Usai mengantar Chayra pulang ke rumah. Alditya pun langsung menuju ke dalam kamar mandi, untuk membersihkan diri. Tubuhnya terasa lengket dan kepenuh keringat.
Dengan kaus putih polos dan celana tidur kini, Alditya sudah kembali merasa segar. Tubuhnya menjadi lebih bersih dan wangi setelah mandi. Alditya meraih ponsel yang ia letakkan di atas tempat tidur. Satu alis terangkat sebelah.
Berita mengenai Chayra masih saja menjadi perbincangan yang sangat menarik dalam grup kelasnya. Tentang Chayra yang dilabrak oleh Cerelia. Dan sekarang kata troublemaker tersemat pada diri Chayra.
Pikiran Alditya menjadi melayang-layang. Kalau saja saat itu, ia tidak izin ke toilet ketika mengajak Cerelia makan bersama. Mungkin kejadiannya tidak seperti ini. Ia bisa dengan mudah mencegah Cerelia. Tapi takdir berkata lain.
Cerelia mengambil kesempatan yang sangat apik. Ia melabrak Chayra selagi Alditya sedang berada di toilet. Sebenarnya Alditya tahu juga jika, mantan Cerelia yang Alditya tidak tahu siapa namanya itu terlihat sedang makan di tempat yang sama dengan mereka. Dan terlihat Cerelia selalu memperhatikan mereka.
Kalau sudah begini, Alditya menjadi memikirkan Chayra. Alditya yakin pasti saat ini perasaan cewek itu sedang tidak keruan. Merasa iba pada akhirnya Alditya memberanikan diri untuk bertanya bagaimana keadaan Chayra.
Chayra LPM
Hei? Lagi apa?
Sebuah pesan terkirim pada Chayra melalui aplikasi Whatsapp. Alditya terus menatap layar ponselnya. Sudah terkirim, namun belum ada jawaban dari sang penerima pesan.
Lo, baik-baik aja kan?
Sebuah pesan kembali Alditya kirim kepada Chayra. Lantaran tidak kunjung ada balasan pesan untuk dirinya. Alditya menarik napas pasrah.
Mungkin, lagi gak mau diganggu kali ya?
Alditya tersenyum kecut. Kini, ia pun beralih menyakan musik dari playlist musik yang tersedia di dalam ponsel pintar miliknya. Membesarkan volume musik dan dentuman alunan musik terdengar sangat kencang. Tetapi, hal tersebut sudah biasa Alditya lakukan. Lantaran kamar miliknya sudah ia setting agar kedap suara. Supaya ketika ia mendengarkan musik tidak mengganggu orang rumah.
Disis lain, Chayra tengah asik mencatat materi mata kuliah Geografi Regional Indonesia. Sambil menonton YouTube mengenai, bagaimana cara membuat catatan yang aesthetic.
Bagi Chayra membuat catatan merupakan sebuah keharusan. Sebab, apabila waktu ujian tiba. Otak Chayra tidak bisa menerima pelajaran jika materi yang telah disampaikan oleh Dosen hanya ia baca melalui ponsel. Tidak dicatat dengan rapi, minimal dalam bentuk printout.
Pandangan serta pergerakan tangan Chayra terhenti saat video YouTube yang sedang ia tonton terhenti sejenak. Tampil sebuah notifikasi dari Alditya. Kening Chayra sedikit berkerut, ketika ia membaca sekilas sebuah pesan dari Alditya.
Hai? Lagi apa?
Lo, baik-baik aja kan?
Chayra terdiam sejenak. Ia memilih untuk mengabaikan pesan yang ia terima. Perasaannya mendadak menjadi sensitif. Chayra jadi teringat tentang kejadian tadi siang. Sekarang semua teman sekelas Chayra membicarakan dirinya. Bahkan ada beberapa temannya yang terang-terangan personal chat dengan Chayra, menanyakan kebenaran berita tersebut.
Chayra yang jengah dan tidak suka ditanya-tanya pun, dengan terpaksa memblokir nomor mereka. Tidak hanya itu, ia juga membisukan grup kelasnya. Saat ini Chayra ingin menenangkan pikiran yang sangat carut-marut ini.
Tanpa bisa mengendalikan diri, Chayra mengeluarkan bulir air mata dari pelupuk matanya. Ia menangis sejadi-jadinya. Sungguh, Chayra sendiri tidak mengerti mengapa dunianya tampak sangat buruk hari ini. Dimulai dari presentasi yang membuat Chayra jengah, kemudian perlakuan Dixita dan sekarang ia dilabrak oleh orang yang tidak ia ketahui siapa.
