Aku langsung menuju ke halte bus kota. Sangat menyebalkan saat aku tak bisa ke rumah sakit lebih cepat dari prakiraan karena jadwal bus tiba tertera akan datang sekitar sepuluh menit lagi. Aku hanya bisa mondar-mandir tak jelas. Perasaanku tak enak hati. Air mata sudah mulai terkumpul lagi tapi kali ini aku berusaha lebih baik dalam menenangkan hatiku sendiri.
“Papa akan baik-baik aja, Ayy. Lo harus yakin!” begitu usahaku dalam menenangkan diri sendiri. Beberapa kali aku menengok arlojiku dan waktu rasanya sangat lambat sekali berjalan. Hingga suatu ketika, ada satu orang memakai motor gede hitam menepi tepat di depanku.
“Ayo naik!” katanya. Aku hanya bisa melongo keheranan. Dan melirik ke kanan-kiri ku. Orang itu sedang mengajak bicara pada siapa? Padaku-kah?
“Lo lagi buru-buru kan?” betapa terkejutnya aku saat melihat sosok di balik helm full face itu adalah Reyhan. Kalian tahu Reyhan kan?
“Eh?” aku hanya bisa melongo tak merespon. Lalu dia langsung melemparkan helm lain yang di bawanya padaku. Aku refleks menangkapnya.
“Buruan!” katanya lagi. Masa bodoh dengan gengsi dan segala kebingungan, aku menganggap ini adalah sebuah bantuan Tuhan untukku agar bisa lebih cepat sampai di rumah sakit untuk menemui Papa. Aku memakai helm yang tadi Reyhan berikan padaku, lalu langsung naik di jok belakang motor gedenya.
Reyhan juga mulai menyalakan mesin motonya dan memakai kembali helm yang tadi dilepasnya. “Pegangan! Gue ngebut ya.”
Jujur, itu adalah kali pertama aku diboncengi oleh laki-laki. Apalagi, mau tak mau, aku harus memegang dengan erat pinggang Reyhan karena dia benar-benar melajukan motornya dengan cepat. Di saat lampu merah, aku lepas tanganku dari pinggangnya. Setelah lampu hijau, aku kembali terpaksa mengaitkan kembali tanganku di pinggangnya. Sampai pada lampu merah ketiga, dia berkata,
“Lo kenapa?” suaranya memang agak samar-samar karena terbentur juga oleh bisingnya suara lalu-lalang kendaraan jalanan. Tapi telingaku masih cukup normal untuk bisa mendengar apa yang Reyhan katakan.
“Gue gak kenapa-kenapa!” kataku dengan nada yang lumayan lebih keras karena suara kendaraan lebih mendominasi percakapan kami.
“Gue yakin Papa lo bakalan baik-baik aja!” aku terdiam. Bagaimana Reyhan tahu soal Papa ku? Bagaimana Reyhan bisa tahu soal kegelisahan aku sedari tadi?
“Gue percaya, pikiran positif akan membawa kita kepada hal-hal yang positif, Ay. Jadi lo musti tenang!” aku masih tetap diam tak merespon kata-katanya.
“Kita jalan lagi, Ay.” Sebelum lampu merah itu berubah menjadi lampu hijau kembali, tangan Reyhan tiba-tiba menarik kedua tanganku. Aku sempat bingung dia hendak melakukan apa. Sampai kemudian dia melingkarkan tanganku ke perutnya. Seperti sebuah pelukan tak langsung.
Aku membisu memperhatikan kedua tanganku yang kini sedang melingkar mulus di perutnya Reyhan. Lalu dia berkata lagi,
“Lo tahu, kapanpun lo butuh gue, gue bakalan siap, Ayy.” tiba-tiba secuil senyum melengkung di antara sudut bibirku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa aku menjadi manusia paling kuat di semesta ini. Dan itu berkat perkataannya.
***
Kalian tahu, di saat kalian sedang berada dalam tahap paling jatuh, kalian tidak butuh hiburan dari siapapun. Kalian hanya butuh satu orang yang siap meminjami bahunya untuk kita bersandar.
Aku benar-benar merasakannya hari ini. Dan itu adalah Reyhan!
Kirana tersenyum kala membaca tulisan itu. Tak sadar kalau air matanya tiba-tiba saja membasahi pipinya tanpa permisi. Entah kenapa, Kirana juga tak mengerti. Kenapa kata-kata itu mampu membuat hatinya mencair? Kenapa kata-kata itu mampu membuat Kirana merasakan debaran dalam hatinya?
Aku sayang Papa. Aku akan melakukan apapun untuk membuat Papa bahagia. Papa harus sembuh!
Kirana menyeka air matanya. Lalu senyum terpancar dari bibirnya.
“Aku juga, Mah. Aku juga sayang banget sama Papa.” Ucap Kirana.
seruuuuu, alur cerita di awal bikin penasaran. dengan gaya bahasa yang mengikuti jaman jadi asikk bangettt bacanya.
Comment on chapter Bab 1 : Bagian 2