Berdiri di lantai dua sembari menatap keramain siswa-siswi di koridor dan lapangan ketika lima menit lalu bel pulang berdentang seraya menikmati semilir angin yang dengan lembut mengusap wajah bulat seorang gadis berambut panjang. Senja merentangkan tangan dan berteriak kencang. Entah semasa hidup apakah dia pernah melakukan hal seperti tadi atau baru kali ini. Dia lupa. Namun, yang pasti Senja menyukai berteriak sekeras mungkin tanpa diketahui siapa pun.
"Tempatnya kurang tinggi," protesnya lalu bersiap melangkah ke tempat lain. Ingin hati ke lantai tiga, tetapi suara Aras menahannya.
"Gak usah ke mana-mana, Ja. Gue butuh lo di sini."
Senja berkacak pinggang sembari memasang wajah cemberut. Niat mengunjungi tempat lebih tinggi yang didambakan beberapa detik lalu menguap begitu saja. "Emang gue punya tugas apa, Ras sampai dibutuhin segala?"
Bukannya mendapat jawaban, emosinya malah semakin membara ketika Aras terus berjalan ke arah pintu perpustakaan lalu berhenti di salah satu pilar terdekat. Senja terus mengomel, tetapi tetap mengikuti Aras. Dia tahu yang cowok itu lakukan untuk dirinya dan Senja juga tahu kalau misi kali ini adalah membongkar rahasia Inggrid jika dugaan Aras benar.
"Ras, jelasin tugas gue kalau gitu. Masa lo bisa jelasin misinya Haifa dan gue gak? Pacar lo siapa, sih?"
Aras membuang napas panjang. "Jangan cemburu. Iya, maaf. Gue jelasin. Tapi lo harus serius kerjanya, gak boleh nolak."
Meski merasa aneh, rasa penasaran Senja jauh lebih tinggi. Jadilah gadis itu mengangguk. "Ya udah, apaan?"
Aras menyuruh Senja dekat-dekat posisinya. "Cuma lo yang bisa nembus tembok, Ja. Gue gak bisa. Artinya, cuma lo yang bisa masuk ke dalam perpustakaan dan dengerin percakapan Inggrid, Airis, dan mungkin aja pegawai perpustakaan."
"Lo juga curiga sama pegawai perpustakaan?"
Cowok di depannya mengangkat bahu. Entahlah, Senja malas bertanya lebih jauh. Ada baiknya jika dia segera mencari tahu apa yang sedang Inggrid bicarakan di dalam sana. Bisa jadi dia menemukan fakta yang dapat membuatnya segera terbebas dari predikat arwah. Akan tetapi, jika dia bukan arwah lagi, itu artinya dia tidak akan bisa bertemu Aras.
"Ras, kalau fakta yang gue temuin di dalam buat gue berhenti jadi arwah, berarti kita gak ketemu lagi, kan?"
Aras termenung, menatap Senja tanpa bisa berkata-kata. Dia ingin Senja terus ada di sini, sebagian dirinya justru melarang itu terjadi sebab Senja memang seharusnya sudah ada di alam lain.
Tanpa bersuara lagi, Senja melangkah dan enggan berbalik. Dia yakin setelah ini masih ada pertemuan dengan Aras. Kenapa dia baru merasakan kesedihan sekarang? Mengapa bukan di hari pertama ketika keputusannya memilih Aras sebagai orang yang akan menolongnya untuk membantunya mengingat alasan dia meninggal? Waktu yang diberikan untuknya cukup membuat Senja berat meninggalkan dunia ini.
"Ini uang sisa dari acara OSIS pekan lalu. Satu juta, kita bagi tiga. Ini untuk gue, ini Airis, dan ini untuk Bu Wawa." Inggrid tersenyum puas setelah membagikan uang yang sempat dihitungnya. "Lumayan, kan?"
Senja menggaruk tengkuk, alisnya menyatu. Pembahasan ketiga orang di depannya tak dapat dia mengerti. Lama Senja terdiam sambil melihat tawa lebar tiga perempuan di hadapannya.
"Besok ada acara OSIS lagi. Kayaknya kita bisa ngatur uangnya biar gak keluar banyak, biar kita bisa dapat bagian," jelas Inggrid.
"Urusan makanan tetap serahkan sama saya aja," tambah Bu Wawa, begitu nama yang sempat Senja dengar.
"Siap. Urusan konsumsi Bu Wawa aja terus yang ngurus. Selama makanannya layak dimakan, anggota OSIS gak akan ada yang protes."
Dari situ Senja mulai paham. Jadi benar dugaan dan info yang Haifa dapatkan. Inggrid memang menyalahgunakan jabatannya. Sebelum sempat keluar dari perpustakaan, Senja merasakan kepalanya sangat sakit, berbagai ingatan muncul bergantian dan semua tentang dia dan Inggrid.
