Antares berdiri di depan gerbang neraka. Ia menghadap sebuah sungai yang semakin mengering ketika sudah mendekati gerbang, aliran air ini yang mengantarkan jiwa-jiwa manusia ke alam bawah. Satu per satu jiwa manusia muncul dengan raut tidak menyenangkan, ditemani oleh iblis yang terus mengawasinya. Perjalanan mereka pasti sangat jauh dan suram, lalu semakin menderita ketika berada di dalam neraka nanti.
“Antares!”
Akhirnya, muncul juga sosok yang ditunggu Antares sejak tadi. Pemilik suara itu adalah Regulus, keduanya mempunyai takdir kelahiran yang sama. Mereka berdua bagian dari nephilim; separuh malaikat dan manusia. Kehadiran mereka di dunia adalah untuk membantu Lucifer—salah satu iblis terkuat—untuk menjerumuskan manusia ke dalam neraka.
“Kau berbicara cukup lama dengan Lucifer,” kata Antares, lalu menepis tangan Regulus yang mencoba merangkulnya.
“Aw.” Regulus pura-pura terluka dengan penolakkan Antares. Hanya sebentar, sebelum ia kembali tersenyum jail. “Ya. Ada sesuatu yang kami diskusikan.”
“Apa itu?” tanya Antares.
“Sebaiknya kita jangan mengobrol di sini,” kata Regulus, mengalihkan ucapan Antares. Baru saja ada sosok iblis kelas rendah yang hendak mengantarkan seorang jiwa berpaling menatap ke arah mereka. “Ayo kita pergi.”
“Oke. Kau benar.” Antares setuju.
Antares dan Regulus pun segera pergi dari gerbang neraka untuk kembali ke bumi. Sebagai nephilim, mereka bisa melakukan teleportasi ke berbagai tempat di seluruh dunia. Itu memudahkan mereka untuk melaksanakan setiap perintah yang diberi oleh Lucifer. Mereka melakukan perjalanan selama beberapa sekon, lalu berhenti di sebuah kota.
“Ini Yokohama?” ucap Regulus ketika mengikuti Antares berhenti di gang sempit. Tempat yang jarang dilewati orang sehingga kehadiran mereka yang tiba-tiba tidak akan mengejutkan siapa pun.
“Ya,” sahut Antares. Ia berjalan keluar dari gang itu.
Regulus terburu-buru mengikuti Antares lagi. “Kenapa di sini?”
Antares tidak menjawab. Ia terus melangkah menuju bar bernama Canetis yang terkadang ia kunjungi saat senggang. Jaraknya cukup dekat untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Sambil mengabaikan ocehan Regulus yang lebih suka datang ke London, Antares terus berpikir kenapa ia bisa tiba di sini.
Tadi, mendadak Antares memikirkan Nathalie saat melakukan teleportasi. Mungkin itulah kenapa ia terlempar ke Yokohama meskipun ia tidak membayangkan sebuah tempat. Seharusnya Nathalie berada tidak jauh dari sini … dugaan itu membuat Antares merasa takut.
“Bukankah sebaiknya kita teleportasi lagi?” oceh Regulus.
“Terlambat.” Antares mendorong pintu bar Canetis, lalu melangkah ke dalam.
Canetis terlihat damai seperti biasanya. Bar ini cenderung terasa sepi dengan musik jazz yang lembut, interior kayu yang rumahan, serta para tamu yang jarang berisik. Antares memesan red wine dan Regulus memilih mojito. Lalu, keduanya menepati tempat duduk di sudut terjauh dalam bar seusai membayar pesanan.
Setelah seorang bartender mengantarkan minuman mereka, Antares langsung memulai pembicaraan. “Jadi, Lucifer mendiskusikan apa denganmu?”
“Dia memintaku membuat keturunan.”
Jawaban Regulus hampir membuat Antares tersedak oleh minumannya sendiri. “Apa?”
“Yah, kau tahu …” Regulus menjeda ucapannya. Telunjuk pria itu memutari bibir gelas berisi mojito yang dingin, mempertimbangkan kata-kata. “Lucifer ingin kelahiran anak nephilim baru. Aku perlu mencumbu dengan sembarang wanita nephilim, siapa saja untuk menghasilkan keturunan.”
“Kau tidak bisa melakukannya. Itu sama dengan mempermainkan perempuan,” ucap Antares. Ia menggeser gelas wine-nya, lalu melipat kedua tangan di atas meja—gestur bahwa ia sedang serius sekarang. “Kau menolak permintaan itu, kan?”
“Tentu saja aku terima,” kata Regulus kesal. “Kau kira kita bisa menolak perintah Lucifer?”
“Sebaiknya kau melakukan itu dengan seseorang yang kau cintai, Regulus,” balas Antares.
