30.
Jemari tangan Tafila sejak tadi mengetuk-ngetuk pelan pada speedometer motornya. Sudah hampir setengah jam pandangan mata Tafila tertuju pada sebuah gerbang putih. Tepatnya pada rumah bercat abu-abu putih.
Tidak ada niatan sedikit pun untuk masuk bahkan menekan tombol bel yang tersedia.
Suasana serta penampilan rumah tersebut masih tampak sama. Hanya saja sudah diperbaiki beberapa bangunan yang terlihat rapuh dan dinding yang telah dicat ulang.
Tafila mengedarkan pandangannya. Kini, ia memandang pada rumah yang berada tepat di samping rumah berpagar putih. Tempat di mana ia dahulu pernah tinggal. Tafila tersenyum miris.
Empat tahun sudah ia pindah dari rumah yang sekarang sedang ia pandangi. Sesekali bibirnya mengecut. Wajah Tafila mengambarkan raut wajah kekecewaan yang mendalam. Bukan karena tidak bisa menempati kembali rumah yang sudah lama ia tinggali. Namun, lebih kepada kenangan yang telah terukir di rumah tersebut.Tafila menghembuskan napasnya.
Padahal dulu setiap hari Tafila selalu memandangi rumah berpagar putih yang berada tepat di samping rumahnya dahulu. Memandang jendela kamar yang terletak bersebarangan dengan kamarnya.
Kamarnya yang selalu ia lempari dengan bola-bola kertas atau pun cahaya dari lampu senter agar penghuni dari kamar seberang keluar dari kamar. Sudah lama sekali hal itu terjadi. Tepatnya saat Tafila masih menginjak bangku SD. Dan semua itu berakhir begitu saja saat dirinya meranjak naik ke kelas empat SD.
Pandangan mata Tafila lurus ke depan kembali menatap rumah berpagar putih. Mengingat kenangan manis yang pernah terukir antara dirinya dengan tetangga sebelahnya itu.
Maret 2011. Merupakan tanggal kesedihan bagi Tafila waktu ia kecil. Ia harus merasakan kesedihan ditinggal oleh teman terbaiknya kala itu.
Namanya Anin. Gadis cantik, berkulit kuning langsat. Wajahnya seperti orang Cina. Yang Tafila tau hanya itu saja. Tidak lebih bahkan kurang. Dia adalah tetangga sebelah Tafila dahulu.
Ketika Tafila masih SD kelas dua. Ia sangat suka memanjat pohon. Tetapi, saat itu kegemaran memanjat pohonya tidak dibarengi dengan pengetahuan cara turun dari pohon.
Alhasil Tafila kecil, yang saat itu sudah berada di atas pohon kebingungan bagaimana cara untuk turun dari pohon. Sedangkan suasana komplek saat itu sedang sepi-sepinya. Tidak ada orang dewasa yang lewat.
Terlebih Tafila dahulu sangat susah diatur. Sudah diminta oleh Bundanya untuk tidak memanjat pohon, ia malah memanjat pohon mangga yang berada di taman dekat komplek rumah.
Dengan mengumpulkan keberanian. Tafila turun dari pohon perlahan namun, perasaan takut bersemayam pada dirinya. Karena perasaan itu, ia pun menjadi tidak fokus dan kaki jenjangnya terpeleset. Ia jatuh telungkup.
"Aduh!" rintih Tafila. "Bunda .... Sakit ..."
Tafila menangis kencang kala itu. Celana, siku serta lutut Tafila terpentur aspal. Terdapat memar bahkan luka kecil yang mengeluarkan darah. Beruntungnya ia tidak mengalami hal yang lebih buruk. Tafila semakin menagis ketika ia tahu jika, lutut serta sikunya terluka.
"Bunda ..."
"Kamu ga apa-apa?"
Suara lembut nan halus terdengar di telinga Tafila. Ia mendongakkan kepala ingin tahu, siapa orang yang baru saja mengajaknya berbicara.
"Kamu gak apa-apa?" ulangnya. Tetapi, Tafila tak merespon. Ia kembali menangis.
"Sini, aku bantu kamu berdiri."
Tafila masih tidak merespon. Raut wajahnya kini, menatap anak sepantaran dengan dia. Matanya tidak berkedip barang sekedip pun. Seperti terpana.
"Kamu bidadari?" tanya Tafila.
"Hah?"
"Kamu bidadari?"
Anak kecil itu menatap Tafila bingung. Penampilannya begitu anggun saat itu. Terlebih dengan rambut panjang yang berkilau dan lembut.
"Bukan, aku bukan bidadari. Kenalin nama aku Anin!" ucap anak tersebut sambil tersenyum manis. Mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Oh. Nama aku ILA." Tafila menyambut tangan Anin dengan senang hati.
