HAPPY READING!
Cowok dengan tinggi 180 centimeter mengusap wajahnya berulang kali masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Di sinilah dia berada di tempat yang belum pernah dia kunjungi.
"Udah lama?" Langit menggeleng sebagai jawaban. Cowok itu masih menatap tempat bercahaya remang.
"Bagus deh. Ayo beli tiketnya." Bulan berjalan masuk ke dalam sementara Langit mengikutinya.
Bulan berjalan dengan cepat seolah setiap hari dia ke sana. Berbicara dengan ramah dan menunjuk-nunjuk layar. Langit malah seperti anak hilang dan terlihat kampungannya.
"Kita emang mau ngapain?" tanya Langit saat Bulan memberikan lembaran berwarna merah dan menerima dua lembar kertas dari petugas.
"Nonton lah. Namanya juga bioskop," cerca Bulan sambil menarik tangan Langit menuju ke bangku terdekat. Bulan memainkan ponselnya sementara Langit terlihat seperti orang yang baru melihat dunia.
"Tiketnya harganya tiga puluh lima ribu Lan? Lo gila refund aja." Langit menaikan suaranya, terkejut ketika mencari harga tiket bioskop di ponselnya. Untung saja bioskop sedang sepi jadi yang menatap mereka hanya petugas bioskop yang banyak jumlahnya itu.
Bulan kaget dengan Langit yang berteriak. Cewek itu langsung menutup mulut Langit membungkam agar mulut Langit yang tidak ada tata krama itu bungkam.
"Berisik banget Lang!" Bulan membulatkan matanya mengancam Langit untuk diam. Langit meminta untuk tangan Bulan menyingkir dari mulutnya. Dia meronta dan memukul tangan Bulan untuk melepaskan.
"Janji enggak teriak-teriak lagi?" Bulan bertanya dan Langit mengangguk perlahan sebagai jawabannya. Tangan Bulan perlahan menyingkir sementara Langit langsung menghirup udara bebas.
"Ayo kita makan nasi goreng depan asuransi jiwa itu aja. Cuma sekitar lima belas ribu Lan. Kenyang." Langit mulai mengomel lagi sementara Bulan menatap cowok itu segit mengancam kalau misal Langit berbicara dia akan mencincangnya.
Langit pasrah dan mengeluarkan uang tiga puluh lima ribu. Dia juga tidak ingin dibayari oleh Bulan walaupun dia miskin. Setidaknya akhir-akhir ini jumlah yang dibayar di rumah sakit tidak sebanyak biasanya. Langit berharap kalau Mamanya segera keluar darisana menjalani hidup yang baik.
"Enggak mau." Bulan menolak uang yang disodorkan Langit membuat Langit menatapnya kebingungan.
"Kalau orang pacaran biasanya cowoknya yang bayar semuanya. Nah, karena kemarin gue yang ngajakin lo buat komitmen gue yang bayar." Bulan memberi penjelasan sementara Langit kebingungan. Kok dia merasa memanfaatkan uang Bulan untuk kesenangan pribadinya. Lagi pula dia kan cowok kenapa perannya jadi tertukar seperti ini.
Langit melihat ke sekeliling. Menatap tempat yang mengeluarkan bau wangi. Berjalan ke sana meninggalkan Bulan sendirian. Berbicara agak lama dengan petugas di sana dan kembali dengan satu buah popcorn.
Menyodorkannya ke Bulan lalu pergi lagi ke sana mengambil pesanan yang tersisa. Langit ingat Bulan menyukai es macha jadinya Langit membeli segelas es macha dengan es yang tidak terlalu banyak.
"Buat lo." Langit menyodorkan gelas yang tadi dia ambil dan diterima Bulan dengan kebingungan.
"Lo suka minum es rumput kan? Itu gue beliin." Langit menunjuk gelas yang sudah dipegang oleh Bulan. Mendengar kata es rumput membuat Bulan kesal minuman favorite nya dibilang rumput memang Bulan kambing?
"Namanya Macha. Bukan rumput bedain dong." Bulan mencibir lalu menyedotnya butiran halus dan manis memasuki tenggorokan Bulan membuat mood Bulan meningkat.
"Lo belum pernah coba kan? Nih minum." Bulan menyodorkan minuman hijau dan mengelap terlebih dahulu sedotannya. Dirinya juga tidak menyukai bekas orang lain jadi setidaknya dia juga harus menghormati orang lain untuk tidak minum bekas bibirnya.
