Aku akhirnya sampai di depan rumah. Reyhan menepikan motornya di halamanku. Aku membuka pintu dan melihat Ibu sedang asyik di dapur. Aku langsung menyerbu ke arah Ibu dan memberikan salam.
“Ibu udah pulang?”
Ibu mengangguk. “Besok Ibu nginep di rumah tantemu ya. Sama Papa juga. Gak apa-apa kan?”
“Iya, Bu, gak apa-apa.” kataku. “Oh iya Bu, di ruang tamu ada Reyhan.”
“Reyhan?”
“Dia anterin Ayyana pulang.” Ibu tersenyum. “Aku ajak dia ke ‘Istana’ Ibu ini ya?” ucapku. Istana Ibu yang aku maksud itu adalah dapur kami. Karena Ibu selalu menghabiskan waktu di dapur kalau berada di rumah. Ibu mengangguk.
Aku langsung melangkah ke arah ruang tamu, tapi aku melihat Reyhan sedang berdiri memandangi deretan foto yang terpajang di dinding rumahku. Aku tersenyum kala melihat dia juga tersenyum-senyum sendiri melihat foto-foto keluarga ku.
“Rey?” aku mengagetkan dia. Dia menoleh ke arahku. “Ikut gue ke ‘istananya’ Ibu yuk!” aku menarik tangan Reyhan. Reyhan menurut dan mengikuti aku.
Ibu menyapa hangat Reyhan kala melihat cowok berkulit sawo matang itu sudah memasuki dapur dan berdiri di hadapan Ibu.
“Hallo, Rey. Apa kabar?”
“Baik tante.” Ucap Reyhan. “Tante lagi apa?”
“Emangnya tuan putri tante gak pernah cerita, kalau tante ini kan seneng banget bikin kue.”
Reyhan menggelengkan kepala-nya sambil tersenyum. “Aku bantu ya, Tante.”
“Boleh. Tapi cuci tangan dulu ya.”
“Oke siap, chef!” kata Reyhan bersemangat dan langsung berbalik menuju wastafel yang ada di belakangnya. Sedangkan aku pergi meninggalkan mereka berdua, hendak berganti pakaian.
Hattchhiiiii !!!
Lagi-lagi aku bersin. Kepalaku bertambah pusing saja. Apalagi cairan mulai keluar dari hidungku. Huh, menyebalkan, ini mah udah pasti kena flu aku!
Aku meraih maskerku dan bergegas menuju dapur untuk bergabung bersama Ibu dan Reyhan. Betapa damainya hati ini saat melihat Ibu ternyata mudah sekali akrab dengan Reyhan. Dari kejauhan aku bisa melihat, betapa bahagianya mereka. Saling melempar tawa dan canda. Jujur, aku belum pernah melihat Reyhan tertawa selepas itu. Ini adalah kali pertama aku melihatnya seperti itu. Sedamai itu.
Aku hadir di antara mereka. Ibu langsung keheranan melihat aku yang datang dengan memakai masker.
“Sayang, kamu kenapa?”
“Aku flu, Bu. Dari tadi bersin terus.” Kataku. Nada suaraku juga sudah terdengar asing karena hidungku yang tersumbat. Huft!
“Tadi dia hujan-hujanan, Tante,” kata Reyhan.
“Iya kah?” Ibu melihat ke arahku.
“Engga, Bu. Tadi itu payung aku ketinggalan di bus, jadi ya terpaksa aku nerobos hujan buat bisa sampai ke sekolah!”
“Kamu ini, selalu saja ceroboh!” ucap Ibu sambil geleng-geleng kepala. “Sudah minum obat?”
“Udah, Bu.”
“Ya sudah pokoknya malam ini, kamu gak boleh begadang. Harus banyak istirahat!”
“Eh, emangnya Ayyana suka begadang, Tante?”
“Dia itu sering insomnia. Gak tahu deh, tante juga bingung, dia lagi mikirin apaan.” Ucap Ibu sambil terkekeh.
“Kamu susah tidur bukan karena mikirin aku kan, Ayy?” kata Reyhan tiba-tiba saja menyambar bak tanah longsor. Aku hanya bisa melongo mendengar dia mengatakan itu. Apalagi di depan Ibu. Memalukan!
“Ih, apaan sih lo!” aku langsung menghujaninya dengan tepung terigu yang tak terpakai di atas meja sana. Reyhan segera bersembunyi di balik punggung Ibu. Dia seakan berhasil menemukan tembok kokoh untuk menghalau segala seranganku. Dia juga meledekku dengan menjulur-julurkan lidahnya. Huh, dasar Reyhan! Bisa-bisanya berlindung di balik punggung Ibuku!
“Oh iya, Rey, kamu makan malam di sini ya. Ini bukan pertanyaan yang harus kamu jawab ‘iya’ atau ‘engga’ loh. Tapi kamu harus makan di sini. HARUS!”
“Duh, Bu, Reyhan kan harus pulang. Kalau orang tuanya nyariin gimana?” kataku yang agak mengingatkan Ibu untuk tak berlaku ‘semena-mena’ terhadap Reyhan. Ibu mengerti.
“Ya sudah, kalau kamu mau, kamu telepon orang tua kamu dulu ya takutnya kalau-“
“Aku mau kok, Tante. Aku mau makan malam di sini.” Kata Reyhan memotong perkataan Ibu. Aku dan Ibu langsung saling melirik. “Lagian, orang tua aku juga jarang ada di rumah kok. Kalaupun mereka ada, mereka gak pernah peduli apakah aku ada di rumah atau engga, jadi santai aja.”
“Reyhan? Lo kenapa sih?” aku menepuk bahu Reyhan untuk mengingatkan kalau ucapannya sudah keterlaluan. Apalagi di hadapan Ibu yang notabenenya sangat sensitif. “Gak baik loh, bilang orang tua lo kaya gitu.”
“Aku gak lagi mengada-ngada, orang tua aku itu sibuk banget! Jarang ada di rumah. Jarang nanyain kabar Reyhan. Yang ada di pikiran mereka cuma perusahaan, bisnis dan uang. Saking jarangnya ada di rumah, aku juga lupa, kapan terakhir kali aku nyebut nama ‘Mama’ ataupun ‘Papa’ di mulut aku. Yaaa begitulah.”
Aku hanya bisa menelan ludahku sendiri. Ibu tersenyum mendengar cerita singkat dari Reyhan tentang keluarganya itu. Setelah Ibu memasukan kuenya ke oven, Ibu menghampiri Reyhan lalu memeluknya dengan erat. Aku tak mengerti apa yang sedang Ibu lakukan. Reyhan juga nampak tertegun dan diam mematung. Lalu Ibu berbisik pada Reyhan,
“Kalau kamu rindu pelukan seorang Mama, tante siap jadi sandaran kamu,”
Aku tersenyum. Kata-kata Ibu benar-benar sangat melembutkan di telinga dan hatiku. Dan aku juga sangat yakin, kata-kata lembut itu juga sampai di hati Reyhan. Bisa di lihat saat Reyhan membalas pelukan Ibuku dengan sangat erat. Dengan senyuman. Dengan napas yang lega. Ada satu hal langka yang aku lihat pada diri Reyhan hari itu. Air mata! Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat seorang laki-laki menangis. Dan itu adalah Reyhan!
seruuuuu, alur cerita di awal bikin penasaran. dengan gaya bahasa yang mengikuti jaman jadi asikk bangettt bacanya.
Comment on chapter Bab 1 : Bagian 2