HAPPY READING !
Teriakan yang memekakkan telinga memenuhi ruangan, pisau buah yang biasanya digunakan untuk memotong buah sekarang berlumuran darah. Pasien itu menjerit saat para perawat mendekatinya secara bersamaan, pasien itu mengancam dengan pisau di tangannya.
"Bu, jangan seperti itu. Tenang, ya, Bu. letakan pisaunya dulu, ya," ucap Bu Putri selaku penjaga yang diminta oleh Langit sendiri dengan agak waswas.
"Jangan mendekat! Se- selangkah lagi kalian mendekat saya akan membunuh kalian semua!" Tangannya bergetar, bersamaan dengan isak tangis yang keluar dari bibirnya. Semakin banyak orang yang menenangkan semakin tangannya mengenggam erat pisau itu.
"Saya sudah bilang jangan ganggu saya lagi! Jangan menghantui saya!" Teriakan frustrasi yang terdengar lantang. Kedua tangannya sudah menutup telinganya seolah ada suara yang membuat dia bertambah emosi dan ketakutan.
"Jangan sakiti Langit!" Napasnya memburu dan tiba-tiba saja pisau itu dilempar ke sembarang arah membuat semua petugas rumah sakit terkejut, untung saja setelah itu mereka langsung mengamankan ibunya dan menyuntiknya dengan obat penenang.
Langit mengelap meja dengan penuh semangat sesekali dia menyemprotkan cairan pembersih hingga meja itu mengkilap.
"Langit! Telepon lo bunyi terus tuh. Diangkat sana." Teman satu kerjaannya memanggil Langit untuk masuk ke dalam. Langit meletakan kain dan semprotan pembersih itu di meja dan berjalan ke dalam tempat istirahat karyawan.
Telepon itu bahkan masih bergetar membuat Langit langsung mengangkatnya.
"Halo?" Langit menunggu orang di sana berbicara seketika raut wajahnya berubah. Wajahnya menjadi serius dan mengerutkan dahi.
"Saya ke sana sekarang Bu." Langit bergegas untuk mengeluarkan tasnya dari dalam loker, tindakannya terhenti saat mendengar jawaban dari arah telepon.
"Tidak usah sekarang Langit, setelah kamu pulang dari bekerja saja. Mama kamu sudah diberi obat penenang," jelas orang yang berada di seberang sana dengan suara kecil.
"Baik Bu, nanti saya akan kesana setelah semua pekerjaan selesai." Sambungan terputus setelahnya, pikiran Langit benar-benar sudah bukan di tempat kerjanya. Bahkan saat dia keluar dari ruangan itu, pikirannya hanya satu. Pulang.
Kini giliran Langit untuk mengantarkan pesanan ayam dengan saus madu dan ditaburi biji wijen ke meja nomor sebelas dan cakwe udang ayam dengan saus mentega ke meja nomor enam. Langit mengambil nampan dan meletakkannya dengan senyum tipis.
"Loh, Mas. Saya enggak pesan ini." Langit yang merasa dipanggil langsung berbalik arah dan kembali ke meja nomor enam menatap pelanggannya. Memang warna bumbu mereka hampir sama membuat Langit yang tidak fokus asal meletakan saja.
"Oh, maaf. Saya salah harusnya punya meja sebelah. Sebentar ya Kak." Langit dengan gelagapan mengambil makanan itu dan berjalan ke meja nomor sebelas.
Langit hampir jantungan saat melihat cakwe udang ayam yang berada di meja nomor sebelas itu sudah dimakan yang artinya tidak bisa ditukar lagi. "Maaf Kak, saya salah memberikan pesanan Kakak harusnya ini untuk meja nomor enam." Langit berbicara lagi sementara orang yang berada di meja nomor enam menatapnya dengan tidak suka.
"Terus? Minta gue keluarin yang udah gue makan?" Orang itu menatap Langit meminta jawaban.
"Karena pesanannya salah kami akan tukar dengan yang baru Pak," ucap Langit ramah walaupun dalam hati dia merapalkan doa untuk tidak dipecat.
"Enggak perlu, ayam yang gue makan ini udah enak," ucapnya sambil melahap kembali potongan cakwe udang ayam itu.
"Maaf sebelumnya Pak, Menu ini cakwe udang aya-" ucapan Langit terhenti ketika kerahnya ditarik oleh pelanggan itu, dia menatapnya dengan mata yang hampir keluar membuat Langit bergetar ketakutan.