"Mau aku antar kamu pulang?" tanya Anin
Tafila hanya mengangguk. Anin memapah Tafila dengan kesusahan. Berjalan dengan langkah pelan hingga akhirnya mereka sampai di rumah Tafila.
"Assalamualaikum. Bunda, Ila pulang!" teriak Tafila memasuki rumah. Menuju dapur untuk Bertemu dengan Desi—bundanya.
"Eh, anak Bunda kenapa?"
Tafila menyeka air mata di pipi yang masih tersisa.
"Ila--" Tafila terlihat melirik langit-langit dapur. Ia bingung harus menjawab apa. Pasalnya, Bundanya pasti marah jika tahu ia terjatuh akibat menaiki pohon di dekat taman.
"Sayang? Ini kenapa kok baju kamu kotor dan luka-luka?"
Tafila bergeming. Desi hanya bisa tersenyum pada anak bungsunya itu. Ia tahu sebab anaknya itu bisa seperti ini. Namun, Desi memilih untuk bungkam tidak ingin memarahi.
"Ya sudah. Kamu duduk dulu di ruang tamu ya. Nanti Bunda ambil dulu kotak obatnya." Tafila mengangguk mengerti.
Desi mencari obat merah serta, beberapa plaster untuk mengobati serta menutupi luka yang tertoreh pada tubuh Tafila. Setelah mendapatkan apa yang ia mau. Desi segera menuju ruang tamu. Dengan segelas cokelat panas dan obat untuk Tafila.
"Sayang. Sini, Bunda obatin--" Desi tampak terkejut ketika mendapati seorang anak perempuan yang cantik sedang duduk menemani Tafila, anaknya.
"Lho, ini siapa Ila? Kamu nyulik anak siapa?" tanya Desi spontan.
Tafila dan Anin langsung melihat ke arah Desi yang tengah memegang segelas cokelat panas dan obat.
"Engga... Engga.. Ila engga nyulik Anin, Bunda. Anin yang anter Ila tadi. Benerkan Anin?" Tafila melirik Anin. Meminta untuk dibela. Anin menganggukkan kepala.
Desi tersenyum melihat tingkah lucu Tafila. Ia pun melangkah mendekati kedua anak itu. Duduk dihadapan mereka seraya tersenyum ramah pada Anin.
"Nama kamu siapa, nak?"
Anin tersenyum semringah. Ia menyalami tangan Desi. "Nama aku Anin, Tante."
"Anin, bener yang nolongin Ila?"
Desi mengusap lembut pucuk rambut Anin.
"Iya Tante. Tadi Ila jatuh dari pohon, terus nangis. Jadi, Anin tolongin," jawab Anin polos.
Mendengar hal tersebut dari Anin, Desi langsung menatap anak bungsunya itu. Yang kini terlihat takut. Tetapi, Desi tidak tega untuk marah. Sebab, Tafila itu anak cowok jadi ia harus berani dan tidak boleh dilarang. Namun, jika memang salah Desi baru menasihatinya.
Sejak kejadian itu. Tafila dan Anin menjadi saling mengenal kemudian dekat. Dan menjadi dua sahabat yang saling melengkapi satu dengan lain.
Tetapi, persahabatan mereka tidak berlangsung lama. Ketika beranjak kelas empat SD. Perasaan serta hati Tafila menjadi berubah, debar jantung menjadi lebih cepat. Dan saat itu, Tafila merasakan jatuh cinta untuk pertama kali. Yaitu pada sahabatnya sendiri, Anin.
Ketika bel sekolah sudah berbunyi. Tafila dan Anin selalu terburu-buru untuk cepat pulang. Bukan untuk pulang ke rumah. Melainkan menuju taman komplek untuk bermain ayunan dan beberapa permainan yang tersedia di sana.
Dan kala itu, setelah menonton adegan pada sinetron. Tafila memutuskan untuk menyatakan cinta pada Anin. Saat Anin asik bermain ayunan, Tafila pergi sebentar. Untuk membeli ice cream cone, pada sebuah warung yang letaknya tak jauh dari taman.
Anin menatap Tafila. Tafila tersenyum. Tafila menghampiri Anin yang sedang bermain ayunan. Ketika telah sampai. Tafila duduk di depan Anin. Menghentikan laju ayunan yang saat itu sedang berayun dengan pelan.
"Anin, aku suka sama kamu. Kamu mau gak jadi pacar aku?"
Anin menatap Tafila bingung, ia tak menjawab. Matanya menatap Tafila dari bawah sampai ujung kepala.
"Anin?"
"Anin, mau gak jadi pacar Ila?" ulang Tafila.
