“Kara..” Aksa berjongkok di hadapan Lengkara. Menengadah menatap sang gadis yang begitu ia cintai. “Will you mary me?”
Lengkara terperangah dan menutup mulutnya yang menganga. Ia tak menduga bahwa pernikahan ini sungguhan. Altar yang sederhana tapi indah, dua pihak keluarga yang hadir, serta teman-teman dan penghulu yang siap menikahkan keduanya. Sebelum menjawab, ia ingin memastikan sekali lagi bahwa ini bukanlah mimpi. Ia sudah bangun dari tidur semalaman dan kini berdiri di antara kenyataan.
“Aksa.. ini..”
Aksa mengembangkan senyumnya. “Ini nyata, Kara, aku beneran lamar kamu dan mau nikahin kamu.”
Lengkara tak bisa mendefinisikan betapa bahagianya ia. Menikah dengan Aksa adalah impiannya. Dan sekarang pemuda itu tengah memintanya untuk menjadi bagian dari hidupnya. Bagaimana Lengkara bisa menolak?
“Gimana?” Aksa masih berjongkok, menunggu jawaban dari Lengkara.
Lengkara mengangguk setuju. Lantas riuh tepuk tangan terdengar disertai sorak-sorai teman-teman Aksa.
Aksa berdiri, memeluk Lengkara dan mencium sekilas kening gadis itu. “Langsung nikah aja ya?”
Lengkara mengangguk cepat. Ia mendekap erat kekasihnya dengan kebahagiaan yang membludak.
Keduanya menghadap penghulu, dengan gemetar, takut, dan gugup Aksa meminta izin kepada ayah Lengkara untuk menyerahkan puterinya padanya dengan maskawin yang sudah ia siapkan dari hasil jeripayahnya selama ini tanpa campur tangan atau uang dari bapak dan mama. Maka dengan tangis haru, Aksa dengan lantang menyebutkan nama Lengkara dan berakhir dengan kata—
“Sah?”
“SAH!” kompak seluruh hadirin.
Saat saling tukar cincin, tak ayal godaan terdengar dari mulut-mulut gatal Sagara dan Galen. Mereka terus berceloteh seakan merekalah yang paling bahagia di sini. Kemudian dipeluknya Lengkara setelah cincin tersemat di jari manis mereka. Setelahnya untuk kali pertama Aksa mencium bibir sekilas Lengkara dengan jantung yang berdebar cepat. Begitu pula dengan Lengkara, sebab ini kali pertama mereka berciuman.
“Aduh mas jangan di sini dong! Di hotel sono! Deket tuh deket tinggal jalan!” jerit Galen ribut.
“Ah elah jadi pengen nikah! Gam, nikahin gue, Gam, cepet! Gapapa deh sama cewek manapun yang ada di sekitar pantai, gue rela! Mumpung masih ada bapak penghulunya, Gam!” Novan merengek pada Agam yang langsung menepisnya. Hal itu justru mengundang gelak tawa.
Aksa dan Lengkara saling bersitatap. Keduanya kini adalah manusia paling bahagia.
“Jadi selama ini kamu diam-diam mewujudkan semua mimpi aku?” Tanya Lengkara masih dalam pelukan Aksa.
“Iya, aku lakuin itu buat kamu.”
“Makasih, Sa.”
“Jangan Sa dong, tapi mas suami.”
Lengkara terkekeh, tepatnya salah tingkah. “Jadi kita beneran udah suami istri nih?”
Aksa mengangguk, “Jelas dong. Aku boleh ya sekarang emm..” Aksa menaikturunkan alisnya. Lengkara yang mengerti maksudnya ke mana langsung menginjak kaki Aksa, kemudian tanpa berdosa gadis itu berlari terbirit dengan gaun yang disingkapnya.
“KARA!! JANGAN JADI ISTRI DURHAKA KAMU YA!”
Lengkara tertawa terbahak-bahak saat Aksa dengan geram mengejarnya.
Hari itu adalah hari yang paling terbaik di antara yang terbaik bagi Lengkara. Ia bisa merasakan kebahagiaan luar biasa yang tak akan pernah ia lupakan. Kebahagiaan itu bersumber dari Aksa, keluarga, dan teman-temannya.
