Sudah hampir satu jam Alditya terfokus pada laptop mengerjakan sebuah tugas laporan yang baru saja diberikan oleh seorang dosen. Bukan hanya Alditya yang terus-menerus berkutat pada layar laptopnya. Tetapi sekelas pun juga telah disibukkan dengan tugas yang sama.
Alditya beberapa kali menarik napas, kemudian menghembuskannya. Terkadang merengangkan jari jemari yang terasa kaku. Ia meminum kopi dalam botol yang masih tersisa sedikit. Dan ia pun kembali asik mengetik mengerjakan tugas, sesekali pandangan matanya terfokus pada jurnal yang berada dipangkuan. Alditya semakin mengebu saat jumlah kata yang diharuskan sudah hampir terpenuhi.
"Anjay ... Kelar juga!" ucap Alditya yang merasa bangga dengan dirinya sendiri.
Alditya pun segera mengirimkan tugas yang sudah selesai itu ke email dosennya. Dan menyandarkan punggung di dinding sembari memainkan ponsel.
"Dit, lo udah kelar?" tanya Cerelia yang duduk tidak jauh dari tempatnya berada.
Alditya mengangguk. "Lo udah?" tanya Alditya. Cerelia pun juga membalas pertanyaan Alditya dalam isyarat yaitu gelengan kepala.
"Dit, bantuin gua dong ... Gua belum kelar ..." pinta Cerelia yang disertai rengekan seperti anak kecil.
Alditya meneguk saliva-nya, lalu menarik napas sejenak. Melihat raut wajah Cerelia yang saat itu terlihat memelas. Oh tidak, Alditya tidak bisa melihat raut wajah Cerelia yang seperti itu! Alditya terdiam sebentar, sedangkan Cerelia masih menatap Alditya dengan wajah yang semakin tidak bisa Alditya untuk menolak permintaan Cerelia.
"Oh, oke. Boleh sini gua bantu."
"Yey!" ucap Cerelia dengan wajah semringah.
Sorry ra. Aku kayaknya gak bisa pulang bareng. Masih ada tugas belum kelar. Kamu pulang sendiri bisa 'kan?
Usai mengirimkan pesan itu kepada Chayra. Alditya lalu meletakkan ponsel di atas lantai dengan data ponsel yang sengaja ia matikan.
Alditya tersenyum melihat Cerelia yang kini berjalan ke arahnya dan mengambil posisi duduk tepat di sampingnya.
"Dit, gua yang nomor ini belum. Lo gimana jawabnya?" tanya Cerelia sembari menatap lekat manik mata Alditya.
"O–" Alditya mendadak gugup menjawab pertanyaan Cerelia. Ia lemah kalau sudah ditatap dari jarak yang dekat oleh Cerelia.
"Bentar gua cek punya gua." dalih Alditya. Padahal ia sedang mengalihkan rasa gugup.
"Oke."
"Dit. Nanti abis ini lo bisa kan, anterin gua sebentar ke kostsannya Septi?" Cerelia kembali membuka suara. Alditya yang terfokus menatap layar laptop lantas menoleh ke arah Cerelia.
"Oke. Apa sih yang enggak buat lo. Ke mana pun gua anter!" tukas Alditya. Ia pun tersenyum pada Cerelia.
Sementara itu, Chayra yang sejak tadi menunggu pesan balasan dari Alditya mendadak kehilangan senyum merekahnya. Lagi, lagi dan lagi Alditya—yang katanya pacarnya membatalkan janji begitu saja. Dan ini sudah kesepuluh kalinya.
Oh, iya. Gak apa-apa, kak
Merasa waktu menunggu Alditya sia-sia. Chayra bergegas menutup buku-buku yang ia bawa. Dan pergi menuju lantai dua untuk mengambil tas. Chayra melangkah dengan kecewa bukan main. Punya pacar seperti tidak punya pacar. Entah mengapa sikap Alditya akhir-akhir ini berubah.
Apa dia punya pacar baru?
"Ish. Apa sih gua. Gak-gak." Chayra mengelengkan kepala dengan kedua tangan memukul-mukul kepala. Berusaha mengenyahkan pikiran negatif terkait Alditya.
Dari jarak yang cukup dekat ketika melewati lorong perpustakaan di mana berdampingan dengan fakultas komunikasi. Chayra mendengar suara itu suara yang tidak asing di telinganya. Ia pun melangkah memastikan apakah benar suara itu, suara Alditya?
Chayra terdiam sehabis memastikan apa yang menjadi dugaan dalam benaknya. Terdengar percakapan antara Alditya dengan Cerelia—yang katanya sahabat Alditya. Mereka terlihat sangat akrab dan tentunya seperti lebih dari teman. Terlihat jelas saat tangan Alditya dengan lembut mengusap pucuk kepala Cerelia dan cewek itu pun juga bersandar di bahu Alditya. Kedalaman pandangan Alditya saat melihat Cerelia tampak jelas bahwa ia menyukai dan mencintai Cerelia.
Chayra sedikit melangkah mundur menghilangkan jarak dengan Alditya. Tidak perlu menghampiri Alditya dan datang marah-marah padanya. Tidak perlu juga datang menanyakan alasan terakhir Alditya membatalkan janji pada Chayra. Tidak perlu, tidak perlu semua sudah cukup jelas terlihat.
Karena, Chayra bukan sosok perempuan yang suka melabrak dan marah-marah tidak jelas dikeramaian. Ia kecewa dan tentu marah, tapi dengan diam adalah cara terbaik untuk menenangkan diri.
Akhirnya tanpa bisa dicegah lagi air mata yang seakan memberontak untuk turun dari mata, membasahi pipi mulus Chayra. Chayra mengusap dengan punggung tangan dan segera berjalan menjauh dari Alditya. Mungkin luka itu sengaja Alditya torehkan padanya. Entah atas dasar apa.