HAPPY READING!
Langit terdiam setelah menimang beberapa lama. Akhirnya dia muncul dari permukaan. Bulan yang berbalik setelah motor Bintang pergi langsung terkejut. Apalagi dengan kondisi Langit yang memakai tongkat dan kepalanya yang sudah diperban.
"Lo, kok bisa kayak gini?" Bulan menatap Langit dengan tatapan kasihan. Ikut merasa kesakitan saat melihat kaki Langit yang digips.
Langit diam lalu tersenyum. "Jangan ngelihatin gue dengan tatapan kayak gitu Lan. Gue enggak apa-apa kok."
Bulan diam dia merasa egois tiba-tiba. Dirinya bahkan berpikir yang tidak-tidak kemarin. Menganggap Langit memang tidak ingin menemuinya ataupun memang sudah tidak ingin melihat wajahnya.
"Bisa cerita?" tanya Bulan kembali. Menatap manik mata Langit yang teduh. Cowok itu mengangguk lalu berjalan dengan agak kesusahan karena kakinya. Bahkan tadi dia naik mobil online untuk ke sini.
"Apa yang mau lo tau, Lan?" tanya Langit setelah mereka duduk di bangku taman yang berada di dalam rumah Bulan.
"Semua. Kenapa bisa lo jadi kayak gini? Kenapa lo enggak dateng kemarin? Kenapa lo–" ucapan Bulan berhenti, Langit memotongnya.
"Jangan terlalu banyak. Gue enggak bisa jawab semuanya," ucap Langit lalu meletakkan tongkat kayu di samping tempat dia duduk.
"Maaf, gue selalu aja enggak nepatin janji. Selalu aja ngasih lo harapan tapi enggak pernah gue tepatin. Gue kecelakaan waktu itu. Motor gue dengan kecepatan tinggi dan ada mobil yang sengaja nabrak," ujar Langit menjelaskan lalu berhenti sejenak untuk bernapas.
"Bokap gue. Bokap gue yang nabrak, pengaruh alkohol dan narkoba. Untungnya gue enggak sampai parah karena kata orang rumah sakit. Gue ditangani dengan cepat." Langit berdiri setelahnya membuat Bulan ikut berdiri terkejut karena tiba-tiba laki-laki itu mengambil tongkatnya.
"Mungkin Lan, itu pertanda. Langit yang yakin di malam hari hanya ada dirinya dan Bulan. Hingga terkadang Langit tidak mempedulikan sehingga Bulan kecewa. Langit lupa kalau ada banyak Bintang yang perhatian dan selalu menemani Bulan setiap saat. Gue pamit. Terima kasih atas pertemanan kita selama ini." Langit tersenyum dengan tertatih-tatih dia pergi dari sana. Bulan ingin mencegah tetapi kakinya lumpuh seketika lidahnya kelu sehingga hanya matanya yang mampu menatap kepergian Langit.
Itu pertemuan terakhir mereka. Bulan sudah tidak pernah bisa menemukan Langit lagi. Rumah lama Langit terlihat kosong dan sudah tidak layak dihuni. Bulan yakin cowok itu sudah pindah. Bulan sendiri sudah tinggal di Bandung tempat yang seharusnya dia berada kalau orang tuanya masih ada.
"Bulan, gue ke kos dulu ya." Bulan mengangguk lalu melambaikan tangannya. Bintang satu universitas dengannya mereka jadi teman baik.
Bulan sendiri ada kelas berikutnya. Untungnya diberi jeda yang pas untuk makan siang. Bulan merenggangkan ototnya dan menutup semua bukunya memasukannya ke dalam tas dan membawanya.
Dia melangkah keluar dan turun di turunan yang lumayan jauh. Angin yang kencang membuat dia serta merta membetulkan terus menerus rambutnya yang sudah panjang.
"Permisi Kak, untuk tempat breffing jurusan akuntansi ada dimana ya?" tanya seseorang berbicara dengan Bulan. Cewek itu segera membetulkan rambutnya dan menjawab.
"Oh, itu ada di se–" Bulan terdiam. Masih mencerna orang yang berada di depannya. Mereka sama-sama terkejut tetapi enggan untuk berbicara terlebih dahulu sampai orang di depan Bulan berbicara lagi. Menyadarkan Bulan dari lamunannya.
"Lama enggak jumpa." Langit tersenyum dan Bulan membalasnya dengan senyum tipis.
