Senja berusaha meredam emosi Aras yang selalu ingin menemui Daren dalam keadaan marah. Menjelang satu minggu ini, Senja selalu mengingatkan cowok itu agar tidak gegabah. Sama seperti sekarang, dia menghalangi jalan Aras menemui Daren yang tengah berlatih basket.
"Gue udah gak marah, Ja. Jangan halangin gue lagi." Aras memberikan tatapan memelas, tetapi Senja tetap bersikeras menahan lengan cowok itu.
Senja hanya tidak mau pembicaraan keduanya berakhir adu jotos. Kalau bisa, lebih baik tidak perlu bertemu Daren lagi, berbicara dengan Nino mungkin cukup. Dia menyampaikan itu pada Aras. Sayangnya, Aras tidak mau melewatkan orang-orang yang sudah Senja singgung.
Aras berkacak pinggang, sudah beberapa hari ini dia tidak memeriksa buku harian Senja. Dia segera merogoh tas sekolah dan meraih buku harian gadis itu. Senja yang menyadari sesuatu pun melongo, sama sekali lupa mengenai catatan.
"Terakhir kita baca tulisan tentang adik-adik kelas yang sengaja ngusilin lo. Sekarang ...." Tangan Aras berhenti membalik kertas ketika menemukan nama Daren setelah memeriksa curhatan Senja mengenai Tiana. Dia menatap Senja sebentar seraya memikirkan apa yang telah dia baca.
Nama Daren ditulis dua kali dengan isi pesan berbeda. Tulisan kedualah yang membuat Aras berpikir. Dia membaca lirih pesan itu, "Daren, seandainya lo ngebantuin gue di hari itu."
Aras kembali menatap Senja. Pikiran tentang perselingkuhan melintas di benaknya. Namun, sebelum semakin parah, Aras buru-buru mengusirnya. "Percuma kalau gue nanya maksud lo nulis ini apa. Lo gak bakalan ingat." Tangannya menutup buku itu lalu kembali dimasukkan ke tas.
Senja menautkan jemari-jemarinya, merasa bersalah. Sesak sekali rasanya ingin mengingat, tetapi tidak dapat mengingat. Senja tahu Aras pasti berpikir yang tidak-tidak. Akan tetapi, apa yang bisa dilakukan oleh arwah lupa ingatan sepertinya selain meringis dan meminta maaf?
"Ras, lo pasti marah, ya?"
Aras membuang napas panjang. Dibilang marah, tidak, dibilang kecewa pun juga tidak. Dia bingung harus apa sekarang. Dari kejauhan, matanya terus mengawasi pergerakan Daren yang tengah men-dribble bola basket, ada Tiana juga di sana, ikut menyaksikan sesi latihan ekskul basket siang ini.
Setelah berpikir sejenak, Aras memutuskan melangkah mendekati lapangan, tidak peduli Senja terus merengek agar pulang saja. Sampailah Aras di sebelah Tiana hingga gadis yang tadinya berteriak heboh itu kini berhenti dan menatap Aras kebingungan, juga waspada mengingat kejadian terkahir mereka bertemu.
"Mau ngapain Kak Aras ke sini? Kalau cuma pengen berantem sama Daren, lebih baik Kakak pergi," ucap Tiana seraya berdiri di depan Aras.
"Jangan ngomong apa-apa, Ras. Gue tau lo lagi emosi sekarang." Senja sadar bahwa Aras akan mengabaikannya, tetapi hanya itu yang bisa dia lakukan.
Aras menggaruk hidungnya yang tak gatal, lalu memperbaiki posisi tasnya yang hanya disampirkan di salah satu pundak. Dia menatap datar Tiana. "Gue mau lo berhenti gosipin Senja yang enggak-enggak."
Hening sejenak, detik berikutnya tawa Tiana seketika mengudara. Aras tidak dapat menemukan kata-kata lucu dari ucapannya barusan, jadi dia menganggap Tiana memang cewek yang tidak bisa diberi hati.
"Gue salut banget sama Kakak bisa tetap bucin ke orang yang udah gak ada. Tapi, emang gak semudah itu buat lupain Senja, apalagi lupain fakta kalau dia emang selingkuh."
Ucapan dan tepuk tangan Tiana semakin membakar emosi yang mati-matian Aras tahan. Demi kelancaran informasi yang harus segera dia temukan, Aras rela menimbun dalam-dalam kemarahannya.
Sebelum menanggapi Tiana, Aras membuang napas panjang, memejam sejenak untuk menenangkan pikiran, berharap kepalanya bisa benar-benar dingin walau sekejap, hanya untuk menghadapi Tiana dan Daren yang kini berderap ke arah mereka.
"Kenapa? Ada urusan apa lo sama pacar gue?" Seandainya Daren tidak nyolot, mungkin Aras akan baik-baik saja, tetapi cowok di depannya seperti minta dihajar.
