Bulan
Tahun
Telah berganti
Tetapi tidak dengan perasaan di hatiku ini
Yang masih saja tertuju padamu
---
Minggu pagi yang cerah usai Tafila pergi berolahraga mengelilingi perumahan. Kini, langkah kaki Tafila sudah menuju tempat Bubur Ayam Aselole Pak Sandi berada. Letaknya berada di depan perumahan. Bubur yang paling enak sepanjang masa, yang pernah Tafila makan.
"Pak, buburnya satu ya. Kuahnya banyakin, sama sate ususnya tiga ya!"
"Siap, Mas!"
Tafila langsung duduk pada bangku yang sudah disediakan. Ia menyeka keringat yang telah bercucuran dengan handuk kecil yang ia bawa. Sembari menunggu bubur ayam yang dipesan. Tafila membuka tutup botol air mineral yang tersedia di atas meja. Ia menegak air mineral tersebut sampai habis setengah botol.
"Misi Mas, pesanannya." Pak Sandi meletakkan mangkuk bubur tepat di depan Tafila. Membuat Tafila tidak sabar untuk melahapnya.
"Makasih Pak."
"Sami-sami."
Pak Sandi kembali melayani pembeli. Sementara itu, Tafila langsung membuka tutup sambal dan meletakkan sambal sebanyak lima sendok pada buburnya. Dirasa cukup kemudian, Tafila langsung menyuap sendokkan pertama ke mulutnya.
Tafila adalah manusia penganut bubur tidak diaduk, baginya bubur tidak diaduk mempertahankan cita rasa yang sesungguhnya. Namun, berbeda lagi jika sedang memakan soto.
Saat sedang asik menikmati bubur ayamnya. Tiba-tiba suasana menjadi gaduh, entah ada apa. Yang jelas sekarang para pembeli yang sedang makan yang notabennya ibu-ibu komplek menjadi rusuh.
"Tolong... Tolong..."
"Eh itu, itu kenapa tuh?"
"Waaa!"
"Tolongin itu, tolongin!"
"Wah dijambret itu!" timpal Pak Sandi.
Tafila yang merasa menasaran pun keluar dari warung tenda biru milik Pak Sandi. Sambil mengusap kedua telinga yang terasa sakit akibat teriakan ibu-ibu. Dengan sigap Tafila menghampiri seorang wanita paruh baya yang wajahnya masih terlihat cantik.
"Tolong... Tolongin, saya tas saya dijambret!" Tafila tampak kebingungan.
"Cepetan kejar! Malah bengong aja!"
"Aduh, kumaha!"
Buru-buru Tafila mengejar jambret yang sebenarnya sudah jauh pergi dengan motor. Dan Tafila tidak tahu harus mengejar jambret itu kemana. Yang jelas ia harus menolong ibu yang terkena jambret tersebut.
Dengan langkah yang sudah lelah. Pada akhirnya Tafila memutuskan untuk menyerah. Dari sekian banyak orang yang melihat, mengapa tidak ada yang menolong serta membantu Tafila mengejar?
Tafila melangkah masuk ke dalam tenda. Ia menghampiri wanita yang baru saja ia tolong. Tetapi, raut wajah Tafila dibuat terkejut. Pasalnya wanita itu sekarang malah tampak terduduk santai sambil makan bubur.
'Tunggu. Ini gua lagi gak di prank, kan?' tanya Tafila dalam hati.
"Maaf Bu, saya gak bisa mengambil tas ibu."
Wanita itu menoleh dan menatap Tafila. Ia meletakkan sendoknya. Ia meminta Tafila untuk duduk pada bangku yang berada tepat di sampingnya. Bangku tersebut sebenarnya adalah tempat duduk Tafila sebelum mengejar jambret.
"Ga apa-apa, Nak."
Tafila menyernyit. Ia semakin bingung. "Lalu, bagaimana dengan tas ibu?"
"Tas bisa dibeli lagi. Tapi saya tetap aman kok!" Ia menunjukkan goodybag yang berisi berbagai macam sayuran dan buah-buahan.
"Untung saja. Sehabis saya belanja ternyata dompet saya, ada di goodybag ini!" ucap wanita tersebut semringah.
"Alhamdulillah, Bu kalau begitu," ucap Tafila. Yang sebenarnya sedikit kesal.
"Maaf ya, sudah repot-repot malah jadinya seperti ini!"
Tafila tersenyum tipis. "Iya gak apa-apa Bu. Saya turut senang kalau dompet ibu gak jadi hilang."
"Aduh Nak, baik banget kamu! Ya sudah sini duduk dulu. Saya traktir makan yuk!"
