HAPPY READING!
Langit mengucap tanpa bersuara sementara Mamanya menatap Langit tidak mengerti. Anaknya mendengus frustasi merasa gagal untuk mengelabui Bulan.
"Oh, lo bohong, ya?" Bulan mulai menyadari tingkah laku Langit yang mencurigakan. Langit menatap Bulan sambil menunjukan deretan gigi putihnya. Merasa sebentar lagi kepalanya tidak akan aman Langit melindungi kepalanya dengan kedua tangan.
"Lo bilang mau ketemu sama Mama, kan. Ya, gue enggak sepenuhnya salah, kan?" Benar saja Bulan memukul tangan Langit yang melindungi kepalanya.
Mamanya menggelengkan kepalanya. Heran dengan dua anak yang seumuran tetapi tingkahnya masih seperti anak kecil. Ponsel Langit berdering membuat mereka berdua berhenti melakukan aksi memukul dan melindungi diri.
Nomor tidak dikenal yang muncul di layar ponsel Langit. Cowok itu berpamitan untuk menerima telepon dan keluar dari rumahnya. Tidak ingin mengganggu Bulan dan Mamanya berbincang.
Rosa sendiri langsung bercerita macam-macam dan Bulan menjawab dengan heboh melepas rindu mereka berdua. Kondisi ruangan yang biasanya sepi kini menjadi ramai karena kehadiran Bulan.
"Oh, iya Bulan. Waktu itu kamu pernah cerita kalau tinggal sama nenek. Mama Papa kamu gimana kabarnya?" tanya Rosa dengan ramah sementara Bulan tersenyum dan menjawab dengan jujur.
"Pastinya bahagia Tan, di atas sana." Rosa menutup mulutnya merasa bersalah teramat sangat karena begitu blak-blakan bertanya hal yang sensitif. Bulan juga sebenarnya tidak masalah toh, memang benar bahwa orang tuanya sudah bahagia berada di atas sana.
"Tan, enggak usah ngerasa bersalah terus. Tante aja udah Bulan anggap kayak Mama sendiri," ucap Bulan kemudian menggenggam kedua tangan Rosa meminta agar ibu satu anak itu tidak khawatir karena mungkin menurutnya sudah menyakiti hati Bulan.
Rosa mengusap kepala perempuan yang berada di depannya dengan sayang. "Tante aja bangga sama Bulan, apalagi mama papa kamu disana."
Perempuan dengan rambut panjang dan agak bergelombang hanya diam saja. Tidak ingin berbicara apapun lagi. Selintas bisa dikatakan perempuan itu melamun entah apa yang dia lamunkan.
"Ma, Langit dipanggil sama anak kampus buat nyari bahan briefing tadi. Mama sama Bulan dulu, ya?" Langit muncul dari luar hanya memunculkan kepalanya saja. Mereka berdua mengangguk dan bunyi deru motor yang menjauh terdengar semakin lama menghilang.
Bulan akhirnya berbicara lagi, walaupun permintaannya terkesan aneh Rosa menyetujuinya dan tersenyum. Mereka hanya tinggal menunggu Langit untuk menyetujui hal tersebut. Sembari menunggu, Rosa mengajak Bulan untuk membuat roti kering karena hari ini ada pesanan.
Bulan yang tidak pernah menyentuh dapur akhirnya bukan membantu malah terlihat seperti menghancurkan dapur itu. Wajahnya belepotan dengan tepung dan adonannya malah menempel di tangannya karena tangannya tidak diberi tepung ataupun minyak.
Setelah berbagai pergulatan yang dirasakan Bulan. Cewek itu akhirnya merebahkan tubuhnya di sofa. Kelelahan. Ternyata memang lebih baik menghitung data yang enggak balance-balance daripada harus memasak kue kering.
Bulan mengelap keringatnya merasa kepanasan. Akhirnya masuk ke dalam kamar mandi. Mencuci mukanya hanya menggunakan air hingga segar.
Di sisi lain, Langit merasa dibohongi. Ternyata mereka disuruh berkumpul dengan jumlah dua puluh tidak boleh kurang. Padahal tadi Langit sudah buru-buru untuk datang karena dia juga tidak tau apa yang akan dibawa saat briefing. Manusia di sini hanya segelintir bahkan kira-kira baru sepuluh. Sisa setengah dalam waktu dua puluh menit.
Langit mengumpat terus menerus dalam hati. Dia menelepon Bulan entah kenapa jalan pikiran satu-satunya hanya dia. Bulan yang kelelahan sambil menunggu kue kering itu matang langsung mengangkat panggilan dari Langit.
"Halo?" Langit langsung menjelaskan komdisinya sekarang tanpa basa-basi sementara Bulan menghela napas.
"Bukannya udah enggak boleh ya, yang semacam itu?" tanya Bulan menggelengkan kepalanya heran. Padahal waktu itu mereka sudah mendapat teguran dari pihak universitas. Memang, aneh-aneh saja.
Akhirnya, Bulan meminta ijin untuk pergi kembali ke kampus dan disetujui oleh Ibu satu anak itu dengan anggukan. Bulan pergi dengan memesan ojek dan sampai di kampus sekitar dua puluh menit. Mencari ke sekeliling dan menemukan Langit diantara kumpulan orang-orang yang dihukum untuk berjongkok di sana.