Aras sudah mengepal kuat, tetapi tepukan Senja di pundaknya membuat dia mendengkus kesal. Mau tidak mau, dia harus mengubur niatnya lagi dan berusaha sabar untuk beberapa menit ke depan. "Gue gak ada urusan sama dia, gue ada urusan sama lo."
Daren mengernyit. "Soal kita yang kelahi waktu itu? Kenapa? Lo mau lanjutin sekarang?"
"Jangan pancing kemarahan gue. Gue pengen bicara baik-baik sama lo." Tepukan pelan Senja ternyata sedikit membantu emosinya tidak meledak-ledak. Dia bisa berbicara lumayan tenang kali ini.
Meski ragu, Daren tetap penasaran. Jadi dia menyuruh Tiana duduk manis dan menunggunya sebab Aras tidak ingin ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka berdua. Setelah lumayan jauh dari lapangan, Aras mempersiapkan diri untuk melontarkan pertanyaan. Pada akhirnya dia benar-benar berbicara langsung dengan Daren.
"Apa yang lo tau tentang Senja yang gak gue tau?" Aras mengepal lagi, berusaha mengalirkan energi negatif ke kepalan tangannya. Raut wajahnya yang tak tenang semakin tidak karuan ketika menangkap keterkejutan di wajah Daren.
Daren pun tak langsung menjawab. Dia terlihat sedikit panik dan enggan melihat Aras. "Gue gak tau apa-apa."
Aras menelisik wajah Daren yang sama sekali menghindari tatapannya. "Bohong."
Daren tiba-tiba terkekeh seraya berkacak pinggang. "Apa yang bisa gue tau tentang Senja kalau yang ada di dunia Senja cuma lo. Harusnya Senja gak nyembunyiin sesuatu kalau lo emang berarti buat dia."
Ucapan Daren berhasil menohok dalam dadanya. Kali ini Aras yang terlihat panik. Minatnya untuk memperpanjang durasi percakapan terkikis begitu saja. Dia melirik Senja yang mematung dan menatap dengan mata berkaca-kaca.
"Sekalipun gue banyak lupa tentang kita, Ras, gue rasa lo selalu jadi bagian terpenting di hidup gue." Senja tersenyum tipis lalu menunduk, titik-titik air matanya menyentuh tanah setiap detik. "Tapi ... tapi gue bisa apa kalau gue gak bisa ingat semuanya. Bisa jadi Daren benar kalau ternyata gue emang pernah nganggap lo gak penting, Ras."
Aras menggeram dalam hati. Posisinya semakin rumit, di satu sisi ingin melanjutkan pembicaraan dengan Daren meski berat, di sisi lain ingin menenangkan Senja. Dia memejam sembari mengembuskan napas pendek. Ada kejanggalan dalam hatinya. Tidak mungkin Daren tidak mengetahui sesuatu tentang Senja. Jelas-jelas Senja memposting foto cowok itu, berarti Daren ada di balik kejadian nahas yang menimpa Senja, bahkan tulisan Senja tadi lumayan memberikan titik terang.
Catatan awal yang pernah Aras dapatkan di kamar Senja, akun-akun Facebook, buku harian. Sudah banyak informasi yang dia temukan, dan petunjuk paling terang adalah Daren dan Nino. Aras mencoba menyusun macam-macam motif pembunuhan jika benar Daren ada di balik itu semua atau mungkin ... Nino?
"Kalau lo udah gak punya kepentingan lagi, gue pergi sekarang."
Suara Daren membuat Aras segera tersadar dan dia langsung menahan cowok itu. "Lo bilang gak tau apa-apa tentang Senja, tapi gak tau kenapa firasat gue yakin kalau lo sebenarnya tau."
Di samping Aras, Senja berusaha menghentikan tangisnya ketika bayang-bayang kejadian masa lalu muncul secepat kilat dalam benaknya, bahkan dia dapat menangkap wajah Daren meski sekilas. Sayangnya, Senja tidak bisa menebak itu ingatan apa. Sejenak dia mengatur napas meski sesekali masih sesegukan. Matanya terus melihat Daren dan mencoba fokus, detik itu juga wajah Daren kembali berseliweran dalam pikirannya.
"Kamar?" lirihnya ketika mengingat sebuah kamar yang jelas bukan kamarnya, apalagi kamar Aras. Selebihnya hanya ada wajah Daren yang tidak begitu jelas. "Ras, gue ingat sesuatu dan diingatan gue ada Daren dan ... dan kamar."
"Kamar?" Bodohnya Aras berucap lumayan keras di hadapan Daren hingga cowok berbaju basket itu mengernyit dan menengok ke arah Aras melihat.
Daren tersenyum miring dan bersiap-siap pergi. "Sepertinya lo lagi gak waras. Tapi ini udah keberapa kalinya gue lihat lo seperti ngobrol sendiri, atau emang mungkin lo lagi ngobrol?"
***