Satu hari yang terasa singkat melahirkan jutaan kebahagiaan tanpa akhir. Merangkum semua hari-hari penuh perjuangan, menghadapi kanker otaknya yang kian mengganas, menurunkan ego demi orang-orang tercinta, menjalin kasih dengan seorang Aksa, berdamai dengan dirinya sendiri dan sahabatnya Fera, serta berakhir dengan momen paling mengesankan.
Lengkara bersyukur dengan semua yang ia dapatkan setelah banyak penderitaan yang ia rasakan. Ternyata memang benar, keikhlasan sesungguhnya membuka pintu untuk segala keberkahan serta kebahagiaan.
Ya Tuhan,
Jika aku masih Kau beri kesempatan untuk hidup lebih lama lagi, aku harap bisa selalu bersama mereka setiap waktu. Mengukir kenangan indah lebih banyak lagi dan saling menyayangi dalam keadaan apapun.
Namun, jika Kau telah berkehendak untuk lebih cepat menjemputku pulang, tolong jagalah mereka yang kucinta. Berikan mereka ketenangan dan kesenangan yang abadi. Jangan bekaskan luka kesedihan karena kepergianku yang tak akan pernah kembali. Tapi ukirkanlah keikhlasan di hati mereka masing-masing.
Sebab, aku begitu mencintai mereka melebihi apapun di dunia ini.
.........
Masih dengan gaun pengantinnya, mereka kini duduk di bawah pohon yang rindang. Menatap pantai yang tak lelah menunjukkan kecantikannya serta taburan bintang gemerlap di langit malam. Siang, malam bahkan setiap waktu deburan ombak tak pernah berhenti mengalunkan musik paling menenangkan di dunia ini. Dielusnya kepala Lengkara yang hanya ditumbuhi oleh beberapa rambut sementara pandangannya mengarah ke pantai. Setelah seharian menikmati kebersamaan dengan semua orang yang tadi hadir saat pernikahan di gelar, kini mereka menikmati waktu hanya berdua saja seraya memandangi indahnya ciptaan Tuhan.
“Sa?”
“Iya, sayang?”
“Makasih ya udah bahagiain aku.” Lengkara memainkan jemari tangan kiri Aksa. “Kamu udah ngelakuin semuanya buat aku. Sampai aku gak tahu lagi balesnya pake apa.”
“Kamu gak perlu bales semuanya, Kar. Aku lakuin itu karena aku ikhlas dan aku mau.”
Mendengar hal itu, seperti ada sebuah cairan dingin menjalar di dadanya, sejuk.
“Aku minta maaf, Kar, kalau selama ini aku sering nyakitin kamu.” Ujar Aksa.
Lengkara merubah posisinya jadi menatap Aksa dari bawah. Sementara pemuda itu balik menatapnya. Setiap inci kecantikan Lengkara terlihat jelas di posisi seperti ini. “Kamu gak pernah nyakitin aku sekalipun, Sa. Kamu adalah lelaki sempurna yang seharusnya gak ada di dunia nyata. Kamu itu tokoh fiksi yang nyaris terbayang saja. Dan aku adalah manusia paling beruntung bisa mendapatkan lelaki seperti kamu.” Lengkara memainkan hidung mancung Aksa.
“Kalau aku pergi, jaga diri kamu ya? Jangan sampai kamu tenggelam dalam kehilangan dan kesedihan. Aku pengen kamu bahagia dan selalu tersenyum seperti sekarang. Tetap tebar kebaikan dan keceriaan pada orang-orang, Sa. Karena itulah sosok diri kamu yang sebenarnya.”
Teringat kembali akan hal itu, Aksa merasa terluka dan tak kuasa menahan kesedihannya.
“Jangan nangis, Sa. Aku gak suka lihat kamu nangis kayak gini.” Diusapnya rahang tegas Aksa. Lengkara mencoba tegar meski ia sendiri pun paling terpuruk dan takut. “Aku sayang sama kamu melebihi apapun. Makasih udah mau perjuangin banyak hal buat aku.”
Aksa mengangguk, ia tak kuasa lagi menahan kesedihannya hingga air matanya jatuh ke pipi Lengkara.
“Udah jangan nangis.” Lengkara mengusap air mata Aksa. Sekilas ia menarik wajah Aksa untuk mengecup bibirnya. “Kara sayang Aksa.”
“Aksa sayang Kara.”
