Aku menghentikan langkah, berdiri di tengah-tengah lapangan kampus seraya menengadah ke langit. Tetes hujan pertama meluncur tepat di pipiku sebelum jatuh ke bumi. Aku merapatkan jaket dan bergegas pergi sebelum hujan membuat badanku basah kuyup.
Halte bus di depan universitas ternama di kotaku ramai seperti biasa. Kursi panjang terisi penuh, aku mengambil posisi di ujung, menyandarkan tubuhku pada tembok. Tempias hujan membuat bagian bawah celanaku basah, begitu pula sepatuku yang terlihat bersih jika terkena air.
Setengah jam kuhabiskan di halte bus yang berdesakan, aku kedinginan. Bus tak kunjung datang, sampai aku berpikir bahwa aku akan bermalam di tempat kumuh ini. Aku menggeleng mengenyahkan pikiran anehku. Hujan membuatku berpikir banyak hal.
Di tengah derasnya hujan, seorang perempuan berlari menuju halte bus, tubuhnya basah, meski dia menggunakan payung. Mungkin karena ingin menyandarkan payungnya atau karena tidak ada tempat kosong, dia mengambil posisi di ujung, berdiri tidak jauh dariku. Dalam jarak yang sedekat itu, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Aku menahan napas, ketika rambut sebahunya diikat asal, membuat sebagian anak rambut yang tidak ikut terbawa menghiasi wajahnya.
Tiba-tiba aku terkejut, karena sekelilingku mendadak tidak bergerak. Seperti mobil-mobil yang berlalu lalang dan juga penghuni bus yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi, anehnya hanya kau dan akulah yang bergerak. Aku menekan tombol play dengan menggelengkan kepala. Film kehidupan ini akhirnya kembali bermain. Dia membuat bumi seolah berhenti berputar.
Tiga detik yang mendebarkan, ketika kau melihatku sekejap. Aku tersadar, ketika kau mengalihkan pandangan dariku, bumi kembali berputar, suara-suara kembali terdengar, dan para penghuni halte bus kembali berisik, seolah tidak terjadi apa-apa.
Kuhembuskan napas yang sejak tadi kutahan. Aku tidak bisa membayangkan reaksi apa yang akan terjadi padaku jika dia melihatku lagi. Aku menggeleng tanpa sadar. Aku benar-benar sudah gila!
Bus datang, aku membiarkan orang lain masuk terlebih dahulu. Seluruh kursi terisi penuh, bergelantungan tangan adalah pilihanku. Aku menggeser posisi dan melihat gadis bermata coklat duduk di kursi dekat jendela. Saat itu aku tidak tahu alasan mengapa aku merasa senang melihatnya. Dia duduk di kursi favoritku.
***
Sebelum bersiap-siap untuk turun di halte berikutnya, kulirik gadis bermata coklat itu untuk terakhir kalinya, dia melihatku, seakan menangkap sinyal yang kukirimkan. Aku terkesiap, memalingkan muka. Bukan saatnya. Fokuslah!
Menunggu sebentar di halte dan melihat bus melaju melewatiku, kutemukan sepasang mata coklat berkilat-kilat. Aku menatapnya sebelum bus benar-benar pergi seolah berkata: “Semoga semesta berbaik hati mempertemukan kita kembali,” asap pekat knalpot mengepul, bus mulai melaju dengan perlahan.
Hujan pertama di bulan September, di tahun pertama kuliahku. Sejak saat itu halte bus adalah tempat yang ingin kukunjungi setiap harinya.
Oktober 2012
Aku masih menyukai halte bus, berharap menemukan sepasang mata coklat di antara penghuninya. Jika bertemu dengannya lagi, apakah itu yang disebut dengan takdir?
Desember 2012
Jam 16:32. Hujan di bulan Desember membuat suasana hatiku jauh lebih baik, meskipun aku kembali berdiri bersandar di tembok halte bus sambil memikirkan soal ujian rumit yang tadi kukerjakan. Suara decitan roda membuat lamunanku buyar. Bus datang, pintu terbuka otomatis. Aku membiarkan diriku masuk paling terakhir, harapan untuk duduk di kursi dekat jendela sirna. Untuk ke sekian kalinya, aku bergelantungan tangan di jajaran paling depan, bersama bapak-bapak yang tampangya menyeramkan.
