Papa harus kembali masuk ke rumah sakit! Dan kali ini dokter menyarankan Papa harus segera di operasi. Papa harus segera mendapatkan donor ginjal. Dan aku tahu itu sangatlah tidak mudah! Ibu bersikeras ingin menjadi pendonor. Tapi Papa melarang dengan sangat tegas! Aku pun ingin sekali memberikan ginjalku, tapi Papa malah bilang, “Kamu harus tetap sehat agar bisa menjaga Ibu!”
Masalah lainnya datang saat dokter juga bilang bahwa golongan darah Papa adalah jenis golongan darah yang langka. Sebenarnya ada stock darah di rumah sakit tempat Papa di opname, namun stock darah itu bisa saja habis jika pendonor ginjal tak kunjung ada. Karena darah yang tersedia bukan hanya untuk Papa, tapi untuk siapa saja yang membutuhkan.
Shit! Aku harus bagaimana? Aku harus bergegas mencari pendonor ginjal plus pendonor darah juga untuk berjaga-jaga. Aku ingin Papa sembuh, aku tak ingin kehilangan Papa. Aku ... sayang Papa!
“Ayy...” Suara Kaishar terdengar lembut menyebut namaku. Dia duduk di sebelahku lalu memegangi pundakku untuk menenangkan aku yang sedang kacau-balau! Aku terisak, tak mampu lagi menahan air mata. Tak tahu malu aku menangis tersedu-sedu di depan Kaishar, atasanku.
“Maaf, Pak, saya gak tahu harus bagaimana.” Ucapku sambil menyeka rintikan air mata yang jatuh melewati pipi.
“Saya yakin, Om Adam akan baik-baik saja. Percayalah!” Kaishar menepuk-nepuk punggungku dengan lembut.
Ingin rasanya aku menelpon Reyhan, tapi aku ingat, hari ini dia sedang ada acara keluarga. Aku tak mungkin membuat Reyhan meninggalkan pertemuan keluarganya gara-gara aku. Tapi benerannya deh, aku sangat membutuhkan sandaran untuk menumpahkan segala beban terberat dalam hidupku. Aku butuh Reyhan, sangat!
Tiba-tiba, Kaishar membawaku ke pelukannya. Aku agak terkesiap! Tapi elusan tangan Kaishar yang begitu lembut, membuatku merasa nyaman. Tangisanku semakin meledak. Aku benar-benar sudah hilang akal. Aku menumpahkan segala bebanku kepada Kaishar kala itu.
“Tak apa, keluarkan saja seluruh kesedihanmu. Anggap saya temanmu, bukan atasanmu!” begitu kata lelaki berkaca mata itu. Wangi Cappucino bisa aku cium dari balik kemejanya. Aroma Kaishar yang sudah menjadi ciri khasnya!
“Reyhan di mana?” tanya Kaishar saat tangisanku mulai berhenti. Menyisakan isakan yang tak berarti. Aku menyeka air mataku.
“Dia sedang ada pertemuan.”
“Dengan keluarga Wijaya lagi?” tanya Kaishar. Aku mengangguk kecil. Aku bisa mendengar helaan napas beratnya saat itu. “Kamu tahu, Ayy, Pak Aiman, tak akan membiarkan kalian lolos begitu saja. Kamu tahu sendirikan, apa yang sudah Papanya Reyhan itu lakukan terhadap saya dulu?”
Aku terdiam, tak mampu mengucap kata.
“Bagaimana pun itu, kalian harus segera memberitahukan mengenai hubungan kalian. Apalagi, Reyhan bilang kan, ingin menikah denganmu saat dia sudah lulus kuliah nanti?” aku mengangguk. “Kamu sudah setuju?” Kaishar bertanya lagi.
Aku menghela napas panjang. “Saya takut, Papanya Reyhan malah akan menyingkirkan saya.”
“Kalian sudah dewasa. Kalian harus bisa mengambil sikap dan pilihan!”
***
“Ayy, sorry, aku beneran gak tahu kalau Papa masuk ke rumah sakit lagi.” Ucap Reyhan yang tiba-tiba masuk dengan panik ke ruangan Papa tanpa memberitahukan sebelumnya kalau dia akan ke sini. Datang bersama Kaishar, cukup memberiku jawaban kenapa Reyhan bisa tahu mengenai kondisi Papa padahal aku belum sempat memberitahunya.
“Pa, Papa baik-baik aja kan?” tanya Reyhan dengan cemas. Yang di balas dengan senyuman lebar Papa lengkap dengan matanya yang berbinar.
“Rey, kamu kok ke sini? Bukannya kamu harus fokus sama sidangmu?” tanya Ibu dengan heran.
“Gak apa-apa, Ma, aku bisa mengerjakan itu di waktu luang. Yang penting sekarang, Papa harus sembuh.”
Lagi-lagi Papa tersenyum. “Rey, kamu ajak Ayyana makan, gih. Dari kemarin dia gak mau makan.” Kata Papa. Reyhan langsung mengalihkan pandangannya kepadaku dengan kesal.
“Bener itu?” kata Reyhan lengkap dengan tatapan mengintrogasinya.
“Aku gak laper, Rey.”
“Ayyana, kamu makan dulu saja, biar Om Adam, saya dan tante Dessy yang jaga.” Ucap Kaishar menyela kata-kataku dan Reyhan.
“Thanks you, bro! Gue ajak Ayyana makan dulu.” kata Reyhan. “Ayo!” Reyhan kemudian menarik tanganku keluar dari ruangan Papa.