Lengkara mengulas senyum, ia sedikit merubah posisinya senyaman mungkin. “Aku ngantuk, Sa, boleh tidur sebentar? Semalem aku tidur jam 2 pagi, dan karena acara mendadak tadi aku kecapean. Bangunin aku ya kalau kamu pegel? Jangan di gendong ke kamar, aku gendut tahu! Nanti kamu encok!” kekehnya.
Aksa membelai wajah kekasih yang kini telah sah menjadi istrinya. Dengan anggukan kepala yang terasa berat, perlahan mata indah itu memejam. Tertidur pulas di atas pangkuan Aksa. Awalnya Aksa mengira bahwa Lengkara hanya tidur sementara. Nafasnya terdengar teratur mengikuti jalur menuju alam bawah sadar. Hingga beberapa menit kemudian, nafasnya menghilang. Lengkara tidak tidur sementara, gadis itu tidur untuk waktu yang lama. Selamanya.
Tangisnya pecah. Aksa tak bisa lagi menahan emosi itu. Dipeluknya tubuh Lengkara yang hampir mendingin. Pemuda itu bahkan tidak lagi merasakan pergerakan di tubuh Lengkara. Tak ada lagi senyuman yang terulas di bibir itu. Tak ada lagi tawa yang terdengar di telinganya. Ia kira Lengkara hanya tidur sebentar, ternyata gadis itu pamit untuk melanjutkan perjalanan tanpa dirinya.
Ia berharap, sangat berharap, Lengkara terbangun dan menggelakan tawa. Bahwa tidurnya hanya sebuah senda gurau. Bahwa kepergiannya hanya sebuah kebohongan.
Aksa merasakan kehancuran yang luar biasa menyakitkan. Dipanggilnya nama sang kekasih berulang kali. Mendengar teriakan itu, semua orang berlari mendekat, termasuk teman-teman Aksa, Fera dan keluarga keduanya. Mereka sama-sama menumpahkan duka yang kini terjadi.
Lengkara telah pergi, melanjutkan perjalanannya yang panjang seorang diri.
“Selamat tinggal, Lengkara. Aku mencintaimu.”
.........
Bunga pengantar bela sungkawa berjajar di luar rumah dan pekarangan. Potret Lengkara yang menampilkan senyum tulusnya berjajar rapih menampilkan deretan kenangan abadi. Para tetangga, kerabat, sahabat, dan teman-temannya mulai berdatangan. Menyampaikan bela sungkawa seakan berharap bunda, ayah, dan Kinara menyudahi duka yang menghancurkan hati mereka.
Tubuh Lengkara kini terbujur kaku dengan seurai senyum ketenangannya. Tak ada lagi sakit yang dirasa, tak ada beban yang dipikul. Gadis itu pergi dengan tenang setelah banyak sekali hal yang ia lewati mati-matian.
Di samping Lengkara, bunda dan Kinara terpekur hancur. Berulang kali bunda menangis, tak sadarkan diri dan kembali menangis. Seperti sebuah mimpi paling buruk yang pernah ia alami, bunda masih tak percaya bahwa puterinya pergi secepat ini. Padahal baru saja kemarin mereka saling berpelukan dan berucap sayang. Padahal baru saja kemarin Lengkara berjanji untuk tak pernah meninggalkan. Kini janji itu tinggal kenangan, sebab raga dan jiwanya telah pulang pada Sang Pencipta.
Sedangkan ayah melamun dengan tubuh yang bersandar pada tembok yang terasa dingin. Berbagai ucapan menguatkan tak mampu menenangkan hatinya yang begitu hancur atas kepergian Lengkara. Puteri kecilnya yang sangat suka mengusilinya kala bekerja dalam rumah, puteri kecilnya yang setiap santai menonton film Tom and Gery bersama, kini telah pergi tanpa menjanjikan untuk kembali. Mungkin ayah tak melampiaskan kesedihannya melalui tangis. Namun dari pandangan kosong dan muramnya sudah menjelaskan bahwa ia terluka atas kepergian Lengkara.
“Kar..” Aksa meracau, ia merasakan begitu sakit yang mendera dalam hatinya kala melihat wajah Lengkara yang kini tak akan ia lihat setiap waktu. Bibir itu, tak akan lagi tersenyum dan tertawa, mengomelinya tentang banyak hal dan mengatakan sesuatu yang menenangkan. Mata itu, tak akan terbuka lagi dan menatapnya dalam, melihatnya dari kejauhan di tribun saat latihan. Menenangkan gundah gulana dalam hatinya kala mata itu melayangkan ketulusan. Hanya kenangan yang tersimpan abadi dalam benaknya. Tentang Lengkara, gadis yang begitu ia cinta.
