Setelah hari itu, aku dan Reyhan jadi sering terlibat dalam beberapa momen konyol dan tak terkira. Seperti dia yang tiba-tiba nongol di depan rumah aku di pagi buta hari ini, lengkap dengan pakaian olahraganya. Katanya dia udah janjian sama Papa untuk jogging bareng. Gila kan itu anak?
Kirana terkekeh. Lalu kembali membuka halaman selanjutnya dari buku harian itu.
Hari ini Reyhan kembali berulah! Dia tiba-tiba bawain aku martabak keju ke rumah, gara-gara katanya dia lihat postingan status instagram aku yang nulis, “Makan martabak pas hujan gini, enak kali ya?”
Tahu gak, ini tuh cuaca bener-bener lagi hujan gede! Sumpah deh, aku gak akan lagi nulis-nulis kaya gitu di instagram atau di manapun. Kalau tahu endingnya bakalan kaya gini! Emang beneran udah sakit jiwa itu anak!
***
Sorry, aku baru nulis lagi setelah tiga hari berlalu. Aku lagi galau berat! HuftL
Sakit Papa kumat lagi. Dan itu membuat aku frustasi. Aku gak bisa fokus sampai-sampai lupa segalanya. Dan entah kenapa aku juga sampai gak sadar kalau selama Papa di rumah sakit, selama itu pula Reyhan selalu ada di sana. Terjaga semalaman di rumah sakit menunggui Papa.
Aku bahkan tak pernah melihat Reyhan di sana. Dan juga Reyhan gak pernah menyapa atau menanyai aku. Yang aku tahu, aku di sana sama Ibu. Dan benar-benar gak lihat Reyhan! Jadi gimana ceritanya coba, saat Ibu bilang kalau Reyhan setiap malam juga ada di sana nungguin Papa?
***
Jurnal Ayyana
“Gimana keadaan Reyhan? Udah baikan?” Tiba-tiba Ibu menanyai aku saat aku baru saja merapikan dan memasukan barang-barang Papa ke lemari. Hari ini Papa baru saja diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Alisku agak terangkat tak mengerti apa maksud Ibu.
“Maksud Ibu?” ucapku bingung.
“Loh? Bukannya tadi Reyhan izin pulang lebih dulu ya, katanya obat Reyhan ketinggalan gitu. Dia sakit, sayang?”
Aku melongo. “Ih, Ibu ngomong apaan sih? Aku gak ngerti!” kataku. “Lagian ngapain juga Reyhan di rumah sakit?”
Ibu dan Papa saling memandang keheranan. “Loh jangan bilang kamu lagi marahan lagi sama Reyhan, Ayy?” ucap Papa.
“Apa sih Pah?”
“Sayang, kayaknya anak kesayangan kita ini kelewat khawatir sama kamu. Sampai-sampai pacarnya pulang pergi jenguk kamu aja gak nyadar!” ucap Ibu pada Papa sambil terkekeh. Diikuti pula dengan suara cekikikan Papa.
“Haduh, tuan putri! Jangan kaya gitu loh, masa pacarnya di cuekin gitu.” Kali ini Papa yang menggoda.
“Pacar? Siapa yang pacar aku? Reyhan?” kataku. “Kita gak pacaran yang mulia raja-ratu. Orang Reyhan juga gak pernah kok nembak aku. Jadi darimana ceritanya coba kita pacaran?” ucapku protes.
“Jadi kamu berharap di tembak nih sama pengawal Istana kerajaan? He he he,” ucap Ibu.
“Eh?” aku tak tahu lagi kenapa juga aku mengatakan itu tadi. Huh, Ibu dan Papa bener-bener deh. Kadang aku heran, yang anaknya itu aku atau Reyhan sih? Bisa-bisanya mereka bisa sedekat urat nadi begitu dengan Reyhan!
“Reyhan itu dari awal Papa dirawat udah sering pulang pergi ke rumah sakit. Pantesan kalian jarang bercakap. Ibu pikir kalian lagi berantem. Eh gak tahunya kamu gak tahu toh kalau ada Reyhan?”
