HAPPY READING!
"Jadi, gimana?" tanya seseorang sambil berkacak pinggang sementara orang yang diajak bicara mendongak.
"Ini, baru mau bikin kerangkanya," jawab manusia yang sibuk dengan banyak baut dan tiang-tiang besi.
Sudah sekitar setengah jam dan orang itu belum selesai baru menyelesaikan sebagian kerangka. Terlihat peluh keringar sudha mulai bercucuran padahal sekarang masih lumayan pagi. Matahari belum tampak sepenuhnya.
"Gue bantuin deh. Lo lama banget Lang ngerjain gini doang," cibir seseorang marah-marah kemudian mulai mengambil kerangka lainnya ikut memasangkannya sesuai instruksi.
Cowok yang dipanggil Lang itu hanya menghela napasnya. "Iya, deh gue emang lama. Lo juga enggak sabaran sih. Memang udah selesai ngepel?"
Lawan bicaranya cengegesan. "Udah, orang suruhan nenek yang ngerjain. Gue disuruh duduk aja. Ya, gue bosen gitu." Langit menepuk jidatnya. Padahal tadi manusia di depannya berkata bahwa ingin mengerjakannya karena ingin hidup mandiri.
Ujung-ujungnya dia tidak jadi mengerjakan pekerjaan rumah. Malah mengganggu Langit yang sedari tadi memasang kerangka jemuran yang tidak kunjung selesai.
"Ya, habisnya tadi gue nyapu aja. Sapunya patah," keluh lawan bicara Langit sambil mendengus sebal.
"Beli sapunya murahan banget sekali pakai langsung patah." Lanjut mengomel sambil memeluk tiang yang sudah Langit pasang dengan telaten.
"Lo yang enggak bisa nyapu. Malah nyalahin sapunya. Gue pakai merek itu aja sapunya sampai helai-helai itu udah gundul saking lamanya." Langit menjitak kepala orang di depannya itu dengan kesal.
"Ya, lo ajarin lagi dong cara nyapu yang bener," sahutnya sambil mengelus kepalanya yang sudah dijitak oleh Langit dengan tidak berperasaan.
"Gue udah ngajarin lo hampir lima belas kali loh, Bulan. Lo yang enggak bisa-bisa." Perempuan yang dipanggil Bulan itu mendengus sementara Langit menggelengkan kepalanya heran. Bisa-bisanya orang di depannya ini pintar dalam berbisnis tetapi tidak bisa menyapu.
"Ya, nanti gue coba nyapu lagi. Sekarang ini ajarin gimana masangnya?" tanya Bulan sambil menyodorkan kerangkanya yang sudah terlihat kalau gagal.
Langit menggelengkan kepalanya lalu melepaskan semua baut yang dipasang oleh Bulan dengan sabar. Mengajarinya perlahan hingga Bulan bisa membantu Langit menyelesaikan tiang jemuran itu.
"Kalau tante Rosa tau gue bisa masang ini. Pasti dia bangga." Bulan tersenyum sambil berkacak pinggang menatap hasil karyanya dan Langit.
Langit hanya mengangguk lalu menatap ke arah luar berharap Mamanya melihatnya dari atas sana. Mamanya juga meninggalkan dirinya dengan keadaan bahagia seharusnya tidak ada penyesalan di sana. Tetapi, Langit wajar bukan kalau merasa ada sesuatu yang mengganjal.
Dia melirik ke arah foto pigura yang dipasang di sana. Terlihat wajah bahagia dari Mamanya. Langit tersenyum lalu memalingkan wajahnya mengangkat hasil karyanya dan Bulan untuk diletakan di luar.
Masih banyak yang harus diurus sekarang dan Langit harus bekerja keras untuk menciptakan rumah yang terlihat hidup dan nyaman untuk keluarganya yang harmonis.
Langit berganti mengambil kardus yang berisi kipas angin. Mulai membukanya dan Bulan senantiasa di sebelahnya canda tawa dan helaan napas Langit yang mengisi ruangan kosong itu.
"Bukan gini masangnya. Kerangkanya dulu baru kipasnya." Langit menggelengkan kepalanya sudah lelah. Sementara Bulan hanya cengegesan.
"Ya, gue, kan enggak tau. Lo aja deh yang ngerjain. Gue mau ngisi kulkas aja." Bulan beranjak sudah tidak ingin membantu Langit lagi atau mungkin lebih tepatnya mengacau hasil karya Langit.
Perempuan itu sibuk mengeluarkan semua belanjaannya. Belanja bulanan yang sepertinya terlalu banyak untuk dua orang. Bulan menarik kantong plastik pertama yang berisi banyak botol minuman. Menatanya di bagian bawah secara berurutan. Langit yang melihatnya langsung menegur.