Aksa kehilangan untuk kedua kalinya. Maka kehancuran yang ia rasakan pun rasanya berkali-kali lipat sakitnya. “Sekarang kamu gak akan lagi ngerasa kesakitan, Kara. Tapi kenapa sakit itu sekarang di sini, Kar..” Aksa menekan dadanya. Ia menundukkan kepala, tak sanggup menerima kenyataan sepahit ini.
Sagara yang sedari tadi berada di sampingnya berupaya menenangkan Aksa. Sagara pun turut bersedih, sebab Lengkara adalah orang baik yang ia kenali. Begitu pula dengan Agam, Novan, Galen dan Fera. Mereka duduk berjajar di kursi dengan kesedihan yang melekat di wajah masing-masing. Fera bahkan terlihat sangat lemah dan terguncang. Gadis itu bersandar di pundak Galen dengan tangis yang tak usai.
Dielusnya wajah dingin nan pucat Lengkara. Sekali lagi, sebelum Lengkara benar-benar tak bisa disentuhnya, Aksa ingin mengabadikannya lagi. Dengan lantunan doa yang perlahan luruh, menuntun Lengkara menuju cahaya terang, menjadikannya sebuah jembatan untuk Lengkara sampai kepadaNya.
“Aku berharap kita bertemu suatu hari nanti di sana, Kar. Aksa sayang Kara.” Lirihnya. Beberapa saat kemudian jenazah Lengkara diangkat, dimasukkan ke dalam keranda dan hendak dikebumikan di TPU yang tak jauh dari rumah kediaman keluarga Lengkara.
Aksa turut membantu di bagian depan. Meski hatinya sesak, nyaris lemas karena masih tak menduga akan kepergian Lengkara, Aksa ingin mengantar sang istri ke tempat peristirahatan terakhirnya. Dengan air mata yang tak mampu ia bendung kembali, Aksa melolong dengan punggung yang bergetar, mencium wajah cantik itu untuk terakhir kalinya, sebelum Lengkara perlahan ditutupi oleh tanah. Sepenuhnya kembali kepada Yang Maha Kuasa setelah berjelajah selama 20 tahun di dunia.
Bunda sama percisnya. Sekali lagi bunda sampai tak sadarkan diri. Beberapa menit kemudian bunda terbangun, derai air mata masih mengalir. Mulutnya meracau memanggil Lengkara. Kinara tak sanggup menahan tangis yang terbendung, apalagi melihat bunda sesedih ini.
Fera menangis histeris dipelukan Galen. Kepergian sahabatnya itu menorehkan luka paling menyakitkan di hatinya. Padahal masih banyak hal yang ingin ia lakukan dengan Lengkara. Namun Lengkara memilih untuk berpetualang sendirian tanpanya dan tanpa siapapun. Fera masih tak percaya bahwa ini semua terjadi. Ia masih menganggap ini hanyalah sebuah mimpi. Galen terus berusaha menenangkan Fera. Ia mengerti dan tahu betapa sakit dan hancurnya Fera sekarang.
Banyak sekali jerit tangis yang mengantarkan Lengkara pada kepergiannya. Semesta pun ikut bersedih dan menurunkan air matanya dengan gemercik. Hingga sepenuhnya Lengkara kembali padaNya, bunga-bunga bertaburan di atasnya. Menjadi simbol perpisahan yang teramat menyakitkan.
Bunda memeluk gundukan tanah itu. Berharap sebuah keajaiban diberikan padanya. Ia ingin Lengkara kembali terbangun dan menjalani hari seperti biasa. Tangisnya pecah, mengiringi rintik air yang turun ke bumi. “Kara, jangan tinggalin bunda! Kenapa kamu tega tinggalin, bunda?! Bunda salah apa?!”
Saat bunda menangis dengan histeris, Kinara mati-matian menahan kakinya untuk tetap berdiri tegak. Ia berusaha menahan pengap yang menekan dadanya dengan kejam. Hingga akhirnya tubuh itu luruh, terjatuh tepat di samping gundukan tanah tempat peristirahatan terakhir adik tercinta. Menangis sejadi-jadinya, meraung, memanggil Lengkara yang begitu ia sayangi.