“Sana kamu temuin Reyhan, dia kayaknya lagi sakit. Katanya obat dia ketinggalan. Sambil pegang-pegang perut!” kata Papa.
Jangan-jangan, magh dia kambuh lagi?
Aku langsung merogoh ponselku di dalam saku celanaku. Lalu menyerbu keluar menuju ke halte bus. Aku mencoba mencari kontak Reyhan, yang namanya di ubah sama Reyhan dengan ‘Pengawal Istana Kesayangan’ di kontak ponselku.
Tapi panggilanku sama sekali tak dia angkat. Bikin aku panik saja.
Rey, lo di mana?
Pesanku sama sekali tidak dia baca. Aku menghela napas panjang! Tiba-tiba ada pesan masuk ke ponselku. Aku sangat berharap sekali itu dari Reyhan, tapi pada kenyataannya bukan. Eh, tunggu ini dari Kak Radit?
Ayy, Reyhan ada di rumahku.
Dari tadi dia tidur. Aku lihat ponsel Reyhan bunyi terus dan itu dari kamu.
Makanya aku langsung kasih tahu kamu.
Aku menghela napas lega. Dasar, bikin orang khawatir aja! Ih apaan sih, Ayy, ngapain juga coba pake khawatir segala macam? Bodoh!
Entah kenapa, aku langsung menaiki bus yang menuju rumah Kak Radit. Aku sih belum pernah ke rumah Kak Radit, tapi aku pernah denger dari Reyhan kalau rumah Radit itu di komplek Seroja blok 3 gitu. Ah masa bodoh deh! Yang penting aku harus memastikan dia baik-baik saja.
Aku turun di halte dekat dengan Komplek Seroja. Dan gak tahu deh, dari mana datangnya level tidak tahu maluku. Aku menelpon kak Radit untuk menjemputku di depan komplek. Kak Radit agak terkekeh saat aku mengatakan itu, dia bilang, ‘Kenapa gak kasih tahu kalau mau ke sini, biar aku jemput aja.’ Tapi ya, udah tanggung lah, gak apa-apa!
“Ayo! Dia di kamarku.” Kata Kak Radit. Aku hanya mengekori saja ke mana Kak Radit mencoba membawaku. Salah satu pintu kamar dia buka, bisa dipastikan itu kamarnya Radit.
PRANGGGG!!!
Suara benda pecah mengawali kehadiranku di kamar Kak Radit. Aku sangat terkejut saat aku melihat Reyhan dengan susah payahnya mencoba meraih gelas di pinggir tempat tidur sampai gelas itu jatuh dan pecah karena tidak terjangkau olehnya. Aku langsung menyerbu ke arah dia, Kak Radit juga.
“Reyhan!” aku berteriak dengan nada cemas melihat dia yang terus memegangi perutnya. “Rey, lo kenapa?”
“Bro, lo kumat lagi?” kali ini Kak Radit yang menyerbu dan segera mengobrak-abrik isi tas Reyhan. Untuk mencari sesuatu di sana. Lalu Kak Radit menghampiri Reyhan dan lantas memberikannya obat. Oke, obat itu, obat yang pernah aku lihat juga sewaktu Reyhan mengajakku jalan-jalan kala itu.
“Lo rebahan, Rey!” Kak Radit mencoba menidurkan Reyhan ke posisi yang lebih nyaman. Ya ampun ini Reyhan kenapa coba? Di wajahnya benar-benar muncul tetes-tetes keringat. Apa sesakit itu? Batinku.
“Ayy, kamu kok di sini?” kata Reyhan dengan napas tersengal saat dia mulai menyadari kehadiranku di rumah Kak Radit.
“Ih, gue ke sini karena khawatir sama lo, Rey!” aku dengan cemas langsung mencubit lengan kanan Reyhan yang sedang terbaring itu. “Pasti lo kaya gini gara-gara nungguin Papa gue kan?”
“Kamu tahu?” ucap Reyhan sambil terkekeh. Dasar, bisa-bisanya dia tertawa di saat aku sedang mencemaskannya!
