HAPPY READING!
Langit merenung sembari batinnya menerka-nerka. Apakah Bulan tau pesan rahasia yang berada di kalung yang dia berikan baru saja? Intinya Langit terus melamun sampai ada lemparan kertas kecil-kecil yang mengenainya.
"Ini kenapa sih kok lempar-lempar segala." Langit bersuara dengan kesal membuat satu ruangan terdiam dan membuat Langit menjadi pusat perhatian.
"Lo, sini." Langit akhirnya sadar dengan keberadannya. Dengan agak ragu Langit berdiri dan mendekat ke arah orang yang memintanya untuk maju ke depan.
"Tau salah lo apa?" Langit mengangguk dengan agak takut. Sial sekali dirinya, baru masuk kuliah dia sudah membuat dirinya terkenal dengan sifat yang jelek.
"Apa?" tanya seseorang yang Langit yakin sepantaran dirinya atau mungkin lebih muda mengingat dirinya harusnya berkuliah dua tahun lalu.
"Saya ribut dan berteriak-teriak di tengah-tengah penjelasan kakak." Langit menjelaskan, dengan memanggilnya kakak agar kakak tingkatnya itu merasa dihormati.
"Enggak cuma itu, lo juga malah ngelamun di tengah-tengah penjelasan gue. Sekarang lo keluar ke halaman belakang beresin itu sampah-sampah. Sampai bersih," ucap kakak tingkatnya dengan semena-mena. Langit yang terlanjur merasa bersalah akhirnya dia keluar walaupun dengan bodohnya dia lupa bertanya.
Halaman belakang itu, ada dimana? Langit berkacak pinggang lalu melihat ke sekitar.
Melihat seseorang yang sedang menyapu, seorang bapak-bapak tua. Langit menghampirinya ingin bertanya untuk melaksanakan hukumannya. Ternyata, bapak tua itu tidak bisa berbicara seperti orang-orang pada umumnya.
Langit menggunakan bahasa tubuhnya berusaha untuk berkomunikasi dengan ilmu yang pas-pas an. Dia belajar karena dulu ada seorang pasien yang juga tidak bisa berbicara. Anak yang pemalu dan manis.
Setelah 'berbicara' akhirnya Langit tau dimana halaman belakang itu berada. Langit mulai meminjam sapu dan membersihkan halaman belakang itu dengan telaten. Dia merasa lebih baik daripada harus mendengarkan ucapan kakak tingkatnya yang sok berkuasa.
Setelah selesai menyapu dan membuat halaman belakang itu bersih. Langit segera merebahkan tubuhnya di lantai yang berada di sana. Keringat sudah bercucuran Langit mengusap wajahnya yang terasa panas.
"Siapa yang bilang lo boleh istirahat. Bangun!" perintah perempuan dengan berkacak pinggang menatap Langit dengan garang.
Langit yang terkejut langsung bangun dan menatap perempuan itu kesal. Dia sudah melakukan tugasnya masih saja dimarahi.
"Saya sudah membereskan semuanya Kak dan karena sudah selesai jadinya saya istirahat." Langit menjelaskan, memangnya kerjaannya tidak terlihat sama sekali atau perempuan di depannya itu memang buta?
Cewek itu bertambah kesal bisa dilihat dari raut wajahnya yang terlihat memerah karena emosi dan panas matahari. Langit sendiri tidak tau salah dimana jadi dia hanya diam saja menunggu perempuan di depannya berbicara.
"Memang gue bilang kalau halaman belakang itu cuma halaman belakang fakultas kita?" Langit berpikir, lalu benar sih cewek itu enggak bilang. Tapi, masa harus membersihkan satu kampus?
"Tapi, apa enggak keterlaluan ya, kak kalau saya harus membersihkan satu kampus?" Langit memprotes. Gila saja membersihkan satu halaman falkultasnya sendiri saja sudah hampir tewas apalagi semuanya.
"Memang gue peduli. Sana, beresin semuanya." Langit mendengus dengan berat hati dia menyambar sapu yang berada di sana dan menyeretnya dengan malas.
Padahal yang biasanya suka mengamuk malah yang cowok, tetapi tadi laki-lakinya hanya diam tidak bersuara. Langit sudah masuk ke dalam falkultas lainnya menyapu kembali dan memungut beberapa botol air mineral yang sudah kosong.