Sementara Aksa terduduk lemas di belakang pusara bertuliskan Lengkara Mahreen Khansa. Ia hanya menunduk dan merasa seperti ada sebuah bilah pisau yang menyayat hatinya. Rasa sakit bertubi-tubi itu seakan memburunya dengan kejam. Kepergian Lengkara adalah mimpi buruk baginya. Meski sedari awal ia sudah siap dan nekad mencintai seorang gadis yang putus asa karena penyakit kanker otaknya, namun ternyata kala hari itu tiba, Aksa malah hancur sehancur-hancurnya.
Selamat tinggal, Lengkara. Hanya itu yang mampu ia suarakan melalui hatinya. Kepada gadis yang kini sangat jauh dengannya. Tak akan pernah bisa ia gapai lagi tangan mungil Lengkara. Tak akan pernah bisa lagi ia dekap tubuh hangat Lengkara. Sepenuhnya Lengkara telah pergi, bersama kenangan terindah yang telah mereka lalui bersama. Kini gadis itu tenang, tanpa rasa sakit, tanpa resah, dan tanpa beban yang membuat dirinya berubah.
...........
Dua hari berlalu setelah kepergian Lengkara untuk selamanya. Duka masih menyelimuti orang-orang yang ditinggalkan. Tangis dan rasa sakit masih mendera kala mengingat sosok Lengkara di sekitarnya. Bunda, jatuh sakit dan berakhir di rawat di rumah sakit. Darah tingginya naik, dan bunda sama sekali tidak mau makan. Bunda terus meracaukan nama anak gadisnya yang kini telah berada di sisi Tuhan. Ayah dan Kinara tak bisa apa-apa selain menguatkan bunda. Meski mereka pun sama hancurnya seperti bunda.
Bertepatan dengan jatuhnya musim penghujan, setiap waktu tanpa bisa diprediksi, langit terus-menerus mengalirkan airnya. Membasahi bumi tak peduli betapa kedinginannya ia. Aksa tersenyum sumir beberapa saat, diiringi air mata yang mengalir melalui rahang tegasnya. Sudah dua hari ini pula ia hanya berdiam diri di kamar seorang diri. Bapak dan mama tak berani mengusik, sebab mereka tahu kondisi Aksa kini. Kehancuran yang ia alami beberapa tahun lalu, kini terulang lagi dengan kehilangan yang sama.
Lengkara, kekasihnya, istrinya, telah pergi jauh tanpa memintanya untuk mendampingi.
Agam, Novan, Galen, dan Sagara tak berani membujuk Aksa untuk keluar dari kamarnya. Mereka ingin memberikan Aksa ruang untuk merelakan Lengkara. Melepas dan ikhlas demi ketenangan sang gadis di sana.
Aksa merebahkan tubuhnya pada lantai marmer yang dingin. Tak peduli betapa menjeritnya pori-pori tubuhnya kini. Perlahan-lahan matanya terpejam, lantas muncul bayang Lengkara di benaknya. Tersenyum dengan indahnya seakan memberikan Aksa ketenangan untuk mengobati kesedihan. Ia ingat betul betapa Lengkara sangat suka sekali hujan. Gadis itu akan rela basah kuyup demi merasakan segarnya air yang turun dari langit, seraya menari-nari bebas untuk melupakan beban dan masalah yang berputar di kepalanya.
Itulah sebabnya setelah kepergian Lengkara, Aksa selalu rela duduk terdiam di bawah hujan, tanpa beranjak sampai langit kembali menampilkan cerah di siang dan sore hari, serta menampakkan gemerlap bintang di malam hari.
“Aksa..”
Aksa menoleh, menemukan Lengkara yang duduk di sampingnya. Eskrim belepotan di bibirnya, hingga Aksa membersihkan sisa eskrim dengan jempolnya sendiri. “Kamu kayak anak kecil, belepotan tahu.”
Alih-alih tersinggung, Lengkara justru menyunggingkan senyum. “Sengaja, karena aku suka diperlakukan kayak gini sama kamu.”
Aksa ikut tersenyum, hatinya terasa segar seperti ada sebuah air dingin membasahinya. Kemudian gemerling jahilnya muncul, “Gimana? Kayak gini?” Aksa mengikis jarak dengan cepat. Lengkara dibuatnya terkejut sampai menarik kepalanya ke belakang.
