Antares menelusuri tanah darah. Perperangan antara dua negara memberikan begitu banyak korban jiwa, baik tentara ataupun warga biasa. Ada banyak potongan tubuh di mana-mana, darahnya masih belum terhapus oleh gerimis yang turun sejak tadi. Pakaian Antares yang dominan oleh warna putih susu dan dibuat dari bulu lembut terlihat kontras di tengah tanah yang menyedihkan.
Jiwa-jiwa orang mati melihatnya, belum sepenuhnya pergi dari dunia. Antares balas melihat mereka, lalu menilai kemurnian jiwa mereka secara otomatis—suatu hal yang instan, semudah ia mengedipkan mata. Ada beberapa yang begitu buruk, siap terlempar di neraka. Lucifer pasti menyukai ini. Antares akan mengirimkannya.
“Hei, kau.” Antares mendekati seorang jiwa anak lelaki bernama Jack—tubuhnya sudah habis tak tersisa karena ledakan bom. Semasa hidupnya, Jack selalu terjerumus dosa; membunuh untuk bersenang-senang, mabuk-mabukan seharian, pernah juga memperkosa seorang gadis. Jack ikut perang karena orangtuanya sudah tak sanggup mengawasinya lagi, lalu terbunuh oleh bom tidak terduga di sini. Wah, orangtuanya pasti bergembira karena kabar kematian Jack nanti.
Jack yang sudah terlihat tak nyata pun bertanya, “Kau bisa melihatku?”
Antares hanya tersenyum samar. “Ya.”
“Aku sudah mati,” kata Jack.
“Itu benar,” sahut Antares. “Oleh karena itu, aku menjemputmu.”
Jack tertawa. “Haha, yang benar saja.”
“Aku serius, Bocah,” kata Antares. Ia bersiul pelan untuk mengejek Jack. “Bersiaplah karena perjalananmu tidak akan menyenangkan.”
Sebelum Jack sempat memberikan protes, Antares menyentuh jiwa anak lelaki itu dengan jemari. Jika ada manusia yang melihatnya—Antares hanya tampak seperti melayangkan tangan di udara kosong. Kemudian, jiwa Jack yang telah transparan seperti hantu pun memudar seperti asap dan menghilang dari dunia.
Hanya dengan satu sentuhan kecil itu, Antares telah mengirimkan jiwa Jack ke dalam kegelapan dunia bawah. Selanjutnya, para iblis dunia bawah yang akan mengantar jiwa-jiwa berdosa pilihan Antares masuk ke neraka. Ini adalah salah satu tugas Antares, makna kehidupannya, takdir yang tak bisa ia ubah.
Antares melanjutkan pekerjaannya. Di tempat seusai perang seperti ini, selalu ada banyak kematian dan jiwa-jiwa yang cenderung hitam karena telah membunuh sesama. Setelah Jack, ada banyak jiwa lain untuk dikirimkan ke dunia bawah. Antares juga menyisakan jiwa-jiwa murni atau masih bisa diselamatkan supaya dijemput oleh malaikat agung nanti, lagipula ia tidak bisa mengirimkan jiwa yang bersih ke neraka.
Setelah Antares memilih hingga ratusan jiwa untuk dibawa ke neraka, ia berjalan menuju tenda pengungsian yang didirikan secara mendadak. Tempat itu ramai oleh para dokter dan perawat, berusaha menyelamatkan setiap korban yang masih mempunyai kemungkinan untuk hidup.
Selama dua menit Antares terdiam, memandangi keributan itu dari tempatnya berdiri yang berjarak beberapa meter. Ia baru memutuskan untuk pergi ketika hujan mulai semakin deras dan menyulitkan aksi penyelamatan darurat itu.
Kemudian, Antares melihatnya.
Seorang perempuan yang berdiri di bawah hujan, seluruh tubuhnya dibalut perban karena luka-luka, rambut panjangnya yang kuyup dan matanya yang lebar sewarna cokelat gelap. Perempuan itu terlihat lusuh dan tidak menarik secara visual, tetapi Antares justru mendekatinya.
“Hei. Kau pasti masih sakit,” kata Antares pelan. “Kembalilah ke dalam tenda darurat.”
Perempuan itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Antares dengan netra cokelatnya yang nyaris tampak hampa, lalu berucap dengan suara yang menyerupai bisikan, “Di sana terlalu bau obat dan darah. Aku muak menciumnya.”