Saat membayangkan perempuan yang sebagai kakak kelasnya itu, Langit terkikik. Sifat galaknya mirip dengan Bulan. Bahkan tadi saat perempuan itu berkacak pinggang gerakannya mirip Bulan.
Langit menyapu dengan senang hati Bulan yang memenuhi pikirannya membuat laki-laki itu terus tersenyum bahagia. Baru hendak berbalik senyum Langit pudar. Melihat perempuan jadi-jadian yang menatapnya garang dengan tangan yang terlipat di depan dada.
"Lo baru disuruh nyapu jadi gila?" Langit berubah pikiran, cewek ini sangat berbeda dengan Bulan kalau Bulan gula, cewek ini tinta alias pahit.
Kalau Bulan milik Langit, cewek ini jones seumur hidup sepertinya.
Langit terus mengumpati cewek di depannya dalam hati. Merasa kesal karena selalu ditatap seperti manusia aneh dan gila.
Langit melewati cewek itu tidak peduli, membuat cewek itu tidak terima karena merasa diabaikan. "Heh!" Langit berbalik dan menatap cewek yang sedang menunjuk-nunjuk dirinya.
"Apa? Gue mau nyapu falkultas lainnya. Makin lo tahan di sini gue makin lama selesai." Langit beranjak tidak peduli membuat perempuan itu tambah dongkol.
"Udah, enggak usah. Lo ikut gue aja. Gue laper." Baru kali ini dia bertemu dengan manusia yang tidak takut dengannya. Biasanya dengan sok galak saja membuat banyak orang sudah ketakutan.
Langit meletakan sapunya dan mengikuti perempuan yang sedari tadi tidak dia ketahui namanya.
"Nama lo siapa? Gue daritadi bingung manggilnya." Langit mensejajarkan langkahnya sementara cewek itu terus membuat langkah besar walaupun kalah dengan langkah kaki Langit yang cenderung santai.
"Bacot, lo enggak berhak tau nama gue." Langit menepuk kepala perempuan itu untuk berhenti. Perempuan yang mempunyai kepala menggeram kesal.
"Lo jadi mirip anjing gue. Galak banget." Cewek itu langsung menghempaskan tangan yang bertengger di kepalanya dan berlari menjauh dari Langit. Masuk ke dalam ruangan kantin.
Langit ikut mengejar dengan langkah besar kembali bertanya nama perempuan galak itu terus menerus sampai perempuan dengan rambut pendek itu menjawab.
"Rachel! Puas?" Langit cengegesan lalu menyodorkan tangannya.
"Salam kenal anak kecil. Gue Langit." Perempuan yang sekarang dikenal namanya itu melengos tidak mau menjabat tangan Langit.
"Lo aja mahasiswa baru. Gue udah masuk sjni duluan. Lo bilang gue anak kecil. Ga sopan banget." Rachel menghentakan kakinya. Berhasil menginjak kaki Langit dan duduk di tempat yang kosong.
"Gue harusnya masuk dua tahun lalu. Harusnya sih kita sepantaran kalau enggak ya lo lebih muda dari gue," ucap Langit kemudian ikut duduk di kursi yang tersedia. Membuat posisi mereka jadi berhadapan.
Rachel diam lalu pergi untuk memesan makanan. Langit tidak ingin makan jadi dia hanya duduk menunggu perempuan itu kembali.
"Lo enggak apa-apa, kan? Makan nasi kangkung?" Langit melihat ke arah Rachel. Menatap bingung. Dia bahkan tidak pesan apapun.
"Gue enggak pesen apa-apa kok," ucap Langit kebingungan sementara Rachel berkacak pinggang lalu diam saja memilih duduk.
"Gue enggak mau makan sendiri. Jadi, lo diem aja ikut makan. Gue bayarin." Rachel berujar galak lalu memainkan ponselnya mengabari teman-teman pengurusnya dan membuka media sosialnya sesekali.
Saat makanan di berikan Rachel langsung menggerutu. Dia memesan mie goreng tanpa sayur dan yang datang malah penuh dengan potongan berwarna hijau yang menjengkelkan.
Langit yang akhirnya ikut makan melihat Rachel yang menggerutu. Tanpa banyak bicara Langit menarik piring Rachel memisahkan sayuran hijau itu ke dalam piringnya hingga bersih.
Rachel terdiam, cowok aneh di depannya ini membuat jantungnya berdetak kencang. Apa ini? Harusnya bukan perasaan itu, kan?