“Kenapa sih, kamu gak kasih tahu aku kalau Papa sakit!” Reyhan mulai mengoceh setibanya kami di kantin rumah sakit.
“Aku gak sempet, Rey, saking paniknya!” ucapku. Padahal yang ada di pikiranku, aku hanya tak ingin kalau Reyhan sampai meninggalkan acara penting keluarganya. Reyhan menghela napas panjang.
“Aku gak suka kamu sampai lupa makan kaya gini, Ayy!” dia kembali menggerutu. Pesanan kami pun tiba setelah lima sampai delapan menit kami menunggu.
“Maaf, Rey!” ucapku singkat, lalu aku segera menikmati ayam goreng pesananku yang sudah ada di depan mata. Sebenarnya aku sedang tak mood makan, tapi aku tahu Reyhan tak akan berhenti mengoceh jika aku tak menuruti ucapannya.
“Dan yang bikin aku kesel, aku tahu ini dari Kaishar!” dia mengerucutkan bibirnya sambil memasang muka masam. Jujur itu adalah pengekspresian wajah Reyhan paling lucu yang pernah aku lihat. Dan .. cukup untuk membuat aku tertawa geli.
“Kok malah ketawa? Ada yang lucu?” ucap Reyhan menatapku dengan tampang heran.
“Kamu cemburu?” dia tersedak kala aku mengatakan kata ‘cemburu’ padanya.
“Siapa? Aku? Cemburu? Enggak lah!” ucap Reyhan sambil membuang muka padaku. Aku sudah bisa menduga ucapanku tadi tak salah. Reyhan sangat menggemaskan sekali kalau sedang cemburu.
“Loh kenapa engga?”
“Karena aku tahu, kamu sayangnya cuma sama aku. Iya kan?”
“Ih, pede banget sih!” aku langsung mencubit lengan Reyhan sekenanya.
“Awww! Sakit atuh, Ayy!” dia mengaduh.
“Bodo amat, wlleee!” aku memeletkan lidahku sambil terkekeh. Tangan Reyhan lalu meraih dan menggenggam tanganku dengan erat.
“Jangan sedih lagi, Ayy. Aku yakin Papa akan baik-baik saja.” tangannya kemudian mengelus lembut pipiku. Aku tersenyum kecil merasakan kenyamanan hebat saat Reyhan mengatakan itu. Tak terasa air mataku menetes.
“Loh, loh, loh? Tuan putri kok nangis sih? Nanti pengawal istananya yang tampan ini ikutan sedih loh!”
“Apaan sih, Rey? Gak lucu tahu!” aku langsung buru-buru menghapus buliran kristal yang tadi sempat jatuh. Lalu tersenyum lagi melihat cara Reyhan yang tak biasa untuk menenangkan aku.
“Oh iya Rey, bagaimana pertemuanmu kemarin?”
“Masih dengan pembahasan yang sama dan itu sangat membosankan!” Reyhan meneguk air minum yang ada di depannya. “Aku udah gak sabar ngenalin kamu sebagai calon istriku. Tunggu sampai aku lulus ya!”
“Rey...” aku menggenggam erat tangannya. Apa aku harus bilang soal ketakutanku? Soal kemungkinan terburuk nanti jika Papanya tak setuju dengan keputusan Reyhan? Apa aku pantas untuk cemas sekarang?
“Ayy,” Reyhan menyadarkan aku dalam lamunan.
“Eh, iya, kenapa?”
“Kamu ngelamun? Ada apa?”
“Kirana!” ucapku tiba-tiba.
“Hah?” Reyhan terdiam sejenak tak mengerti apa maksudku.
“Kirana! Kamu pernah nanya kan sama aku soal nama anak... ehem, kita nanti. He he he.”
Reyhan tersipu malu. “Aku kan suruh kamu mengatakannya nanti, Ayy.” Dia mengacak-acak rambutku dengan gemas. “Well, karena kamu udah kasih tahu aku. Jadi kenapa kamu ingin memberi nama Kirana untuk anak kita nanti?”
“Karena Kirana itu artinya sinar, cantik dan elok. Aku ingin anak kita nanti jadi anak yang baik, mampu menjadi sinar bagi semua orang lewat kecantikan dan keelokan hatinya. Aku mau dia selalu bisa jadi sinar.”
“Terus kalau anaknya cowok?”
“Hmmm menurutmu, apa yang bagus?” aku bertanya balik padanya. Reyhan langsung terdiam untuk beberapa saat. Lalu terhentak. Matanya berbinar bagaikan mendapatkan oase di padang pasir.
“Samudera!” kata Reyhan.
“Samudera?”
Reyhan mengangguk. “Aku ingin anak laki-laki kita nanti bisa memiliki hati seluas samudera. Pendirian yang kuat walaupun diterjang badai dan petir. Dan juga, tetap bisa jadi penompang buat siapapun yang membutuhkan. Ibarat kapal yang tetap bisa berlayar di samudera walaupun ombak yang menghantui. Samudera akan tetap menompang kapal biar bisa terus berlayar.”
Aku tersenyum mendengar penjelasan sederhana dari Reyhan. Pertanyaanku sekarang hanya satu, “Apakah aku dan Reyhan bisa terus bersama sampai akhir?”
seruuuuu, alur cerita di awal bikin penasaran. dengan gaya bahasa yang mengikuti jaman jadi asikk bangettt bacanya.
Comment on chapter Bab 1 : Bagian 2