"E—" Tafila tampak kikuk. "Engga usah, Bu. Saya sudah pesan tadi. Ini pesanan saya." Tafila menujuk pada mangkuk yang terletak dihadapanya.
"Ya sudah. Kalau begitu nama kami siapa? Mana tahu, saya bisa jodohin kamu dengan anak saya!"
Mata Tafila langsung melotot mendengar ucapan tersebut. Ia mengeleng kuat berharap ibu-ibu yang Tafila tidak ketahui namanya itu mengerti.
"Bercanda, Nak. Santuy! Oh iya, nama kamu siapa Nak?"
"Nama saya Tafila, Bu."
"Saya Namira." Namira tersenyum ramah pada Tafila. Ia mengusap punggung Tafila dengan pelan.
'Tunggu. Namira? Mamanya Anin?'
Tafila memandang Namira. Ia ingin memastikan apakah benar dugaan yang ia lontarkan itu. Mata sipit, wajah lonjong, alis tebal, bibir tipis. Hal pertama yang Tafila ingat.
"Kenapa kamu, Nak?" Tafila yang menyadari Namira merasa tidak suka dipandangi bergegas mengeleng.
"Saya kira kamu mau bilang. Sudah hampir lima puluh tahun. Wajah tante masih seperti anak ABG, ya!" Tafila hanya diam, karena kikuk.
***
Tafila terdiam cukup lama. Ia memperhatikan pekarangan rumah yang baru saja dipijak. Sudah sangat lama sejak beberapa tahun lalu sejak ia masih kecil.
Tetapi, semesta sedang tidak ingin mempertemukan Tafila. Hari itu Tafila tidak bertemu dengan sosok Anin. Gadis yang masih selalu ia cari.
"Ayo masuk sini. Kok malah bengong aja?" Namira tersenyum ramah pada Tafila. Ia pun mempersilakan Tafila duduk di sofa ruang tamu.
"Sebentar ya. Tante buatin minum."
Tafila mengangguk. Mata Tafila menyusuri beberapa foto yang terpajang di ruang tamu. Kening Tafila mengernyit, saat memandang sebuah foto yang tampak tidak asing. Foto dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan.
Tafila pun bergeming sejenak. Lalu, ia mengambil ponsel dari dalam saku celananya. Membalik ponsel di mana terdapat foto polaroid yang sama dengan foto yang terpampang.
Anin?
Kemudian, kebahagiaan terpancar di diri Tafila. Semesta telah mempertemukannya pada seseorang yang selama ini ia cari. Dan orang tersebut ternyata berada sangat dekat dengan hidupnya.
"Ini, diminum dulu."
Tafila menolehkan kepala, ketika melihat Namira yang sudah datang dengan sebuah nampan berisi minuman dan beberapa camilan. Ia melangkah mundur dan kembali duduk.
"Tante beneran gak nyangka lho, kalau kamu itu Ila!" raut wajah antusias tercetak jelas pada Namira.
"Saya juga gak nyangka, Tante!"
"Ya udah yuk di minum dulu." Tafila mengangguk. Ia pun mengambil gelas yang berisi sirup berwarna orange, kemudian menyesapnya perlahan.
Setelah pertemuan tidak disengaja tersebut. Ternyata mengantarkan Tafila untuk bertemu dengan— Namira ibu dari teman masa kecilnya.
"Mama gimana kabarnya? Baikkan?"
"Alhamdulillah baik, Tante."
"Sekarang tinggal di mana?"
"Belakang komplek Tante."
"Oh iya? Wah kapan-kapan Tante boleh main ya!"
Namira menepuk-nepuk tangan seperti anak kecil. Sedangkan Tafila terkekeh melihat tingkah lucu Namira.
"Coba aja Anin gak pergi. Pasti dia senang banget bisa ketemu kamu!" tukas Namira.
'Bukan Anin aja yang senang. Tentunya Gua juga!' batin Tafila.
***
Chayra turun dari motor Alditya dan melepaskan helm yang ia kenakan. Sedangkan Alditya memarkirkan motornya disebuah parkiran yang sudah tersedia. Ia memasukkan helm Chayra ke dalam bagasi motornya sementara itu, helm yang ia kenakan dititipkan pada sebuah tempat penitipan helm.
"Yuk!" ajak Alditya yang langsung mengengam tangan Chayra. Chayra berusaha menarik tangannya dari Alditya, meski usahanya sia-sia.
"Jangan dilepas pegangan tangan aku. Tempat ini ramai nanti kalau kamu hilang, aku yang repot," ujar Alditya.
Chayra menghela napasnya. "Kita di mana?" tanya Chayra.
"Kita di tempat yang akan membuat kamu senang dan mengenal budaya Jakarta lebih jauh. Namanya festival rawa belong," ucap Alditya, sambil tersenyum tipis.
