2. Hilangnya sang Penyemangat
Setahun sudah berlalu sejak kepergian ibunya. Sejak saat itu Yunda sudah tidak pernah lagi tersenyum dengan lebar. Hari-harinya dipenuhi dengan kemurungan. Di samping itu, dia juga sering bermalas-malasan dalam mengerjakan tugas.
Peringkat yang awalnya berada di nomor satu seantero sekolah, kini menurun drastis. Hanya nomor satu di kelasnya saja, itu pun nilainya tidak begitu jauh dari peringkat dua.
Apakah dia sedih?
Tentu saja tidak, sebab yang membuatnya semangat untuk meraih peringkat hanyalah ibunya. Namun sekarang wanita itu sudah tidak ada, bahkan keberadaannya pun bak ditelan bumi. Yunda sudah tidak ingin menangis lagi, sebab percuma saja. Ibunya tak akan pernah mendengar rintihan hatinya bagaimanapun kerasnya dia menangis.
"Eh Yun, kamu kok suka melamun gitu. Ada apa?"
Tiba-tiba Keyla datang dari arah belakang dan menepuk pundak Yunda. Gadis itu sedang duduk di teras kelas dengan mata yang menatap kosong ke lapangan.
"Gak pa-pa Key. Kamu kenapa ke sini?" tanya Yunda, sebab tak mungkin Keyla keluar kelas jika tidak ada hal yang penting.
"Di kelas sedang berbicara tentang melanjutkan ke mana. Nah, kamu mau lanjut ke mana?" tanya Keyla dengan wajah seriusnya.
"Aku gak lanjut." Tanpa pikir panjang itulah yang keluar dari bibir Yunda. Jelas Keyla sedikit kecewa, sebab temannya itu sangat pintar. Sayang jika tidak diteruskan di jenjang yang lebih tinggi.
"Kenapa gak lanjut, Ayunda?" Dari arah berlawanan wali kelasnya ternyata mendengar ucapan Yunda dan dia pun berhenti di samping Keyla.
"Rasanya percuma aja, Bu, sudah gak ada Ibu yang selalu menyemangati," pungkas Yunda dengan helaan napas berat.
"Jangan begitu, Nak, walau ibumu gak beri semangat, setidaknya Yunda harus membuktikan kalau bisa belajar tanpa diberikan semangat. Masa mau dikalahkan sama bisikan setan."
"Mungkin sekarang Yunda merasa kalau sekolah tidak ada dampaknya sama sekali. Namun, beberapa tahun yang akan datang Yunda akan paham bahwa pendidikan itu sangat penting. Jadi, jangan berhenti sampai di sini ya, Nak. Ibu yakin kalau Yunda sebenarnya punya banyak keinginan untuk dicapai, Yunda juga anak yang pintar jadi sangat sayang kalau harus putus sekolah."
Terlihat bulir air mata membasahi pipi anak itu. Dia menangis dalam diam. Sebenarnya, sudah beberapa hari ini terjadi pergolakan antara logika dan hati. Namun, dirinya masih terkungkung dengan kepergian sang ibu yang sangat mendadak.
"Keyla tolong kasih kertas yang tadi ke Yunda ya. Kemudian Yunda, Ibu tunggu hasilnya di atas meja ya. Jangan sampai gak diisi," tukas wali kelasnya kemudian berlalu sebab beberapa menit lagi ada kelas di kelas lain.
Keyla yang mendapat amanah langsung masuk mengambil kertas tersebut. Diserahkannya ke Yunda yang masih terisak walau air matanya sudah tidak turun lagi. Dipandanginya kertas itu dengan sangat seksama. Di sana ada pertanyaan ingin lanjut ke SMP mana.
Dari kelas empat dia memang sudah mengincar satu sekolah. Namun, apakah nilai akhirnya bisa menembus benteng sekolah tersebut? Mengingat peringkatnya sudah turun ditambah pengetahuannya juga sudah mulai menurun.
Dia menyusul Keyla masuk kelas, kertas itu masih terus dipandangi. Kebimbangan kembali merasuk jiwanya. Otaknya mencari sekolah lain yang sekiranya bisa membuatnya diterima dengan mudah. Selang beberapa menit berpikir, akhirnya dia menemukan satu sekolah yang lumayan cocok buatnya.