Regulus tertawa datar, sesuatu yang jarang pria itu lakukan. “Itulah mengapa Lucifer tidak memintanya kepadamu, tapi aku. Kau yakin terhadap cinta sedangkan nephilim seperti kita tak berhak atas cinta. Kita ini terkutuk, Antares.”
Tengkuk Antares terasa dingin. Bukan hanya karena ucapan Regulus yang mengatakan bahwa mereka terkutuk, tetapi juga karena seorang perempuan yang baru saja masuk ke dalam bar Canetis. Nathalie yang terlihat ringkih sedang dirangkul oleh pria pemilik bar. Antares tahu pria itu, ia selalu melihatnya setiap kali berkunjung ke Canetis.
“Siapkan air panas dan seragam cadangan. Aku akan menjelaskannya nanti,” kata pria pemilik bar kepada sang bartender. Lalu ia menoleh ke arah Nathalie, membimbing perempuan itu ke bagian belakang—ruangan khusus karyawan.
“Terima kasih,” cicit Nathalie.
Antares masih melihat ke arah mereka sampai keduanya menghilang di balik pintu ruang karyawan. Lalu, ia melamun.
“Antares.”
“….”
“Ares!”
Antares mengerjapkan kedua mata, terkejut karena seruan Regulus. “Ada apa?”
“Aku yang seharusnya bertanya,” kata Regulus. “Siapa perempuan itu? Sepertinya kau kenal.”
“Ya. Aku pernah bertemu dengannya sekali,” jawab Antares, berusaha untuk tidak menjelaskannya dengan detail.
“Kau tertarik padanya?”
Antares tidak menjawab. Ia mengambil gelasnya, lalu menegak wine dengan perlahan. Sengaja berlama-lama untuk mengabaikan Regulus. Lagipula, ia tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu.
“Oi.” Regulus mengetuk-ketuk telunjuknya pada meja. “Kau jatuh cinta padanya, bukan?”
“Rahasia.” Antares memberikan jawaban tidak jelas.
“Apa pun bentuk perasaanmu kepadanya, kau harus berhati-hati,” kata Regulus, suaranya memelan. “Mungkin itu cinta, Antares.”
Antares berharap dugaan Regulus salah. Antares tahu ia tertarik kepada Nathalie, tetapi cinta … ia tidak menginginkannya. Ia percaya sekaligus takut terhadap cinta. Bentuk perasaan kuat seperti itu tampak berbahaya.
Selama beberapa waktu, hanya ada hening di antara mereka. Lalu, Regulus pun kembali berucap, “Oh, perempuan itu sudah keluar lagi.”
Antares sudah tahu tanpa perlu dikatakan Regulus. Sejak tadi diam-diam ia menunggu sampai Nathalie keluar dari ruang karyawan. Sekarang, perempuan itu telah mengenakan seragam bartender yang kebesaran untuknya. Nathalie juga tampak bersih dan segar setelah membersihkan diri.
“Kau tidak ingin menyapanya?” tanya Regulus.
“Tidak,” jawab Antares cepat.
Setelah itu, si pria pemilik bar muncul dan menemui Nathalie. Mereka berbincang dan Nathalie terlihat riang. Mereka duduk berdampingan di kursi tinggi dan langsung menghadap lemari yang berisi barisan botol alkohol.
Mereka akan jatuh cinta, pikir Antares. Hal itu membuatnya sedikit nyeri.
“Ayo pergi, Re,” jawab Antares. Mendadak ia berdiri kendati minumannya belum habis.
“Wow, tenanglah.” Regulus ikut berdiri. “Obrolan kita belum selesai.”
“Apa lagi yang perlu kita bicarakan?” ucap Antares. “Kau sudah menerima titah baru Lucifer, lalu kau akan memilih seorang wanita. Tidak ada lagi yang perlu didiskusikan.”
Regulus segera menyusul Antares yang berjalan ke luar bar. “Aku bahkan lupa kalau kita membicarakan itu sebelumnya.”
“Semoga kau beruntung,” kata Antares datar.
“Kau tahu apa yang aku pikirkan sekarang?” tanya Regulus, lalu menjajari langkah Antares yang tergesa. “Mungkin seharusnya kau yang menerima titah Lucifer. Maka, kau akan mempunyai alasan untuk mendekati perempuan itu.”
“Jangan.” Antares menghentikan langkah untuk menatap Regulus dengan tajam. “Kau sendiri yang mengatakan bahwa kita tidak berhak. Ia juga bukan nephilim seperti kita.”
“Aku tahu, Antares. Aku yang berkata seperti itu. Hanya saja, aku mengira kamu bisa mengatasinya.”
“Berhenti mengatakan berbagai perkiraan tak berdasar.”
Kemudian, Antares melihat Regulus tersenyum sedih. “Baiklah. Aku sungguh berharap kita bisa menjalani kehidupan normal sebagai manusia setelah percakapan kita malam ini.”
“Aku juga,” kata Antares lirih. “Aku juga.”