Anin tidak mengerti maksud serta perkataan Tafila. Ia tak tahu apa itu pacar. Dan lidahnya terasa kelu saat itu. Tidak tahu harus menjawab apa. Kepala Anin menunduk. Dan seketika Anin berdiri dari tempat duduknya.
Anin pergi meninggalkan meninggalkan Ila. Tanpa mengucapkan kata-kata. Seolah dibungkam seribu bahasa. Padahal saat itu, ada seorang anak cowok yang sedang menunggu jawaban dari dirinya. Tetapi, Anin pergi usai Tafila menyatakan perasaan padanya.
Terdengar konyol memang. Anak kecil kelas empat SD. Sudah berani mengenal cinta dan menyatakan perasaan. Seharusnya, anak kecil itu berpikir dua kali untuk sebuah keputusan besar yang sekarang dapat mengubah hidupnya. Yaitu kehilangan.
Berapa kali pun diingat. Nyatanya semesta masih belum mau mempertemukan Tafila dengan Anin. Memperbaiki segala hal yang terlihat klise. Menjalin kembali hubungan pertemanan mereka.
***
"Kamu mau maling?"
Tafila tampak terkejut tatkala seseorang menepuk pundak dengan keras. Tubuhnya hampir terjatuh jika, Tafila tidak sigap berpegangan pada kedua spion motor.
"Enggak Pak!" bela Tafila.
Bapak-bapak yang baru saja menepuk pundak Tafila terlihat terkesiap melihat Tafila.
"Kamu, Nak Ila kan?"
"Pak Hadi!"
Pak Hadi menatap Tafila dengan berbinar. Ia masih tampak terkejut dengan kehadiran Tafila dihadapanya. Manik mata Pak Hadi berkaca-kaca. Perlahan beliau memeluk tubuh Tafila sangat erat. Tafila membalas pelukan Pak Hadi.
"Ada apa ke sini?" tanya Pak Hadi usai memeluk tubuh Tafila.
"Gak apa apa Pak. Saya cuma kangen dengan rumah saya yang dulu," jawab Tafila parau. Pak Hadi mengusap bahu Tafila, ia tersenyum ramah.
"Bapak sekarang kerja menjadi satpam di sini?" Pak Hadi mengangguk kan kepala.
"Sejak saya sudah tidak bekerja di rumah Bapak kamu. Bapak melamar kerja di komplek ini sebagai satpam. Karena Bapak gak tahu harus ke mana."
Tafila mengangguk mengerti. Pak Hadi dahulu adalah tukang kebun yang dipekerjakan oleh Ayahnya. Namun, setelah Ayahnya bercerai dengan Mamanya. Pak Hadi tiba-tiba di rumahkan. Dan setelah itu, rumah tersebut di jual. Kini, Tafila tidak tahu di mana keberadaan Ayahnya itu. Terhitung sudah lima tahun dia menghilang tanpa kabar.
"Piye kabare, Mas Ila karo ibu?"
"Ha?Gimana Pak?" tanya Tafila yang tak mengerti apa yang dikatakan Pak Hadi.
"Eh--" Pak Hadi tertawa. "Maksud saya. Gimana kabarnya Mas Ila sama ibu?"
"Oh. Alhamdulillah saya baik Pak. Begitu pun ibu."
"Alhamdulillah. Sekarang tinggal di mana?"
"Di belakang komplek ini Pak."
"Oh iya?"
"Iya Pak. Kapan-kapan Bapak mampir ya!" Pak Hadi hanya menganggukkan kepalanya.
"Kamu sudah ketemu sama. Non Anin? Bapak dengar, Non Anin sekarang sudah kembali ke rumahnya."
Tafila tak dapat berkata-kata kala mendengar ucapan Pak Hadi. Ia tak tahu harus bagaimana. Apakah harus senang atau sedih. Tetapi, dalam benaknya terpikir. Mengapa ia harus bersedih? Mungkin ini jawaban dari doa-doa yang selama ini ia pinta.
Tafila tersenyum tipis. Memperhatikan rumah berpagar putih tersebut. Jika benar Anin sudah kembali mengapa hingga saat ini, ia tak pernah bertemu. Padahal ia setiap malam selalu memandangi rumah Anin. Selama beberapa saat Tafila memandangi rumah Anin. Pak Hadi pun kemudian, berpamitan dengan Tafila.
"Bapak pamit ya Mas Ila. Mau keliling komplek dulu."
"Eh--" Tafila terbangun dari lamunan ketika Pak Hadi kembali menepuk pundaknya.
"Iya Pak. Silakan."
Pak Hadi mengangguk. Dan kemudian pergi berlalu. Sedangkan Tafila kembali asik menatap rumah sahabat kecilnya itu.