"Udah ya, jangan beli minuman kayak gitu lagian Enggak sehat tau." Bulan yang sedang asik menata tidak mendengarkan omelan Langit yang terus berlanjut.
"Itu juga. Beli banyak banget cokelat. Nanti giginya bolong loh, besok belinya maksimal dua." Langit terus menegur sampai cokelat yang dimasukan ke dalam kulkas kandas.
"Lang, ini ayam mentahnya gimana kok ada airnya." Bulan berlari ke arah Langit sambil memegang jijik wadah ayam yang sepertinya bocor.
Langit buru-buru meletakan barangnya dan berjalan menghampiri Bulan. Mengambil ayamnya agar tidak lebih banyak air yang mengucur.
"Kamu enggak pernah lihat ayam mentah?" Bulan menggeleng membuat Langit pasrah. Langit meletakan ayamnya di meja dapur dan mengambil pel untuk membersihkan ceceran darah yang tadi tidak sengaja Bulan tumpahkan.
Setelahnya Langit dengan telaten membuka plastik yang menutupinya mengambil telenan dan pisau. Memotongnya hingga muat masuk ke dalam kotak. Sebelumnya dia cuci hingga bersih dan selesai.
"Gini doang enggak bisa," ucap Langit setelah memasukan ayamnya ke dalam lemari pendingin.
"Ya, belum pernah megang. Biasanya megang yang ada di piring tuh, yang udah mateng." Bulan mendengus dan melipat tangannya di depan dada. Kesal setengah mati karena Langit meremehkan dirinya.
"Ya, udah. Laper enggak?" tanya Langit dan mata Bulan langsung berbinar.
"Sekarang kita masak sekalian kamu belajar." Bulan cemberut dan akhirnya pasrah. Dia mulai mengeluarkan sayur mayur yang pastinya dipilih oleh Langit tadi. Berbeda dengan cokelat, ciki, dan minuman botol yang dibeli Bulan. Langit lebih memilih untuk mengambil sayuran hijau dan satu ayam dada utuh sebagai pelengkap.
Langit dengan cekatan segera memotong sebagian sayuran dan mencucinya. Dengan posisi Bulan yang memegang pisau dan Langit dibelakangnya. Cowok itu meminta Bulan untuk memotong tipis. Wortel pertama dengan potongan sebesar kaki gajah malah dicincang hingga halus oleh Bulan.
Padahal Langit tadi memilih wortel itu lama diantara wortel yang menurut dia sudah tua dan dengan mudahnya Bulan mencincangnya halus begitu saja.
"Enggak gitu Bulan. Gini." Tangan Langit langsung memegang tangan Bulan mengarahkan tangannya hingga potongan itu terpotong sempurna. Melihat potongan yang sempurna Bulan jadi senang sekali. Dia merasa dia bisa memasak semua makanan yang ada di dunia.
"Nah, gitu. Coba ya. Aku mau bikin kaldunya dulu." Langit melepaskan Bulan dengan pisaunya dan Bulan langsung memotong secara perlahan. Bahkan ketika Langit sudah selesai membuat kaldu, Bulan masuk senantiasa dengan satu wortelnya.
Memang sih hasilnya rapi tetapi, kalau motongnya lama bisa-bisa besok baru makan. Akhirnya Langit meminta Bulan untuk berhenti. Meminta Bulan untuk mencicipi kaldunya.
"Disuruh ini, disuruh itu. Kelamaan salah motongnya enggak sesuai salah. Terserah deh." Bulan cemberut tidak menyukai Langit karena seolah apapun yang dia lakukan selalu salah dimatanya.
Langit meringis kalau Bulan sudah ngambek biasanya akan marah-marah sepanjang hari. Langit meletakan pisaunya dan memeluk Bulan yang sedang mengaduk kuah kaldu untuk dia ambil sedikit.
"Iya, maaf ya. Tadi kamu bilang laper. Kasian dong kalau nanti kelamaan kamu keburu kena maag. Maaf ya," Bulan berhenti mengomel dan cemberut. Dia berbalik menatap Langit dan menangkup wajahnya gemas.
"Lain kali enggak boleh gitu!" Bulan menarik kedua pipi Langit dan dijawab dengan anggukan susah payah dari cowok yang ditarik pipinya.
Langit bahagia, walaupun rumah tangganya terkesan belum terlihat mandiri dan masih banyak yang harus dipelajari, setidaknya Bulan yang galak sekarang sudah menjadi miliknya.
[ Fin ]
Hallo, terima kasih sudah mengikuti cerita Photobox sampai di sini.
Cerita photobox sudah benar-benar selesai sampai di sini ✨
Sampai bertemu di cerita-ceritaku yang lain 👋