Diambilnya pena di dalam tasnya dan langsung mengisi kolom yang ada di kertas tersebut. Saat tiba di kolom sekolah lanjutan, dia berhenti sejenak. Mengambil napas panjang dan mencoba meyakinkan diri jika sekolah itu tidak buruk buatnya.
Tidak lama kemudian akhirnya sudah terisi semua. Tanpa ba-bi-bu Yunda langsung ke meja gurunya. Sesekali dia meyakinkan diri jika memang langkahnya sudah benar. Saat sampai di depan pintu ruang guru, di meja wali kelasnya dia tidak melihat siapa pun. Namun, karena sudah ke situ, Yunda langsung meletakkannya begitu saja.
"Gimana Yun, kamu lanjut di mana nanti?" tanya Keyla saat melihat Yunda baru masuk ke kelas.
"Nanti aja diliat ya, aku gak tau juga," jawab Yunda karena dia tidak suka dengan pertanyaan itu.
Keyla pun kembali ke mejanya. Dia merasa jika Yunda memang benar-benar tidak ingin diganggu. Begitu juga dengan Yunda, dia menjatuhkan kepalanya di atas meja. Namun, siapa sangka jika balik lengan yang melindungi wajah, ada mata yang basah. Ya, Yunda sedang menangis.
*
Pelajaran terakhir telah selesai, seluruh siswa bergegas untuk pulang ke rumah masing-masing. Namun tidak dengan Yunda, anak itu harus ke ruang guru karena beberapa menit yang lalu wali kelasnya memanggil dirinya. Tanpa tahu menahu, dia pun berjalan dengan lesu ke ruang guru.
Dirinya seolah sudah tidak memiliki semangat hidup, begitu lesu. Saat pelajaran terakhir, fokusnya benar-benar kacau bahkan dia salah menjawab pertanyaan dari sang guru. Tampaknya ibunya benar-benar sudah menghancurkan semangat dirinya.
Tidak lama Yunda sampai juga di ruang guru. Dia langsung masuk ketika melihat wali kelasnya duduk manis di tempatnya. Gurunya tampak tak menyadari kedatangannya, sampai dia menarik kursi di depan meja. Akan tetapi, walau begitu gurunya gak kunjung bicara juga. Hal itu, membuat Yunda kebingungan harus berbuat apa.
"Yunda tau kenapa Ibu panggil ke sini?" tanya guru tersebut dan dibalas gelengan oleh Yunda.
"Ibu sedikit kecewa sama Yunda. Dari sekian banyak sekolah di kota kita kenapa kamu harus milih yang akreditasinya buruk."
"Kamu anak yang berprestasi Nak, kenapa milih sekolah itu?" Sangat jelas terlihat binar kekecewaan di mata gurunya. Namun Yunda tidak terlalu peduli akan hal itu. Baginya sekolah itu sudah dia pilih, maka apa pun resikonya harus ditanggung.
"Yunda gak mau ganti ke SMP 1 Angkara. Sekolah itu sangat bagus dan Ibu rasa nilaimu juga sangat cocok di sana," tukas gurunya mencoba membuka pikiran Yunda.
"Awalnya memang mau ke situ, Bu. Cuma Yunda rasa sepertinya gak jadi. Sekolah yang Yunda pilih bagus kok Bu, walau akreditasinya masih B."
"Tapi semua anak berprestasi sekolah kita masuknya di SMA Angkara, Nak."
"Yunda mau berbeda dari Kakak kelas yang dulu, Bu."
"Tidak, pokoknya Ibu belum anggap ini fix. Ibu tunggu jawabannya sampai besok lusa. Yunda tolong dipertimbangkan lagi ya. Akreditasi sekolah juga bisa berpengaruh kepada pendidikanmu di masa yang akan datang, jangan asal milih ditambah nilaimu sangat bagus."
"Sekarang kamu boleh pulang. Ingat, dipikir-pikir lagi keputusanmu itu ya."
Yunda hanya mengangguk dan langsung berdiri untuk segera pulang. Dia ingin segera walaupun tidak ada yang spesial di rumah itu. Sikap ayahnya juga sedikit demi sedikit sudah mulai berubah. Tak jarang Yunda bermalam di rumah itu hanya sendirian dan menemukan ayahnya di esok hari dalam keadaan mabuk.
"Takdir itu begitu misteri, tak pandang bulu dan terkadang tanpa belas kasih."