Tanpa sadar tangannya mengenai buku di atas meja pegawai perpustakaan ketika hendak berpegangan pada sisi meja hingga membuat buku itu jatuh ke lantai. Senja tidak peduli ketika ketiga orang di depannya menjerit kaget.
"Lo nyentuh bukunya, Ris?" Inggrid memegang pundak Airis yang menegang.
Airis menggeleng cepat-cepat lalu mereka berdua menengok Bu Wawa yang juga ikut menggerakkan kepala ke kiri dan kanan berulang kali. Mereka saling melempar tatap, mencoba mencerna kejadian barusan. Tidak ada yang menyentuh, bahkan angin pun tak mungkin bisa menjatuhkan buku setebal 300 halaman.
"Terus? Masa jatuh sendiri? Bu Wawa iseng ya?" tuduh Inggrid.
"Enggak. Saya aja baru sadar kalau ada buku pinjaman yang belum dikembalikan ke raknya." Bu Wawa ikut meringset ke sudut meja, badannya tak kalah gemetaran dari dua remaja di depannya.
Senja yang hampir terjatuh akhirnya kembali berdiri tegak setelah kilasan memori barusan berhenti berputar dalam kepala. Saat hendak mendongak, dia melihat Inggrid dan Airis keluar perpustakaan dan tak sadar tengah melewatinya. Semenit kemudian, dia ikut keluar dari ruangan meninggalkan Bu Wawa yang masih ketakutan dan bingung.
Di luar perpustakaan, Aras terkejut melihat kemunculan Inggrid dan Airis sambil lari terbirit-birit disusul Senja yang berjalan gontai sambil meringis. Aras spontan menghampiri pacarnya.
"Kenapa, Ja?" Tangannya memegang kedua pundak Senja.
"Biasa, ingatan tentang Inggrid muncul lagi." Senja bersandar pada tembok. "Inggrid bukan pelakunya, Ras. Gue sama Inggrid emang musuhan, tapi ingatan tadi nunjukin kalau Inggrid gak akan buat sesuatu yang membahayakan nyawa gue. Buktinya, gue masih ada di sini."
Aras ikut bersandar di samping Senja. "Lo bener. Tapi Inggrid harus tetap dihukum karena udah jahat sama lo."
Senja mengangguk dan langsung menceritakan apa yang sempat dia dengar di dalam tadi. Sekarang Aras perlu mengatur rencana untuk mengungkap kesalahan Inggrid agar semua tahu bahwa selama ini mereka salah menilai Senja dan melihat kebenaran yang seharusnya.
"Jadi rencana lo selanjutnya?"
Aras tersenyum miring. "Tunggu tanggal mainnya. Tugas lo cuma satu, Ja. Duduk manis dan tepuk tangan."
Senja tertawa meski dia tidak ingin Aras melakukan sesuatu yang justru dapat membuatnya terjebak dalam masalah serius. Akan tetapi, Senja harus yakin sebab Aras pun demikian.
"Gue percaya lo, Ras."
"Lo harus percaya gue." Aras menepuk-nepuk dadanya dengan bangga.
Senja mengangguk pelan. Dia menatap senyum Aras lebih lama daripada yang pernah dia lakukan sebelumnya. Dia berharap, jika waktunya sudah tidak ada, perasaan Aras bisa ikut memudar. Dia merasakan tekanan di dadanya semakin kuat dan sakit. Mungkin Senja bisa langsung melupakan Aras, tetapi Aras? Tidak akan mudah untuk cowok itu.
"Ras, gue punya permintaan."
Aras berhenti tertawa. Dia langsung menatap Senja, tanda bahwa dia siap mendengarkan permintaan gadis itu.
"Gue mau lo belajar lupain gue, Ras. Gue mau lo terbiasa tanpa gue secepat yang lo bisa. Gue mau ... gue mau lo bahagia tanpa gue." Tak ada yang mampu mendeskripsikan bagaimana perasaannya ketika mengatakan itu semua. Hatinya hancur, Aras pun pasti merasakan hal serupa. "Lo berhak benci gue karena udah egois. Gue gak masalah."
Aras memegang pundak Senja, tak lupa memberikan senyum terbaiknya. "Lo mungkin hilang dari pandangan gue suatu saat nanti, Ja. Tapi, lo gak bakalan bisa hilangin perasaan gue ke lo. Gue gak akan pernah benci lo. Asal lo tau, ninggalin gue berarti kejahatan paling jahat yang pernah lo lakuin. Tapi, itu bukan kehendak gue. Jadi ... gue akan berusaha hidup seperti permintaan lo."
Senja langsung memeluk Aras erat-erat. Sahabat sekaligus pacarnya ini memang selalu mampu menenangkan hatinya.
***