Dengan kedua tangan dilipat di atas meja belajar. Chayra menengelamkan kepalanya. Menagis, melepaskan rasa sedih, kesal, dan marah yang ia rasakan.
Kata sebagian orang menangis itu wujud orang lemah. Namun, bagi Chayra hal itu tidak benar sama sekali. Kalau memang harus dilepaskan dengan cara menangis mengapa tidak? Yang terpenting jangan pernah menangis di depan orang yang telah menghina kita. Maka, secara langsung dia akan menilai bahwa, kita adalah orang lemah. Ya, meskipun menagis tidak menyelesaikan masalah.
Ketika Chayra sedang asik menangis. Ponsel yang ia letakkan di samping tubuhnya berdering. Chayra melirik sedikit karena merasa penasaran. Pada layar ponselnya tertampillah nama Kak Alditya.
Kalimat dari Alditya tiba-tiba saja muncul di kepala Chayra dan tidak ingin hilang bahkan sekarang berputar-putar dan berdenging di gendang telinganya.
'Kalau lo butuh sandaran dan tempat curhat. Jangan segan cerita sama gua ya.'
Chayra menyandarkan tubuh pada kursi meja belajar. Meraih ponsel yang sejak tadi penuh dengan notifikasi. Jemari Chayra mengklik nama Kak Alditya. Membaca chat yang sebenarnya sudah ia baca melalui bar notifikasi ponselnya.
Dari sekian banyak chat yang Chayra terima hanya Alditya yang menanyakan keadaan dirinya. Sisanya menanyakan kabar tentang kebenaran berita tersebut. Ternyata teman-teman dekat Chayra sendiri.
I am ok. Kak
Chayra menghembuskan napas usai membalas pesan Alditya. Tak lama berselang Alditya membalas pesan Chayra.
Benaran?
Yap, benaran Kak.
Beberapa menit setelah membalas pesan dari Alditya. Chayra memutuskan untuk menonaktifkan ponsel. Berusaha mencari ketenangan untuk pikiran serta hati.
***
"Chayra!"
Semua orang yang berada di dalam kelas langsung melihat Chayra dengan tatapan penuh keterjutan. Panggilan Nindya sukses membuat Chayra yang baru saja masuk ke dalam kelas menjadi pusat perhatian. Beberapa di antaranya dengan jelas berbisik kepada teman di sampingnya.
Chayra meneguk salivanya. Ia pun membalikkan tubuh. Berniat untuk kembali keluar kelas dan tidak jadi mengikuti kelas Geografi Regional Indonesia. Namun, semesta tidak mendukung niatan Chayra. Dosen Geografi Regional Indonesia mendadak sudah berdiri di belakang tubuhnya. Hal tersebut membuat Chayra terkejut.
"Hayo duduk."
Chayra tersenyum tidak enak pada Dosennya itu, seraya menganggukkan kepala. Dengan perasaan malas Chayra melangkah menuju Nindya, yang kebetulan tepat di samping Nindya duduk masih terdapat tempat duduk yang kosong.
"Baik. Sebelum saya mulai pembelajaran. Saya ingin kalian berkumpul dengan kelompok masing-masing. Sudah dibuatkan kelompoknya?" tanya Bu Amira.
Mahasiswa saling menatap satu dengan yang lainnya.
"Sudah Bu!" seru mereka serentak.
"Baik. Saya minta kalian kumpul dengan kelompok masing-masing. Untuk membahas jurnal yang akan saya berikan."
"Kelompok satu .... Kelompok satu di depan ya."
"Kelompok tiga di belakang ya."
Suara kegaduhan mulai terdengar. Beberapa mahasiswa saling mencari anggota kelompoknya. Dan hari ini Chayra cukup beruntung. Ia tak menemukan Tafila
"Ra."
Sesilia teman sekelas Chayra yang juga merupakan teman satu kelompok Chayra. Membuka suara ditengah kehingan mengerjakan ulasan mengenai jurnal.
"Iya, kenapa?"
"Berita tentang lo itu--" Sesilia terlihat merangkai kata untuk bertanya pada Chayra. Karena, takut salah berbicara. "Benar?"
Chayra menghentikan kegiatan menulis. Ujung pulpen yang hampir Chayra gunakan untuk menulis, ia letakkan di atas lantai. Nindya, Alya, Valya, Nikita, Sesilia, Gandi, dan Arsel teman sekelompok Chayra. Mendadak mengalihkan pandangan mata kepada Chayra. Seolah pikiran serta pertanyaan mereka terwakilkan oleh Sesilia.
