Dengan napas tersenggal, Dira akhirnya sampai di rumah. Jaraknya memang tidak terlalu jauh dari minimarket tempat dia berteduh tadi, walau begitu dia cukup kelelahan karena mencoba kabur dari Marvin.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya Fani, Ibu Dira yang baru saja keluar dari dapur. Dia melihat Dira tengah duduk menyandar di sofa ruang keluarga dengan wajah yang sedikit memucat.
Dira menggeleng pelan karena tidak mau ibunya khawatir, "nggak, aku nggak pa-pa kok, Bu."
"Kamu yakin?" tanya Fani lagi, dia hanya mau memastikan ucapan putrinya itu.
"Iya, aku nggak pa-pa kok, Bu."
"Ya udah, kalau gitu kamu langsung mandi gih terus pergi ke dapur, ambil piring buat makan malam."
"Iya, Bu."
Walau tenaganya sudah terkuras habis, Dira tetap harus melakukan apa yang ibunya suruh. Dia langsung masuk ke dalam kamar, mandi juga berganti baju. Semua itu dia lakukan dengan waktu yang singkat karena harus membantu ibunya.
Di ruang keluarga yang juga dijadikan ruang tamu, semua anggota keluarga Dira sudah berkumpul. Ada Ayah, Ibu, dan kedua adik Dira yang sudah siap untuk makan bersamanya.
Piring yang dibawa Dira langsung perempuan itu taruh tepat di tengah lingkaran yang keluarganya buat. Dira yang duduk tepat di sisi sang ayah kemudian membantu menuangkan air untuk sang ayah minum. "Nih minum buat Ayah," ucap Dira dengan semangat.
"Makasih ya, Nak," balas Adil, Ayah Dira sembari mengusap rambut putrinya dengan lembut.
Keluarga Dira makan dengan hikmat sembari asyik berbincang, makanan yang dihidangkan bukan makanan mewah, hanya makanan sederhana yang terdiri dari ikan goreng, sayur juga beberapa gorengan yang biasa kepala keluarga bawa setelah pulang bekerja.
Gorengan tersebut berasal dari tempat dia bekerja, sisa makan siang teman-teman sekantornya. Daripada dibuang, lebih baik Adil bawa pulang ke rumah dan menjadi hidangan wajib keluarga mereka.
"Hmm, gimana sekolah kamu, Nak?" tanya Adil pada Dira di tengah kegiatan mereka makan.
Pertanyaan itu kemudian membuat Dira berhenti makan sejenak, "baik kok, Yah. Nggak ada masalah."
"Syukurlah. Semoga aman sampai lulus ya."
"Amin."
Adil menanyakan tentang sekolah pada Dira bukan tanpa alasan, mereka berasal dari keluarga sederhana dan Dira sekarang bersekolah di sekolah yang cukup elit karena kepandaiannya. Dia cukup takut anaknya mendapat intimidasi karena berasal dari keluarga sederhana.
"Oh iya, gimana dengan beasiswa yang kamu ajuin?" tanya Adil lagi. Sebenarnya, dia masih bisa membiayai sang anak untuk terus bersekolah di tempat tersebut. Namun saat masuk, Dira sudah mengajukan beasiswa dan uangnya cukup besar untuk putrinya itu gunakan.
"Masih belum tau sih, Yah. Belum ada informasi tentang itu," jawab Dira singkat yang membuat Adil mengangguk pelan.
"Oh gitu. Ya, semoga aja bisa lolos ya."
"Iya, Yah. Amin."
Sebagai anak perempuan satu-satunya di rumah, Dira membantu ibunya setelah selesai makan malam. Dia mencuci piring yang sudah keluarganya gunakan dan Fani bertugas untuk menatapnya di rak piring.
Mereka melakukannya sembari berbincang banyak hal sehingga pekerjaan tersebut terasa ringan juga selesai dengan cepat.
"Akhirnya selesai juga ya, Bu," ucap Dira sembari mengeringkan tangannya dengan lap yang tergantung di sisi kulkas.
"Iya. Kamu langsung tidur aja ya, Nak. Sudah malam soalnya."
Dira mengangguk pelan setelah mendengar perintah ibunya. Waktu memang sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan dia harus segera beristirahat. "Iya, Bu. Ibu juga istirahat ya habis ini. Aku ke kamar dulu."
"Iya, Nak."