“Ayy, mumpung kamu ada di sini, kamu suapin Reyhan ya! Dari tadi dia nolak makan terus!” ucap Kak Radit sambil menyerahkan padaku semangkok bubur yang sudah mulai hangat. Mungkin karena si pemilik makanan sesungguhnya dari tadi terus mengabaikan bubur itu.
Aku lagi-lagi menghela napas panjang. “Rey, kalau lo kaya gini lagi. Gue gak mau ketemu sama lo sampai kapanpun. Lo itu kan punya magh kronis, lo jangan sampai telat makan!” aku mengomel sambil menyendok isi dari mangkok bubur itu.
“Iya!” ucap Reyhan dengan pasrah.
Kak Radit berjongkok di depanku yang sedang duduk di pinggiran tempat tidurnya. Lalu meraih kakiku.
“Eh?” aku langsung mengalihkan perhatianku pada Kak Radit yang kali ini sedang sibuk dengan kotak P3K. Reyhan juga jadi agak menengok, sebenarnya Radit sedang apa?
“Saking cemasnya kamu sama Reyhan, kamu sampai gak sadar kalau kaki kamu nginjek pecahan beling gelas, Ayy! Aku obatin dulu ya,” ucap Kak Radit sambil terkekeh.
Dan aku hanya bisa terbelalak. Sumpahnya deh, aku sama sekali tak merasakan apapun bahkan saat telapak kakiku mengeluarkan darah pun aku tak tahu. Apa benar ini karena saking cemasnya aku sama Reyhan?
Reyhan tak kalah terbelalak! Dia menatapku dengan tatapan tajam. Seperti ingin marah tapi ditahan. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu bangkit meninggalkan tempat tidur. Dia juga meminta Kak Radit untuk menyerahkan apa yang sedang dia lakukan pada kakiku. Dan dia menurut, lalu memilih untuk membersihkan sampah-sampah pecahan beling itu.
Sedangkan aku hanya bisa diam mematung menyaksikan Reyhan yang sedang mengobati lukaku. Padahal kan dia juga sedang tidak baik-baik sekarang? Tak lama, suara Kak Radit keluar dari mulutnya bagaikan sebuah ledakan bom atom di kepalaku.
“Kalian itu, kenapa gak pacaran aja sih? Jangan bikin iri sosok jomblo di depan kalian ini.” begitu kata Radit dengan terkekeh, sambil berlalu pergi dari kamarnya setelah selesai membersihkan pecahan gelas di lantai.
“Kamu denger apa kata Radit kan, Ayy? Kenapa kita gak pacaran aja coba?” ucap Reyhan setelah selesai membaluti kakiku yang terluka. Dia bangkit dan kali ini berdiri di depanku yang masih terduduk di samping tempat tidur Kak Radit. Mukanya masih pucat, aku sangat yakin dia masih menahan sakitnya. Tangannya berkacak pinggang sambil memperhatikan aku yang sedang menunduk memperhatikan kakiku yang sudah diperban dengan rapi.
Ini Reyhan lagi nembak gue atau gimana nih?
“Ayyanaaaa, heloooo! Lama-lama aku ngobrol aja deh sama tembok!” ucap Reyhan kesal. Aku terkekeh mendengar dia mengatakan itu. Lalu aku bangkit dan kami saling berhadapan sekarang.
Glek! Reyhan menelan ludahnya sendiri kala aku dan dia kini benar-benar dekat. Wajahku agak menengadah melihat dia yang memang lebih tinggi dariku. Lalu tanganku terangkat tanpa aba-aba, merapikan rambut dia yang acak-acakan. Lalu tanganku berhenti di kedua pipinya. Kami saling menatap tepat di mata sekarang.
Sebenarnya kalau boleh jujur, hatiku sedang berdebar-debar tak karuan. Tak tentu arah! Aku juga bingung, dari mana aku memiliki keberanian untuk menatap dia sedekat ini. Yang aku mau hanya tersenyum melihat dia. Iya, sama dia! Hanya sama dia!
“Thanks!” ucapku.
“Hah? Buat apa ya?”
“Buat segalanya!”
“Aku mau kamu jadi pacarku, Ayy!” katanya.