"Menurut lo, gimana?" jawab Chayra sepelan mungkin.
"Ya ... Menurut gua sih. Engga mungkin sih. Gua tau lo gak banyak gaya. Jadi, ya gak mungkin sih." Mata Chayra mendadak berbinar. Ini yang dia mau. Jawaban tepat!
"Tapi benaran lo gak kaya gitu, Ra?"
Chayra memutar bola mata, memilih kembali menuliskan ulasan untuk jurnal. Tugas yang diberikan oleh Bu Amira.
Ketika matakuliah Geografi Regional Indonesia selesai. Chayra memutuskan untuk melangkahkan kaki keluar lebih cepat tentunya, setelah Bu Amira keluar dari kelas. Ia memilih menghindar dari berbagai macam pertanyaan yang itu-itu saja yang berasal dari teman sekelasnya. Sungguh memuakkan tentunya. Pikiran terasa dihujam berbagai macam belati.
Dengan tas ransel yang telah Chayra kenakan di punggung. Chayra memilih berjalan menaiki tangga. Berusaha sebisa mungkin tidak bertemu dengan teman sekelas. Yang rata-rata gemar menggunakan lift untuk menuju lantai dasar. Memang pilihan tepat mengunakan lift sebab, jurusan yang Chayra pilih memiliki kelas yang terletak di lantai tujuh.
'Gak apa-apa. Hitung-hitung olahraga.' hibur Chayra pada diri sendiri.
"Hai, Chayra!"
Perhatian Chayra teralihkan saat seseorang memanggil namanya. Chayra mendapati Tafila yang sudah menyamakan langkah kaki dengan dirinya. Ia tersenyum simpul dan terlihat manis. Terlebih ia sedang mengenakan setelah jas berwarna hitam, membuat penampilannya menjadi lebih menarik. Ekor mata Chayra melirik sekilas pada Tafila, tanpa sadar Chayra memberikan senyuman tipis pada Tafila.
"Hei?" ucap Tafila.
Ketika Chayra berusaha menjauh supaya terhindar dari berbagai macam pertanyaan yang teman-temannya lontarkan untuknya. Ia malah dipertemukan oleh sosok laki-laki yang membuatnya dihujami berbagai macam pertanyaan. Sosok laki-laki yang Chayra usahakan untuk dihindari. Semesta sedang tidak bisa diajak bekerja sama ternyata.
"Ra. Lo kenapa sih, menjauh dari gua?"
Hah? Kenapa? Apa dia tidak ingat perlakuan mantan pacarnya itu?
Tafila menghadang langkah Chayra dengan tubuh tegapnya. Chayra menghentikan langkah. Kemudian, memilih jalan lain. Namun, tetap saja perlakuan Tafila sama. Chayra mengelengkan kepala.
"Ra, gua minta maaf!" seru Tafila memegang kedua lengan Chayra.
Beruntung saat itu keadaan kampus sedang sepi. Tidak ada mahasiswa yang melihat mereka.
Chayra berdecak. Ia menepis tangan Tafila. Tanpa menjawab permintaan maaf Tafila. Chayra mengambil langkah lebar untuk dengan segera pergi dari hadapan Tafila.
Chayra menghela napas ketika sudah berhasil pergi. Sesekali Chayra melihat ke belakang, memastikan apakah Tafila masih kekeh mengikuti dirinya atau tidak.
"Chayra!"
"Ra!"
Degup jantung Chayra mendadak berdetak cepat, melihat Dixita menghampirinya. Baru saja ia berhasil menghindar dari Tafila, ia harus dipertemukan oleh orang lain. Yang sama menyebalkan dengan Tafila.
Semakin dekat Dixita melangkah mendekati Chayra. Langkah Chayra semakin berjalan mundur. Dan pada akhirnya mengambil langkah seribu, berlari menghindar dari Dixita. Pengambilan keputusan yang tepat, jika tidak Chayra akan kembali dipermalukan oleh Dixita.
Napas Chayra terengah-engah. Kini, ia sudah berada di perpustakaan. Tempat yang cocok untuk beristirahat dengan suasana hening dan sejuk. Namun, mau di mana pun Chayra menghindar, ia akan tetap bertemu dengan tatapan serta pertanyaan.
Eh, dia ya orangnya?
Beneran gak si. Dia kayak gitu?
***
NOTED :
LPM = Lingkar Pena Mahasiswa