Chayra hanya menganggukkan kepalanya. Mereka pun berjalan masuk ke dalam sebuah festival mengenai kebudayaan betawi.
Alditya, cowo yang Chayra kenal semenjak ia mengikuti unit kegiatan mahasiswa di kampusnya. Alditya orang yang berhasil memikat hati Chayra dari dunia ke jombloan-nya. Dunia yang bagi sebagian orang-orang adalah dunia menyedihkan. Entah pemikat apa yang Alditya pakai, sehingga Chayra bisa dengan mudahnya menerima Alditya yang tergolong sebagai orang baru dihidupnya.
"Kalau ini silat kesenian khas betawi. Dan kalau yang berbalas pantun sambil silat tadi itu, palang pintu namanya. Tradisi palang pintu merupakan sebuah kesenian Betawi yang merupakan paduan antara silat dan juga pantun. Palang pintu hadir menjadi salah satu rangkaian dalam pernikahan orang Betawi," tutur Alditya yang saat itu mengenakan kaus putih polos dibalut jaket hoodie abu-abu serta celana levis.
Chayra menyisipkan rambut yang menghalangi pandangannya ke belakang telinga. Sekarang ia dan Alditya sedang asik menonton beberapa para pesilat yang notabennya terdiri dari anak-anak.
Matahari yang terik dan udara yang panas tidak mengurangi rasa penasaran Chayra. Ia sendiri pun tidak tahu mengapa. Padahal biasanya ia paling tidak suka dengan keramaian. Keramaian membuat energinya berkurang dan Chayra pun tidak tahu mengapa. Karena Alditya, Chayra berani keluar dari zona nyamannya untuk kedua kalinya.
"Kamu lapar ga, Ra? Kita ke stand makanan yuk? Ada banyak makanan khas betawi lho!" ungkap Alditya yang langsung menggandeng tangan Chayra menuju stand makanan.
Suasana festival rawa belong tampak ramai, Alditya semakin mengengam erat tangan Chayra. Alditya melihat senyum yang merekah di wajah Chayra, meskipun sekarang keringat sudah membasahi pelipis Chayra. Chayra masih terlihat asik menatap setiap stand-stand yang berdiri di festival ini. Bukan hanya stand makanan ada juga stand yang menjual kerajinan tangan khas betawi seperti mini atur ondel-ondel.
Sudah cukup lama mereka berjalan. Pada akhirnya pilihan mereka tertuju pada stand makanan kerak telur.
"Pak kerak telurnya satu ya," tutur Alditya.
"Siap!"
Setelah memesan Alditya menghampiri Chayra yang tengah duduk pada kursi panjang yang telah tersedia. Chayra menatap hilir mudik orang-orang yang asik menikmati festival rawa belong. Raut wajah mereka terpancar senang terutama anak-anak.
"Permisi ini pesanannya."
"Oh iya, terimakasih pak!"
"Ini buat kamu, Ra." Alditya memberikan kerak telur pada Chayra, dari sebuah piring anyaman dibalut kertas minyak, kerak telur disajikan.
Chayra melirik pesanan Alditya. "Buat kakak, mana?" ucap Alditya.
"Saya pesannya khusus buat kamu. Pasti belum pernahkan?"
Chayra tersenyum kikuk, sambil mengangguk. Kini, kedua pipi-nya mulai terasa panas. Chayra yakin warna pipi-nya sudah merah.
"Ya udah, dicoba." Chayra memotong kerak telur tersebut dengan sendok yang telah tersedia. Dan Chayra pun memakan kerak telor tersebut perlahan, menikmati setiap gigitan serta rasa.
"Hmmm ... Enak, Kak! Gurih dan legit!" ucap Chayra bersemangat.
Alditya pun tersenyum semringah.
Tidak terasa sudah lama mereka berada di festival rawa belong. Pendar-pendar sore di langit Jakarta pun mulai menampakkan sinarnya. Dan suasana di tempat ini pun juga semakin ramai.
Setelah Chayra menghabiskan kerak telur yang dipesankan khusus untuknya. Alditya mengajak Chayra pulang ke rumah. Jakarta, kota yang tidak seramah kota kelahirannya yaitu Yogyakarta. Kota yang sering disebut sebagai kota yang lebih kejam dari ibu tiri. Meskipun begitu, Jakarta telah mengubah hidupnya. Termasuk mengubah pola pikir Chayra bahwa tidak semua orang Jakarta itu tidak memiliki hati. Masih banyak orang baik yang saling mengerti satu dengan yang lain. Salah satunya bertemu dengan Alditya serta Tafila cowo baik yang semesta pertemukan dengan dirinya.