Seperti ada sesuatu yang mengusikku, kulihat dari kaca spion bus, seseorang tengah berlari-lari sambil melambaikan tangan ke arah bus.
“Pak sopir, ada penumpang ketinggalan!” tanpa berpikir dua kali, aku berteriak, suaraku terdengar sangat keras, membuat seluruh penumpang bus menoleh. Padahal jarakku dengan pak sopir hanya tiga meter.
Bus berhenti melaju.
“Cepat panggil nona itu!” kata seorang bapak berwajah preman ketika melihatku tidak bereaksi apa-apa ketika pintu terbuka otomatis.
Kulongokkan kepala keluar pintu, “Cepatlah!” kataku sambil melambai-lambaikan tangan seperti kondektur bus. Entah dari mana alunan lembut In My Convenience nya The Jakesperiment terdengar ketika wajah gadis yang berlari mendekati bus semakin terlihat jelas. Dialah orang yang membuatku gila seperti ini, gadis bermata coklat yang terengah-engah kelelahan. Aku tidak menyangka semesta merencanakan ini! Senang bertemu denganmu kembali.
Sepasang kakinya telah berada dalam bus, dia menempelkan kartu ke mesin. Terdengar bunyi bip diantara alunan In My Convenience. Jarak kami hanya satu meter, aku berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja. Bus bergetar, melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda.
“Terima kasih.”
Suara itu membuat mataku seperti dialiri listrik ribuan volt, dia melihatku sambil tersenyum. Ada sesuatu di dalam dadaku yang bergemuruh ketika senyuman itu terbit di bibirnya. Aku mengangguk dengan wajah kaku, seperti orang bodoh.
Dan lagu In My Convenience selesai berputar.
Februari 2013
Halte bus tidak terlalu ramai. Aku bertanya-tanya kemana perginya orang-orang sehingga melewatkan hari secerah ini. Suara kicauan burung dan hembusan angin sepoi-sepoi menjadi kombinasi indah untuk mengawali sore ini. Lamunanku buyar ketika mendengar suara decitan roda. Untuk kesekian kalinya, aku meposisikan diri di barisan paling belakang. Perhatianku beralih pada seorang gadis berkepang dua yang berbaris di depanku, dia sibuk mengaduk-aduk tasnya dengan resah. Hey bukankah dia...
Kudengar ia bergumam dengan nada pasrah, aku mendahului barisannya karena ia tidak sadar bahwa pak sopir sedang menunggunya. Kutempelkan kartu pada mesin, terdengar bunyi bip dua kali.
“Untuk dua orang, pak,” Kataku pada pak sopir sambil sedikit menoleh kebelakang, ke arah gadis bermata coklat yang masih sibuk dengan keresahannya.
Ada beberapa kursi yang kosong. Aku berjalan menuju kursi favoritku di dekat jendela, sudah lama rasanya tidak memerhatikan jalanan dari jendela bus ini. Aku mendengar pak sopir memanggil gadis itu dan berbicara sebentar, “Laki-laki berjaket biru yang membayarmu.”
Aku tersenyum ketika melihat ekspresi kaget yang muncul dari wajahnya, dia berjalan mendekat, membuat detak jantungku berdebar tidak karuan. Aku menghela napas, dan mengeluarkannya perlahan. Gadis bermata coklat itu memilih duduk di sampingku. Jarak kami sangat dekat, membuat pundaknya bersentuhan dengan pundakku. Aku ingin berteriak, tidak pernah aku merasa segugup ini.
“Soal tadi, terima kasih banyak. Lain kali aku akan menggantinya,” untuk pertama kalinya aku mendengar ia berbicara lebih dari dua kata.
Aku mengangguk sambil membalas senyumannya dengan kikuk, “Tidak usah.”
“Oh iya, perkenalkan namaku Rinai,” katanya sambil mengulurkan tangan, mata coklatnya semakin menarik ketika terkena sinar mentari.
Aku menatap sejenak tangan kecil itu dan memmbalas jabatannya dengan gugup, “Namaku Sam. Senang berkenalan denganmu Rinai.”
Cerita kami baru saja dimulai. Rupanya semesta mendukungku!