▪︎Happy reading
▪︎Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~~
Suasana dalam mobil begitu hening. Tidak ada yang memulai percakapan sejak kendaraan beroda empat itu keluar dari pelataran sekolah. Indra Prayoga yang duduk di kursi penumpang hanya bisa meremas celana abu-abunya sambil sesekali melirik ke arah kursi pengemudi. Dia berharap pria paruh baya di sampingnya itu mengeluarkan kata-kata kasar sekalipun daripada harus diam seribu bahasa seperti saat ini.
Perjalanan dari sekolah ke rumah yang biasanya hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit, sekarang terasa berjam-jam lamanya. Indra menarik napas panjang berulang kali untuk mempersiapkan diri menerima amukan dari ayahnya.
Cowok yang mengenakan kacamata itu menarik napas dalam-dalam sebelum mengikuti ayahnya yang telah keluar dari mobil terlebih dulu. Langkahnya gontai saat memasuki rumah berlantai dua dengan halaman depan penuh bunga kesayangan ibunya itu.
"Sayang, anak mama yang paling ganteng udah pulang. Gimana hari ini?" Suara ceria sang ibu langsung terdengar saat Indra baru memasuki rumah.
Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu segera memeluk dan mencium kedua pipi putra semata wayangnya. Indra hanya membalas dengan senyuman tipis lalu beralih menatap punggung ayahnya yang sudah berdiri di ruang santai.
"Ups," Linda, ibu Indra meringis sambil melemparkan tatapan yang seolah bertanya "ada apa" kepada putranya.
Indra mengangkat bahu sambil berjalan melewati Linda dan berdiri tepat di belakang ayahnya.
"Pa," panggil Indra ragu-ragu.
Cowok yang masih menggendong tas sekolahnya itu mundur selangkah ketika Rudi, ayahnya, membalikkan tubuh menghadapnya.
"Delapan belas tahun kamu jadi anak Papa dan hampir tiga tahun terakhir kamu belajar masak di sekolah. Tapi, apa yang kamu dapet? Kamu belum pernah membanggakan Papa dan Mama dengan menjadi pemenang dari tiap lomba masak yang kamu ikuti. Dan parahnya, kamu selalu kalah dari sepupumu itu. Dia bahkan bukan dari keluarga chef kayak kita. Kamu itu anak chef terkenal yang udah buka restoran terlaris di kota ini. Jadi pemenang lomba masak aja kamu nggak bisa? Memalukan!"
"Papa!" Linda segera menegur suaminya dan berdiri di samping Indra untuk mengusap punggung putranya itu.
"Ini yang buat dia selalu gagal. Kamu sebagai ibunya terlalu memanjakan dia. Sampai kapan anak kita satu-satunya ini bisa mandiri dan mengusahakan yang terbaik untuk pendidikannya? Kamu selalu aja belain dia walau jelas-jelas dia salah."
Rudi tidak peduli dengan teguran dari sang istri dan terus mencerca Indra atas perbuatan putranya itu yang dianggap telah mempermalukan keluarga, terutama nama baiknya sebagai chef terkenal.
"Maaf, Pa. Tapi, aku nggak pulang dengan tangan kosong, Pa. Aku baru aja dapet juara dua dan Papa menyaksikannya sendiri tadi."
Rudi mendengkus kasar. "Sampek kapan kamu puas jadi orang kedua? Kalo kamu mau sukses, kamu harus jadi yang pertama. Inget itu!"
"Iya, Pa. Aku akan berusaha lebih keras lagi selanjutnya."
"Selanjutnya? Kapan? Kamu udah kelas tiga dan sebentar lagi lulus. Kamu mau ngelanjutin kuliah di mana dengan prestasi biasa-biasa kamu itu? Apa kamu yakin bisa masuk universitas tempat Papa kuliah dulu? Universitas dengan Jurusan Tata Boga terbaik yang pernah ada di kota atau bahkan negara ini."
"Papa, udah! Indra berusaha semaksimal yang dia bisa. Juara dua itu udah bagus. Anak kita selama ini juga berprestasi di sekolah. Mama yakin dia bisa masuk universitas yang Papa bilang tadi."
"Kamu pikir dengan prestasi segitu dia bisa kasih yang terbaik buat kita? Apa kata orang-orang di luar sana? Apa kata fan-fan Papa kalo tau anak chef terkenal seperti Papa nggak pernah bisa jadi pemenang tiap ikut lomba masak? Semua resep andalan yang Papa punya udah Papa kasih untuk dipelajari. Tapi, apa? Hasilnya nol besar!"
"Papa sendiri yang nggak pernah menghargai usaha anak kita. Gimana dia mau sukses kalo dukungan dari papanya aja nggak ada. Papa harusnya nyemangati anak sendiri bukannya ngerendahin kayak gini."