“Ih otak mesum!” Lengkara menyodorkan eskrimnya ke wajah Aksa sehingga pipi kiri Aksa setengahnya dipenuhi oleh eskrim. Lalu Lengkara berlari menghindari Aksa dengan gelak tawanya.
Geram, Aksa mengejar Lengkara sampai tertangkap. Dipeluknya Lengkara dari belakang, mengangkat gadis itu dan mereka berdua berputar sampai Lengkara menjerit dan tertawa.
Kembali Aksa merintih perih. Tangisnya kembali pecah hingga tubuhnya gemetar. Ia meringkuk di lantai dingin itu. Baginya, perpisahan yang disebabkan oleh kematian adalah perpisahan yang paling menyakitkan. Ia tak akan pernah lagi mendengar suara Lengkara. Tak akan pernah lagi merasakan kehangatan saat dirinya memeluk tubuh kecil gadis itu. Tak akan pernah lagi merasakan perhatian yang diberikan Lengkara padanya.
Seandainya semesta lebih dulu mengenalkannya dengan Lengkara, mungkin kisah cintanya tak akan semenyakitkan ini. Mungkin Aksa akan lebih cepat menyadarkan Lengkara agar segera menjalani pengobatan untuk kesembuhan.
Namun takdir berkata lain. Aksa tak akan bisa terus berandai-andai. Aksa tak akan pernah bisa memutar waktu. Lengkara telah pergi dan Aksa tak akan pernah mampu membuat Lengkara kembali. Kini hanya doa yang mengalir untuk Lengkara, menyelipkan kerinduan dan cinta yang menggebu untuknya. Ini adalah resikonya. Sedari dulu, saat pertama kali mengakui bahwa ia jatuh cinta kepada Lengkara, jauh dalam lubuk hati Aksa, ia sudah siap atas segala kemungkinan dan kehilangan gadis itu. Meski terkadang egoisnya selalu meminta Tuhan untuk mengulur waktu, agar dia bisa lebih lama lagi dengan Lengkara jika memang penyakit itu tak bisa lagi disembuhkan.
“Kamu di sana pasti sendirian, Kar. Seharusnya kamu di sini sama aku.”
Derasnya hujan masih menjadi alunan memilukan yang ia dengar. Menjadi irama atas kehilangan yang menyakitkan.
“Maaf kalau aku belum bisa jadi lelaki sempurna di mata kamu. Maaf aku pernah ninggalin kamu. Maaf aku pernah nyakitin kamu karena keegoisan aku.” Aksa menghela nafas dalam, sesak telah memenuhi dadanya.
Hari mulai gelap, namun hujan masih belum reda. Seolah mengerti duka yang masih menyelimuti Aksa.
“Aku kangen kamu, Kara. Aku pengen peluk kamu, aku pengen denger suara kamu. Aku pengen suruh kamu pulang, tapi nyatanya gak akan pernah mungkin dan gak akan pernah bisa.” Aksa membiarkan air matanya jatuh tanpa ia cegah.
.........
“Sa, ini udah mau seminggu, jangan kayak gini, Sa. Nanti Lengkara sedih.” Agam menghembuskan nafasnya. Sudah setengah jam mereka semua berupaya membujuk Aksa. Namun yang dilakukan Aksa hanya melamun dengan pandangan kosong. Seakan tak ada gairah untuk kembali hidup di bumi ini.
“Kasihan bapak sama ibu lo, Sa. Bukan cuman kehilangan Lengkara, tapi mereka kehilangan lo juga. Raga lo emang di sini tapi jiwa lo gak ada, Sa.” Imbuh Sagara.
“Setiap pertemuan pasti menghadiahkan perpisahan. Gue tahu, perpisahan lo terlalu menyakitkan. Bukan cuman buat lo, Sa, tapi buat kita semua juga. Apalagi Fera, orang yang cukup lama sahabatan sama Lengkara. Sekarang kita harus ikhlas dan merelakan kepergian Lengkara. Jangan terlalu larut dalam kesedihan berkepanjangan, Sa. Kasihan Lengkara, dia gak tenang di sana kalau lo terus begini.” Lagi, Novan tak didengar.
Sekeras apapun mereka menasehati dan membujuk Aksa, pemuda itu malah makin menutupi tubuhnya dengan selimut. Seakan menolak kata demi kata yang dengan sukarela mereka berikan.
..........