Kamu nikmatin filmnya?” tanya Reyhan. Dan lagi-lagi dia mengatakan kata kamu padaku. Aku mengangguk kecil.
“Eh, beli itu yuk!” aku menunjuk stand penjual es krim scoop di mall tempat kami selesai nonton tadi. Reyhan menggeleng. Menolak keinginanku.
“Katanya kamu bakalan teraktir aku makan! Gimana sih?!” aku berkata protes. Namun setelah itu aku menyesalinya karena lagi-lagi kata aku dan kamu keluar dari mulutku.
“Makan aja deh! Jangan es krim. Laper ini.” kata Reyhan sambil memegangi perutnya.
Huft! Aku langsung menarik tangan Reyhan agar dia bisa mengikuti aku tanpa harus berkomentar lagi. Sesampainya di depan stand yang tadi aku tunjuk, aku langsung di sapa dengan ramah oleh pegawainya.
“Kamu mau?” eh buset ‘kamu’ lagi. Aku menggerutu kesal sambil menepuk-nepuk mulutku sendiri. Reyhan menggeleng cepat. Oke aku mengerti! Lalu aku hanya memesan dua scoop es krim saja untuk diriku sendiri.
Aku dan Reyhan berjalan seiringan. Aku sibuk menikmati es krim ku sedangkan Reyhan sama sekali tidak banyak bicara. Dia lebih banyak diamnya. Itu sedikit menggangguku.
Aku melirik ke arah Reyhan. Aku merasa dia sedang tidak baik-baik saja. Wajahnya pucat. Keringat banyak menetes dari keningnya. Perutnya terus dia pegangi dengan tangan. Berjalannya juga agak lambat. Reyhan kenapa?
“Ayy, duduk dulu sebentar ya.” Kata Reyhan dengan nada bergetar. Aku hanya bisa mengangguk tak mengerti apa yang sedang terjadi pada Reyhan.
“Lo kenapa? Sakit?”
“Kayanya kambuh.”
Kambuh? “Hah?”
“Kita cari tempat makan yuk, Ayy. Kamu mau makan apa?”
“Eh? Terserah!”
Reyhan lalu bangkit dengan susah payah. Es krim masih belum habis. Dan ini es krim kesukaanku. Tapi entah mengapa di hari itu, aku lebih memilih membuang sisa es krim itu dan lebih memilih membantu Reyhan dengan cara membopangnya. Benar, dia lemas sekali.
“Lo sakit?” tanyaku lagi.
“Gak apa. Ini biasa kok,”
Oke, aku tak akan lagi bertanya perihal keadaannya. Karena jawabannya pasti akan sama saja. Tak ada yang berubah!
Kami tiba di sebuah restoran masih di mall yang sama. Reyhan langsung memesan menu makanannya. Sedangkan aku hanya memesan cemilan kecil saja karena belum merasa lapar. Ada tisu di meja itu. Aku mengambilnya, lalu menyeka keringat Reyhan yang sudah terlihat tumpah ruah di keningnya.
“Sorry, Ayy. Magh aku kambuh.”
Aku terdiam sebentar. “Lo punya magh?”
Dia mengangguk. “Aku belum makan apa-apa tadi.”
“Bodoh! Harusnya sebelum nonton kita makan dulu,”
“Gak apa-apa.”
Makanan pesanan kami datang. Dan aku melihat Reyhan bahkan sudah selesai hanya dalam empat suapan. Dia langsung menjauhkan mangkok makannya dan menghentikan aktifitas makannya.
“Lo gak salah? Makan cuma segitu?”
“Gak napsu makan, Ayy. Segini juga udah cukup. Yang penting perut keisi buat minum obat.” Dia lalu merogoh saku jaketnya dan mengambil bungkus plastik berisi obatnya. Di lihat dari labelnya, bisa dipastikan kalau itu bukan sembarang obat yang di jual di warung. Itu adalah obat dari resep dokter.
Aku menghela napas panjang. Entah kenapa, ada perasaan kesal yang tiba-tiba melanda di hatiku.
“Lo punya magh parah tapi lo berani-beraninya SENGAJA gak makan? Serasa punya nyawa sembilan kaya kucing lo?”
Reyhan melirik padaku. Lalu terkekeh.
Ngapain ini bocah malah ketawa coba?
“Kamu jangan sok tahu! Ini cuma magh biasa!” ucap Reyhan sambil geleng-geleng kepala.
“Magh biasa gimana? Udah jelas itu resep dari dokter, Rey!”
“Udahlah, gak usah dibahas la---“
“A!” kataku cepat memotong perkataan Reyhan, sambil menyodorkan sendok berisi makanan ke arah Reyhan. Reyhan diam beberapa saat. Lalu tersenyum simpul. “Kenapa? Sayang loh kalau gak dimakan!” kataku.
“Aku gak napsu makan, Ayy.” Katanya. Ucapannya membuat aku tambah kesal!
“Kalau lo gak makan ini, gue gak akan mau di ajak lo jalan lagi!”
“Jadi kalau misalkan aku mau, kita bisa jalan bareng lagi?” ucapnya terdengar antusias.
God, gue ngomong apaan sih?
“Serah lo deh! Buruan makan! Pegel!”
Tanpa berlama-lama, dia langsung melahap sendok berisi makan itu ke dalam mulutnya. Dan mengunyahnya dengan semangat. Sedangkan aku sekarang merasa terjebak, bagaikan seorang Ibu yang sedang mengasuh anaknya dan memberinya makan. Sial!
seruuuuu, alur cerita di awal bikin penasaran. dengan gaya bahasa yang mengikuti jaman jadi asikk bangettt bacanya.
Comment on chapter Bab 1 : Bagian 2