Langit mencoba seteguk lalu mengelap sedotan itu juga menggunakan tangan. Mengikuti tingkah Bulan.
"Rasa rumput." Bulan menatap Langit tidak percaya. Minuman seenak ini dibilang rasa rumput.
"Lo pernah minum rumput?" Langit mengangguk membuat Bulan tergelak tidak menyangka dengan jawaban Langit.
"Waktu gue kecil. Gue lihat kambing makan rumput. Gue ikut makan dan enggak enak sama sekali." Bulan menutup mulutnya tertawa terkikik.
Membayangkan Langit mengunyah rumput membuat Bulan sampai tertawa terpingkal-pingkal. Cewek itu sambil menutup wajahnya sendiri menggunakan punggung Langit. Entah selucu itu atau memang cewek ini terlalu receh.
"Ketawa mulu Lan. Ini filmnya kapan mulainya?" Langit pasrah membuat punggungnya jadi sasaran pukulan Bulan sedaritadi.
"Mulai jam tiga. Rumput." Bulan tertawa lagi membuat Langit mengehela napas panjang. Sudha dipastikan Bulan akan tertawa terus. Langit harus sabar.
Langit menunggu Bulan selesai tertawa sekitar setengah jam an. Untungnya mereka tidak tertinggal filmnya. Langit jadi merasa banyak hal yang dia tidak tau. Dia jadi merasa minder sendiri.
Bulan cemberut Langit adalah laki-laki yang sangat menyebalkan. Bukannya mengomentari bagaimana alur cerita Langit malah mengomentari tentang rasa popcorn yang tadi dia beli.
"Gila sih Lan. Lima puluh ribu cuma berasa makan angin. Enak sih tapi, lima puluh ribu mending ditabung terus dibuat beli obat di apotik." Langit mengoceh setelah mereka keluar dari bioskop sampai telinga Bulan panas.
"Berisik Lang. Gue hantam juga lo. Ayo, pulang aja." Mood Bulan sudah hancur lebur padahal tadi film yang ditonton sangat seru untuk dibahas. Kartun yang bahkan membuat Bulan tertawa kencang.
Langit tidak tau dia salah apa tapi sepanjang perjalanan menuju rumah sakit Bulan terus memukulnya. Saat ditanya apa alasan Bulan memukulnya cewek itu selalu bilang.
"Enggak apa-apa. Bacot banget kayuh itu sepedanya yang bener." Tapi, Bulan tetap memukuli punggung Langit sepanjang perjalanan.
***
Nenek Bulan melihat Bulan yang pulang agak malam menggelengkan kepalanya. "Bulan, nenek mau bicara."
Bulan berhenti melangkah dan duduk di kursi yang kosong menunggu neneknya bicara.
"Bintang bilang kamu pacaran sama anak yang naik sepeda? Cowok yang bahkan setiap hari kerja. Cowok miskin?" Neneknya mengomel sementara Bulan menatap neneknya sebal.
"Bulan enggak pacaran tapi kita memang dekat. Nenek cuma mandang harta ya? Percuma Nek kalau misal cowok cuma punya harta tapi enggak bisa ngehemat enggak bjsa ngatur. Lama-lama hartanya juga habis." Bulan mulai mengutarakan kekesalan yang selalu mengganjal di hatinya.
"Nenek suka sama Bintang karena orang tuanya kaya? Kalau misal mereka bangkrut Bintang juga enggak bisa punya uang lagi," cerca Bulan sambil mengambil napas dalam kemudian melanjutkan ucapannya sendiri.
"Sementara Langit, dia memang enggak kaya harta kayak Bintang tapi, cowok itu bisa kerja. Lagi pula, apa salahnya sih Nek? Bulan cuma pengen punya temen yang normal tanpa lihat harta yang bahkan itu bukan punya Bulan. Itu punya mama papa Bulan. Punya nenek." Bulan berdiri dan pergi dari sana membuat neneknya memegang kepalanya pusing.
Cucu satu-satunya tidak pernah tau dunia luar. Pernikahan ataupun pertemanan dengan kasta yang sebanding itu sangat menguntungkan.
Cucunya digelapkan oleh perasaan yang akan mengkhianatinya suatu saat. Neneknya berharap Bulan segera sadar. Kalau uang itu segalanya.