Indra memegangi kepalanya yang terasa pening. Semua ini salahnya. Setiap kali dia pulang dari perlombaan masak antar sekolah, kedua orang tuanya selalu terlibat pertengkaran seperti saat ini. Benar kata ayahnya, dia tidak pernah memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Untuk nama baik sang ayah.
"Kalo kita selalu melunak sama dia, dia nggak akan pernah sadar apa kesalahannya. Papa harus tegas sama Indra. Karena dia satu-satunya penerus usaha Papa. Apa jadinya restoran kita kalo dia aja nggak bisa masak?"
Rudi sudah kehabisan kesabaran. Dia memelototi Indra hingga putranya itu makin menciut. Entah sudah ke berapa kalinya pria itu merendahkan putranya sendiri dan membuat kepercayaan diri Indra makin surut.
"Tapi, nggak dengan Papa ngerendahin Indra terus, kan? Papa juga harusnya bisa hargai usaha dia. Papa nggak bisa samain kemampuan yang Papa punya dengan kemampuan Indra. Mungkin aja anak kita punya kemampuan tersembunyi yang belum terlihat. Bisa aja kemampuannya di bidang makanan penutup, roti, atau sejenisnya yang jelas bukan makanan utama kayak yang Papa kuasai selama ini. Papa nggak bisa maksain kehendak sama anak kita."
Linda tidak berhenti untuk membela putranya. Wanita itu terlalu sakit hati setiap kali mendengar suaminya menghina putra semata wayang mereka. Dia yakin, putranya juga memiliki bakat tersendiri dalam urusan masak.
"Ma, udah." Indra menahan lengan Linda yang hendak berbicara kembali. Jika tidak dihentikan, perdebatan orang tuanya tidak akan berhenti hingga malam tiba. "Ini memang salah Indra. Indra belum berusaha semaksimal yang bisa Indra lakukan. Indra akan berlatih lebih giat lagi supaya bisa memenuhi standar Papa."
"Bagus! Papa akan kasih kesempatan terakhir buat kamu sebelum lulus sekolah. Diperlombaan masak antar sekolah dua bulan lagi, kamu harus keluar sebagai pemenang. Mulai besok, sepulang sekolah kamu harus belajar di restoran Papa."
"I-iya, Pa."
"Sekarang masuk ke kamar."
Linda tidak membantah perintah dari suaminya lagi dan langsung mengantar Indra ke kamar yang berada di lantai dua. Tiba di kamar putranya, wanita itu segera membukakan pintu dan menggiring Indra masuk lalu mendudukkannya di pinggir kasur. Dia mengambil alih tas di punggung Indra dan meletakkannya di meja belajar. Wanita itu hendak berjongkok untuk melepas sepatu putranya, tetapi Indra menghentikannya.
"Ma, aku bisa sendiri. Aku udah besar. Lebih baik Mama istirahat."
"Sayang, omongan Papa nggak usah dimasukkin hati, ya. Kamu tau sendiri gimana papamu itu. Dia kejam banget sama anak sendiri."
"Indra nggak apa-apa, Ma. Indra ngerti, kok kenapa Papa bersikap tegas sama Indra. Mulai besok, aku harus berusaha lebih keras lagi."
"Ya udah, mama siapin makan malam dulu, ya. Kamu istirahat aja dulu. Nanti kalo udah waktunya makan malam, Mama panggil."
"Makasih, Ma."
Indra melepas kacamata dan meletakkannya di nakas lalu merebahkan diri di kasur setelah Linda meninggalkan kamarnya dan menutup pintu. Cowok yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu merogoh ponsel di saku celana. Sejak di mobil tadi, ponselnya terus berbunyi menandakan notifikasi pesan baru yang masuk. Dia membuka ruang obrolan bersama keempat sahabatnya.
Ruang obrolan tersebut sudah ramai dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai keadaan Indra dan ucapan semangat dari keempat cewek yang sudah menjadi tetangga sekaligus sahabatnya sejak kecil itu.
Indra melempar ponsel ke sampingnya setelah mengirimkan pesan yang berbunyi bahwa dia baik-baik saja. Dia menopangkan sebelah lengannya untuk menutupi mata dan berharap bisa terpejam sejenak.
Perkataan terakhir Rudi berputar di kepala Indra. Dia bertekad untuk menang dan mengalahkan sepupunya itu. Namun, sebelum itu dia harus mencari anggota kelompok yang bisa menemaninya dan berjuang bersama sebagai pemenang. Siapa? Haruskah dia meminta keempat sahabatnya yang sama-sama tidak jago masak itu? Indra menekan pelipisnya yang makin sakit.
Bersambung