"Pak, jangan main tangan ya, Pak." Teman Langit berusaha menenangkan keadaan sekitar.
"Kedai kalian mau tanggung jawab kalau saya masuk rumah sakit? Saya alergi udang!" Tubuh Langit di dorong dengan penuh emosi pelanggan itu membuka tasnya. Tangan dan wajahnya sudah mulai gatal-gatal. Obat yang berada di tasnya hilang entah kemana.
Pemilik kedai itu memanggil ambulans, sekitar lima menit mobil itu datang dan dengan cepat mereka membawa pelanggan itu dan pergi untuk menuju ke rumah sakit. Langit diminta untuk pergi ke ruangan tempat bosnya biasa memantau.
"Langit, baru kali ini saya lihat kamu selalai itu. Kamu ada masalah apa?" Pak Romi duduk di mejanya dengan kedua tangan di depan wajahnya, menunggu Langit untuk menjawab.
Langit menundukan kepalanya. "Maaf, Pak. tadi saya menerima telepon dari perawat yang saya minta untuk menjaga Ibu saya. Katanya, Ibu saya melakukan itu lagi." Pak Romi menghela napas panjang.
"Ya sudah, jadikan hari ini sebagai pembelajaran. Tapi, kamu harus membayar ganti rugi, besok ke rumah sakit ke tempat pelanggan tadi diantar. Minta maaf. Hari ini kamu boleh ke tempat Ibumu." Langit mengangguk merasa bersalah lalu undur diri, Langit pamit pulang ke teman-temannya.
Sepeda Langit di tarik keluar dan dia mulai mengayuh sepedanya. Dia ingin mengobrol dengan Ibunya, mengeluarkan semua unek-uneknya walaupun mungkin tidak akan mendapatkan respons.
"Loh, Langit? Kok sudah ke sini bukannya harusnya kamu masih kerja?" Bu Putri terkejut ketika melihat Langit yang ngos-ngosan datang ke arahnya.
"Kata Pak Romi, boleh Bu daripada Langit enggak fokus katanya." Bu Putri mengangguk paham, dia mulai menceritakan bagaimana kondisi yang ricuh tadi.
Awal mula Ibunya meminta untuk dipotongkan buah seperti biasa Bu Putri juga sedang mencuci buah dan teriakan itu terjadi. Ibunya melukai dirinya lagi tanpa alasan yang jelas.
Langit menatap Ibunya yang sudah tenang dia ijin untuk masuk ke dalam dan Bu Putri ikut masuk ke dalam. Laki-laki itu menggenggam tangan Ibunya sembari menatap wajah Ibunya yang terlihat tenang, Ibunya berubah menjadi suka menyakiti dirinya sendiri semenjak Ayahnya menghilang.
Bu Putri mendapat telepon dan pamit untuk keluar, Langit hanya mengangguk menyetujuinya. "Ma, Langit habis pulang kerja langsung ke sini. Tadi denger kabar Mama ngelakuin itu lagi Langit jadi kepikiran terus sampai tadi Langit bikin orang lain celaka. Langit ceroboh banget ya, Ma?" Langit menempelkan kepalanya di pinggir kasur sambil terus memainkan jemari milik Mamanya.
"Habis bikin orang celaka Langit bahkan cuma mikir gimana kalau nanti Langit dipecat, biaya rumah sakit Mama gimana. Langit kelihatan jahat banget ya, Ma?" Langit mulai menepukan tangan Mamanya ke kepalanya, seolah-olah Mamanya mengelus kepalanya dengan lembut.
"Sekarang Langit mikir kalau Langit jahat banget bikin orang celaka tapi yang dipikir malah diri sendiri. Langit besok mau minta maaf sama pelanggan itu, Mama doain ya biar Langit dimaafin." Langit terus berbicara tanpa mendapat jawaban sama sekali walaupun begitu, Langit sangat puas dan terlelap tidur.
Bu Putri mendengar sebagian cerita Langit dan masuk ke dalam ruangan setelah anak laki-laki itu tertidur pulas. Bu Putri menyelimuti anak itu dan mengelusnya dengan sayang. Anak ini telah berjuang lebih keras daripada anak lainnya.
"Ma, Langit capek." Langit berbicara dengan suara paruh saat Bu Putri sedang mengelus kepalanya membuat Bu Putri menutup mulutnya menahan untuk tidak mengeluarkan suara isakan.