“Siapa namamu?” tanya Antares. Ia hanya bisa melihat kehidupan jiwa orang mati, bukan yang hidup. Ia masih perlu berinteraksi secara normal dengan sesama manusia untuk mengetahui sesuatu.
“Nathalie,” jawab perempuan itu.
“Oke, Nath,” kata Antares, lalu kembali maju—selangkah lebih dekat. “Aku Antares. Ulurkanlah tanganmu.”
“Kenapa?” tanya Nathalie ragu, tetapi ia tetap menuruti ucapan Antares.
“Aku akan menyembuhkanmu,” jawab Antares seraya menangkup telapak tangan Nathalie yang dingin dengan kedua tangan. “Percayalah kepadaku.”
Antares memfokuskan pikiran, mengalirkan energinya untuk Nathalie. Ini adalah sebuah kemampuannya yang lain; memulihkan tubuh yang sakit. Antares bisa melihat pendar-pendar cahaya yang berpindah dari dirinya kepada Nathalie, lalu memulihkan luka-luka perempuan itu. Kebanyakan luka Nathalie adalah goresan panjang dan dalam sehingga mengeluarkan banyak darah yang masih menembus perban. Sekarang Antares mengerti mengapa tubuh perempuan itu hampir seluruhnya tertutupi perban, tetapi selain itu tidak ada luka yang fatal.
“Kamu…” kata Nathalie perlahan. Lalu ia terdiam lama, merasakan luka-lukanya yang mulai sembuh secara tidak masuk akal. “Apakah kamu malaikat?”
Antares berhenti, ia tertegun. Ucapan itu tidak sepenuhnya salah, sebab separuh dirinya adalah malaikat. Entah bagaimana Nathalie bisa menebak dengan nyaris tepat, Antares tidak berani bertanya. Mungkin karena kemampuan penyembuhannya atau sikap pedulinya yang mendadak muncul ke permukaan saat menatap Nathalie.
“Tentu saja bukan,” jawab Antares, segera menyangkal. Antares tidak pernah ingin menjelaskan identitasnya yang rumit, sebisa mungkin ia selalu tampil selayaknya manusia biasa. “Tidak perlu kau pikirkan.”
“Di sini ada banyak manusia lain yang perlu bantuan daripada aku,” kata Nathalie, mengalihkan topik pembicaraan. Perempuan itu menatap Antares, jelas terlihat kebingungan. “Apakah kau mau membantu mereka semua?”
“Tidak,” jawab Antares atas pertanyaan itu. “Banyak dari mereka yang memang harus mati di sini. Jika aku menyembuhkan mereka, itu berarti melawan takdir yang telah ditentukan.”
Manusia sudah seharusnya mati sesuai waktu yang ditentukan untuk mereka. Mendahului atau mencegah takdir itu sendiri hanya akan membawa celaka yang lebih besar. Seperti kematian Antares nanti … yang entah kapan akan terjadi.
Nathalie masih menatap Antares dengan lekat, seolah bertanya, lantas kenapa aku?
Antares tidak perlu mempunyai kemampuan untuk membaca pikiran manusia supaya bisa menebak maksud dari ekspresi perempuan yang telah ia bantu. Lalu, Antares tersenyum samar.
“Kau harus sehat jika ingin berada di luar tenda lebih lama,” tutur Antares lembut. “Hujan masih turun, Nath. Masuklah ketika kau sudah bosan.”
“Bisakah kau menemaniku?” tanya Nathalie.
Sebuah permintaan. Namun, Antares telah memberikan terlalu banyak hari ini.
“Aku harus pergi,” jawab Antares. Itu bukan hanya karena Antares ingin menjauh dari seorang manusia sebelum ia terikat semakin erat, tetapi ia memang harus berkunjung ke dunia bawah untuk melaporkan hasil pengiriman jiwa-jiwa manusia hari ini.
“Antares.”
Nama Antares yang disebut dengan halus itu, sejenak membuat ia merasa goyah. Antares menghela napas panjang, berharap perempuan ini tidak akan menghantui kehidupannya kelak. Ia tidak pernah membiarkan manusia biasa terlalu lama menghabiskan waktu dengannya.
Maka, Antares pun pergi kendati Nathalie masih memandanginya. Lalu, kabut menghalangi penglihatan perempuan itu … saat ia sudah bisa melihat dengan jelas, Antares telah menghilang. Seolah jejak Antares terhapus begitu saja, meninggalkan sebuah memori abstrak dalam pikiran Nathalie.