tipis melihatnya. Marvin memang benar-benar playboy karena kemarin pria itu juga mengantar seorang perempuan yang berbeda dari hari ini.

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • aiana

    seru ni, menatikan playboy kena karma. wkakakka

    ada yang tulisannya Dio dan Deo,
    mau berteman dan saling support denganku?

    Comment on chapter Chapter 1
Similar Tags
The Secret
412      283     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...
Your Secret Admirer
2297      796     2     
Romance
Pertemuan tak sengaja itu membuat hari-hari Sheilin berubah. Berubah menjadi sesosok pengagum rahasia yang hanya bisa mengagumi seseorang tanpa mampu mengungkapkannya. Adyestha, the most wanted Angkasa Raya itulah yang Sheilin kagumi. Sosok dingin yang tidak pernah membuka hatinya untuk gadis manapun, kecuali satu gadis yang dikaguminya sejak empat tahun lalu. Dan, ada juga Fredrick, laki-l...
Million Stars Belong to You
494      265     2     
Romance
Aku bukan bintang. Aku tidak bisa menyala diantara ribuan bintang yang lainnya. Aku hanyalah pengamatnya. Namun, ada satu bintang yang ingin kumiliki. Renata.
Serpihan Hati
11345      1894     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
PROMISE
633      454     2     
Short Story
ketika sebuh janji tercipta ditengah hubungan yang terancam kandas
Sebelas Desember
4701      1355     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Di Hari Itu
465      331     0     
Short Story
Mengenang kisah di hari itu.
Hatimu jinak-jinak merpati
581      391     0     
Short Story
Cerita ini mengisahkan tentang catatan seorang gadis yang terlalu berharap pada seorang pemuda yang selalu memberi kejutan padanya. Saat si gadis berharap lebih ternyata ...
SEBUAH KEBAHAGIAAN
565      440     3     
Short Story
Segala hal berkahir dengan bahagia, kalau tidak bahagia maka itu bukanlah akhir dari segalanya. Tetaplah bersabar dan berjuang. Dan inilah hari esok yang ditunggu itu. Sebuah kebahagiaan.
The Ruling Class 1.0%
1407      588     2     
Fantasy
In the year 2245, the elite and powerful have long been using genetic engineering to design their babies, creating descendants that are smarter, better looking, and stronger. The result is a gap between the rich and the poor that is so wide, it is beyond repair. But when a spy from the poor community infiltrate the 1.0% society, will the rich and powerful watch as their kingdom fall to the people?