Makan siang Bulan jadi agak tertunda. Tidak masalah, seseorang yang berada di depannya lebih penting.
"Selamat atas kelulusan SMA nya. Gue tau kalau ini telat. Tetapi, gue punya hadiah yang harusnya gue kasih ke lo sekitar tiga tahun yang lalu." Langit mengeluarkan kotak putih yang sudah agak kusam. Dia selalu membawanya kemana saja berharap suatu sast dia bertemu dengan pemilik kalung itu.
"Terima kasih. Bisa enggak kalau lo bantu pasang?" Bulan bertanya dan Langit mengangguk. Bulan bergeser memunggungi Langit menjadikan rambutnya menjadi satu agar Langit lebih mudah untuk memasangkannya.
Langit memasangkannya dengan perlahan. Dia menatap kepala belakang perempuan itu. Masih seperti dulu, cantik.
"Lo cantik kalau pakai rok." Langit berbicara kembali sementara Bulan tersenyum tipis.
"Makasih." Bulan menggeser posisinya seperti di awal, bersebelahan dengan Langit.
"Oh iya, selamat buat pacaran sama Bintang. Itu juga lupa gue ucapin, telat banget ya?" Langit cengegesan sementara Bulan menatapnya kebingungan.
"Bintang?" Langit mengangguk, mengiyakan ucapan Bulan menyakinkan kalau pendengaran Bulan tidak salah.
"Lo denger rumor darimana?" tanya Bulan dengan nada agak jutek. Langit langsung panik, merasa salah berbicara.
"Waktu dulu. Lo meluk Bintang. Gue pikir lo pacaran." Kilas balik ingatan Bulan muncul. Saat Bintang meminta permintaan terakhirnya adalah sebuah pelukan. Bulan tertawa lalu menjelaskan semuanya ke Langit membuat cowok itu bersorak dalam hati.
Bulan nunduk lihat kalung yang dipasangin Langit baru saja. Sebenarnya kalung ini begitu sederhana dengan liontin berbentuk bulan dan ada hati yang bergantung di sana.
"Lan, ini mungkin tiba-tiba. Tapi, Mama kangen sama lo." Bulan mengangkat kepalanya menatap Langit yang sedang berbicara.
Manik mata Bulan berbinar. "Beneran?" Langit mengangguk lalu tersenyum melihat reaksi Bulan yang begitu semangat.
"Kalau lo mau. Besok gue kabari buat ketemu Mama." Bulan mengangguk senang. Mereka bertukar nomor telepon dengan alasan Langit akan mengabari Bulan kapan Bulan bertemu dengan Mamanya.
Langit pamit terlebih dahulu. Dia takut kalau terlambat di hari pertamanya masuk kuliah. Untungnya tadi Langit sengaja untuk datang lebih awal yang membuat dia bertemu dengan Bulan.
Bulan sendiri akhirnya tidak ingin makan nasi. Dia memilih untuk membeli roti dan air mineral di minimarket dengan kampus. Duduk di bangku yang disediakan di sana sambil melihat ponselnya.
Bulan baru meneguk air minumnya sedikit. Tetapi ada suara yang muncul membuat Bulan terkejut. Air minumnya membasahi baju dan kalung yang diberikan oleh Langit baru saja.
Bulan mengelap kalungnya dengan asal-asalan. Dia menekannya dan menimbulkan suara dengan khas, itu suara Langit.
"Halo Bulan yang cantik walaupun galaknya setengah mampus! Kenalin gue Langit yang paling ganteng se alam semesta. Selamat atas kelulusannya cantik! Semoga lo bisa tidur dengan nyenyak setiap denger suara gue. Suara gue kan yang waktu itu lo incer. Fun fact, gue mau ngajak pacaran lo. Tapi, nenek lo nanti ngebakar gue hidup-hidup. Apalagi gue udah berhenti sekolah tambah di cincang gue sama nenek lo. Gue janji, kalau gue udah mapan dan tampan. Gue udah tampan sih cuma kurang mapan aja. Gue ajak nikah deh. Mau enggak? Harus mau sih enak aja kalau enggak mau. Udah deh, gue enggak tau mau bilang apa lagi. Dah." Deretan ucapan Langit yang Bulan dengar membuat Bulan terdiam.
Langit yang narsis dan penuh semangat. Langit yang Bulan suka. Tetapi, memang perasaan Bulan masih sama?