Di tengah perjalanan menuju kamar, Dira menyempatkan diri untuk menemui kedua adik kembarnya di kamar mereka. "Loh, belum pada tidur?" tanya Dira pada kedua adiknya yang asyik mengerjakan sesuatu di atas kasur.
"Iya nih, Kak. Kita masih ngerjain tugas," jelas salah satu adik kembar Dira yang bernama Yoga.
Penasaran dengan apa yang kedua adiknya kerjakan, Dira mendekat dan duduk di sisi kasur mereka. "Mau Kakak bantu?" tanya Dira menawarkan diri.
"Nggak usah, Kak. Kami bisa kok," tolak Yogi dengan halus. Dia tidak mau merepotkan kakaknya. Ya walaupun jika tugasnya lebih susah dia harus meminta sang kakak untuk membantu mereka.
"Oh gitu. Kalau udah selesai langsung tidur ya. Kakak ke kamar dulu," ucap Dira sebelum pergi dari kamar Yoga dan Yogi.
Di kamar, Dira langsung menidurkan tubuhnya yang terasa letih. Sayangnya, dia tidak bisa langsung beristirahat karena harus mempersiapkan buku sekolah untuk dia bawa besok juga menyetrika pakaian sekolahnya.
Semua itu dia kerjakan dengan rasa kantuk yang terus menyerang. Beberapa kali, Dira menguap. Matanya juga mulai tak sanggup terbuka lebar. "Duh, aku ngantuk banget," cicitnya pelan sebelum kembali menguap.
Setelah selesai menyetrika, Dira menggantung pakaian sekolahnya di belakang pintu kamar dan bergegas tidur. Jika terus menahannya, mungkin dia akan tertidur di lantai karena tak sanggup lagi.
Keesokan harinya, Dira pergi ke sekolah seperti biasanya. Sesampai di kelas, perempuan itu langsung duduk di kursinya dengan tenang sembari menunggu guru yang mengajar datang.
Tak lama kemudian, seorang guru datang dan memulai kelas. Dira mengikuti kelas dengan baik sehingga apa yang tengah diajarkan mudah untuk perempuan itu pahami.
"Kelas pagi ini sampai di sini ya," ucap guru yang mengajar sembari merapikan beberapa buku yang sebelumnya dia bawa. "Adira Benita, ikut saya ke ruang guru ya," lanjut guru itu sebelum keluar dari kelas.
Dira yang dipanggil namanya menjadi bingung. Namun, perempuan itu langsung mengikuti sang guru tanpa peduli apa yang akan terjadi nantinya.
Di ruang guru, Dira berdiri di hadapan guru yang memanggilnya. Ayu, nama guru tersebut, tengah sibuk dengan laptop di hadapannya. Melupakan Dira yang masih setia berdiri di hadapannya.
Tidak mau menggangu, Dira memutuskan untuk tetap diam menunggu Ayu berbicara padanya walau kaki perempuan itu sudah cukup lelah untuk berdiri.
"Eh, kamu sudah lama berdiri?" tanya Ayu setelah menyadari bahwa Dira sudah ada di hadapannya.
"Nggak kok, Bu. Baru aja."
"Ya udah, silakan duduk."
Dira akhirnya bisa bernapas lega setelah mendapat perintah untuk duduk, setidaknya dia tidak perlu berdiri lagi untuk menunggu urusannya dengan Ayu selesai.
"Jadi gini, saya disuruh kasih tau kamu tentang beasiswa yang sudah kamu ajuin beberapa bulan yang lalu sebelum setelah masuk sekolah."
"Oh iya, Bu. Gimana kelanjutannya?"
"Beasiswa kamu keterima."
Mata Dira membulat sempurna setelah mendengar ucapan Ayu. Dia tidak menyangka bahwa beasiswa yang dia ajukan akan lolos karena beasiswa tersebut cukup susah untuk diperoleh.
"Beneran, Bu?" tanya Dira memastikan, dia takut Ayu mengerjainya apalagi setelah dia merasa benar-benar bahagia.
"Beneran kok, uang beasiswa akan cair mulai bulan depan sampai kamu lulus."
Mendengar jawaban Ayu, Dira sudah bersiap untuk teriak. Namun, wali kelasnya itu kembali berbicara sehingga menahan apa yang dia akan lakukan.
"Tapi inget, kamu harus mempertahankan nilai kamu."
"Iya, Bu. Siap. Makasih ya, Bu."
***
seru ni, menatikan playboy kena karma. wkakakka
Comment on chapter Chapter 1ada yang tulisannya Dio dan Deo,
mau berteman dan saling support denganku?