"Heh! Gue udah bilang, ya. Kegiatan seperti ini enggak boleh." Bulan membentak membuat pengurus di sana terkejut. Tidak menyangka ada kakak tingkatnya yang masih berada di kampus. Padahal mereka berpikir kampus sudah sepi. sehingga kegiatan seperti ini bisa dilakukan dengan lancar.
"Bubar, pulang semua ke rumah." Mereka bubar dan Bulan menatap beberapa pengurus di sana yang ikut andil kendali mengurusi kegiatan terlarang itu. Bulan menghitung orang yang berada di sana menatap mereka dengan garang.
Langit sendiri menunggu Bulan dari jauh. Bulan sedang dalam mode galak tidak bagus untuk mendekatinya. Lagi pula kalau dia mendekati apa yang akan dirinya lakukan?
"Mana Rachel? Dia tau kalau anggotanya seperti ini?" Bulan berkacak pinggang dan dijawab dengan gelengan dari semuanya.
Bulan mengambil ponselnya mencari nomor telepon dan meneleponnya. Entah apa yang dibicarakan Bulan karena suarnya sudah memelan. Beberapa saat kemudian Rachel datang dan melihat Langit yang sedang mengintip.
"Woi, lo ngapain di sini? Pulang sana." Rachel hanya berbicara tanpa menunggu jawaban. Dia langsung berlari menuju ke arah Bulan membuat Langit yakin yang ditelepon Bulan sedari tadi adalah Rachel.
Bulan sudah mulai mengomel dan raut wajah Rachel langsung pias. Dia meminta maaf terus menerus dan berbalik ke arah anggotanya untuk memarahinya. Bulan sudah tidak mempedulikan mereka dan meminta Langit untuk keluar dari tempat sembunyinya.
Berbagai bisikan langsung terdengar bahkan ada yang terang-terangan berbicara. Rachel menatap Langit yang keluar dari tempatnya. Tidka menyangka bahwa mereka memang benar-benar saling mengenal.
"Itu maba yang bikin kita dimarahin. Kelihatan jelas banget kalau itu bocah memang pakai orang dalem. Nyatanya anak pemilik kampus aja mihak dia. Pasti hubungannya enggak jelas." Bulan menatap mereka kesal sementara Langit terkejut karena dia bahkan tidak tau kalau Bulan yang mempunyai kampus ini.
Bulan berjalan mendekat sambil menggengam tangan Langit. "Lo udah salah, ngelunjak dan hubungan kita jelas. Kita pacaran enggak aneh-aneh kayak lo bilang." Bulan menekankan kata pacaran disana membuat Langit dan seluruh manusia di sana terdiam.
"Rachel. Tolong ambil kebijakan buat mereka. Gue pergi dulu." Bulan dan Langit pergi dengan bergenggaman tangan. Rachel yang melihatnya menghela napas sepertinya memang seharusnya dia tidak jatuh cinta secepat itu.
Mereka berdua ke parkiran dan Bulan minta segera kembali ke rumah Langit. Dia ingin menjalankan rencananya. Sementara Langit sendiri masih senantiasa tersenyum.
"Jadi, kita pacaran?" Bulan menatap Langit garang sementara Langit tersebut mengembangkan senyummya.
"Diem. Ayo jemput tante." Bulan malu, harusnya dia tidak berbicara seperti itu ke anak-anak disana. Bulan menyesal sekaligus lega.
Langit akhirnya jadi diam saja sampai mereka berada di tempat yang Bulan maksud menggunakan mobil yang dibawa Bulan. Ruangan bercat putih dengan papan di tengahnya.
Mereka masuk dengan perlahan. Langit mengenggam tangan mamanya membantu mamanya untuk menaiki tangga kecil. Bulan memesan tempat studio untuk sekitar sepuluh menit. Bulan meminta untuk self service yang artinya hanya menekan tombol sendiri dan memotretnya. Bukan di fotokan oleh fotografer disana.
"Fotonya beberapa kali gitu, ya. Nanti mau gue pasang yang paling bagus," ucap Bulan sambil membenarkan dasi yang dipakai Langit. Tidak ingin membuat hasil fotonya tidak memuaskan.
Mereka bersiap dan akhirnya memotret beberapa kali. Bulan mencetak hasilnya dan memajangnya di kamar kos miliknya setelahnya dirinya keluar kamar dan menatap Langit yang sudah siap untuk mengajaknya pergi.
"Sekarang lo mau ngajak gue kemana?" Bulan tersenyum sambil mengenggam tangan Langit. Cowok yang memakai kemeja kotak-kotak merah hitam itu tersenyum.
"Lo mau kemana?" tanya Langit membuat Bulan berpikir lama.
"Ke tempat pertama kali gue diajak sama seseorang yang nyolong jaket gue buat ngerasain kota Bandung." Bulan tersenyum sementara Langit tertawa.
"Mau ke sana?" Bulan mengangguk sementara Langit mengacak rambut Bulan gemas.
***
Perjalanan kita memang masih panjang dan itu tidak masalah karena kita berada di jalan yang sama
Mungkin semesta suka mempermainkan kita yang bekerja dan memutuskan
Sebagai manusia kita tidak bisa bergantung dengan takdir yang kita bisa lakukan adalah berusaha untuk bahagia selamanya.