“Aku tahu. Tapi aku punya syarat! Dan itu syarat mutlak!”
“Syarat?”
“Syaratnya lo harus bisa belajar yang bener! Kalau lo lulus, gue bakalan mempertimbangkan apakah gue mau jadi pacar lo atau engga! Tapi...”
“Tapi?”
“Kalau lo bisa juga masuk ke Universitas impian lo nanti. Secara otomatis, gue bakalan nerima lo jadi pacar gue. Gue denger, lo pengen banget masuk Unpad kan, Rey? Pokoknya kalau lo bisa masuk Unpad, gue pastikan lo resmi jadi pacar gue saat itu juga. Tapi harus jujur ya, gak boleh curang. Gimana?”
Mata Reyhan berbinar bak kesenangan. Aku tak tahu apakah keputusanku itu sudah tepat atau bahkan salah? Aku juga tak tahu apakah perasaanku pada Reyhan benar-benar akan cocok kalau kita menjalin hubungan lebih? Aku bahkan tak mengerti apa yang ada di pikiranku saat ini. Yang aku tahu, aku nyaman bisa dekat dengan Reyhan, dan aku tak bisa tenang kalau Reyhan sedang tidak baik-baik saja. Apa ini sudah cukup untuk menerima Reyhan?
Mataku dan Reyhan masih sama-sama saling bertemu. Dan semakin lama hawa di sana menjadi semakin kacau. Seperti panas yang tiba-tiba menghantui sekitar kamar kak Radit. Gila! Aku melihat wajah Reyhan semakin lama semakin mendekat ke wajahku. Ya ampun! Apa dia gila? Apa dia akan menciumku? Apa dia akan melakukan itu? Ciuman? Apa ini akan menjadi ciuman pertamaku?
Glek! Aku hanya bisa menelan ludahku. Ya... Ya ampun! Ini kenapa dah si Reyhan deket-deketin wajahnya gini? Ampun deh ampun!
Dan... benar, ini kayanya si Reyhan mau cium aku! Buset dah, gue harus gimana ini? Wajah dia makin deket, gilaaaa....... jaraknya tinggal beberapa sentimeter dari bibirku. Gawat!
“Lo ngapain?” ucapku kemudian. Memecahkan keheningan yang sedari tadi menghinggapi situasi kami. Membuat Reyhan juga menghentikan apa yang tadi akan dia lakukan.
“Eh?” Reyhan langsung menjauhkan wajahnya yang tadi sangat-sangat-sangat dekat dengan wajahku. Wajahnya memerah seketika itu juga. Sebenarnya aku ingin terbahak melihat Reyhan yang langsung salah tingkah itu. Tapi aku mencoba untuk tetap tenang. Walaupun harus diakui, aku sempat gugup tadi! Gila! Untung saja dia gak nekad!
“Gue pulang!”
“Eh kok pulang?”
“Lo udah baik-baik aja, Rey!”
“Tapi aku masih pengen sama kamu. Kamu di sini ya? Ya, ya, ya!”
“Rey, lo harus istirahat! Inget lo jangan sampai banyak bolos!”
“Iya, Ayy.” Kata Reyhan. “Aku bakalan pastiin aku bakalan bisa masuk UNPAD. Aku bakalan buktiin itu, Ayy.”
“Oke, gue pulang!”
“Ayy?” dia meraih tanganku.
“Apa?” aku memutar bola mataku, jengkel!
Tiba-tiba, Reyhan mendekapku ke dalam tubuhnya. Aku hanya bisa terkesiap tak bisa melakukan apapun. Di dalam pelukannya, ada rasa aman dan hangat yang membuat aku seketika itu juga merasakan kenyamanan. Reyhan mengelus-elus belakang rambutku, juga mencium pangkal kepalaku.
“Makasih, Ayy.” Katanya.
Dan di saat itu juga, hatiku luluh lantah dibuatnya!
seruuuuu, alur cerita di awal bikin penasaran. dengan gaya bahasa yang mengikuti jaman jadi asikk bangettt bacanya.
Comment on chapter Bab 1 : Bagian 2