“Kalian siapa?”
Pertanyaan itu bagai sebuah tombak panah yang menancap di dada mereka. Mereka semua lantas mematung, bingung, terkejut, sekaligus sedih menjadi satu. Terutama Fera yang siap-siap menangis, bilamana Galen tidak menenangkannya dengan dekapan.
“Kita..” Sagara nampak kebingungan. Ia sebenarnya tahu kondisi ini. “Kitaa temen kamu, Kara.” Sagara berusaha terlihat seceria mungkin meski sebenarnya ia merasakan sesak di dadanya.
“Temen?” Lengkara mengerutkan dahinya, ia tak ingat sama sekali memiliki teman. “Kalian salah kamar kali.” Lengkara bahkan terlihat santai, seraya berbicara satu persatu buah stoberi dimakannya.
Fera tak sanggup, ia berlari keluar dari kamar diikuti Galen yang mengejar. Di luar Fera menangis sejadi-jadinya. Tak sangka sahabatnya akan mengidap penyakit itu, sampai membuatnya mengalami kondisi yang memilukan.
“Fer,”
“Kenapa harus Kara, Len? Kenapa harus dia?” Fera sesenggukan. Air matanya tak berhenti mengalir.
“Jangan sedih, Fera, kita doakan yang terbaik aja buat Lengkara.” tutur Galen, berharap kekasihnya itu tenang.
Alih-alih tenang, Fera justru menyembur Galen dengan kata-katanya. “Lo bilang jangan sedih?! Terus gue lihat sahabat gue hampir sekarat, lo bilang jangan sedih?! Lo gak punya hati atau apa hah?!” setelahnya Fera mendorong Galen, lantas pergi begitu saja dengan rasa sakit dan sesak di hatinya.
Galen tak marah, ia mengerti kondisi Fera saat ini. Wajar saja karena Fera adalah orang paling dekat dengan Lengkara. Galen tak lagi mengejar, ia ingin memberikan ruang untuk Fera sampai gadis itu kembali tenang.
Beberapa saat kemudian seorang dokter bersama asistennya meminta Agam, Novan, dan Sagara untuk meninggalkan Lengkara. Karena dokter akan memeriksa kondisi Lengkara dan setelahnya gadis itu harus istirahat. Dengan terpaksa, mereka semua keluar dan meninggalkan makanan kesukaan Lengkara di meja.
“Semangat ya, Kar. Lo hebat.” Kata Novan.
“Kita semua sayang sama lo, Kara.” Tambah Sagara.
Setelah keluar kamar, mereka bersama-sama berjalan menuju mobil Sagara. Sementara Galen dan Fera memang sedari awal pisah mobil dengan mereka. Sepanjang perjalanan, yang terdengar hanya suara alunan musik yang dinyalakan oleh Sagara dengan nada yang rendah. Sebelum kemudian Agam memecah kebisuan itu.
“Aksa ke mana ya? Biasanya pas kita ke rumah sakit buat jenguk Lengkara, dia selalu ada. Sekarang cuman orangtua atau kakak Lengkara.”
“Gue juga baru sadar sekarang, tuh orang ke mana ya?” tanya Novan.
Dengan pandangan ke jalan, Sagara menimpali. “Mungkin dia lagi latihan buat seleksi tim nasional.”
“Masa? Kalau iya pasti gue tahu lah!” seru Agam.
“Atau mungkin kebetulan aja pas kita ke sana, Aksa lagi keluar atau baru pulang?” apa yang dikatakan oleh Sagara tak dapat menjawab tanya di benak mereka masing-masing.
.........
Terik mentari tak membuatnya mundur untuk berteduh di bawah atap atau pepohanan sekadar menghindari dari panasnya. Pemuda itu hanya diam, membiarkan tubuhnya terbakar sinar yang semakin naik, semakin panas. Kaus oblong basketnya telah basah karena keringat yang bercucuran. Sedari pukul 8 sampai pukul 11.30 ini Aksa baru berhenti bermain basket.
Kini yang ia lakukan hanyalah melamun dengan nafas yang masih memburu. Kedua tangannya memegang bola basket, sementara matanya memandang kosong ke arah bola. Ternyata keputusannya untuk menjauhi Lengkara sangatlah sulit. Ia berupaya menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan, tetap saja sosok Lengkara menghantui pikirannya.
Sudah 2 hari Aksa sama sekali tak menjenguk Lengkara atau sekedar menghubungi gadis itu. Aksa tengah mencoba untuk menghindar dari Lengkara dengan maksud supaya ia tak terlalu tergantung dan merasa kehilangan Lengkara nantinya. Meskipun keputusannya ini bodoh, namun Aksa ingin mencoba sekali ini menomorsatukan egonya.
Cuaca sama sekali tak bisa diprediksi. Meski sebelumnya mentari bersemangat memancarkan sinarnya, tiba-tiba saja hujan mengambil alih. Turun dengan ganasnya mengguyur bumi dan tubuh Aksa yang kini basah karena hujan. Hujan seakan paham dengan suasana hati pemuda itu. Aksa masih geming di tempatnya. Ia masih melamunkan hal yang sama tanpa berubah posisi sama sekali. Seakan hujan tak mengusik kegiatannya hari ini.
“Lengkara, hujan! Nanti kamu sakit!”
Lengkara terus berusaha menarik Aksa supaya ikut dengannya menari di bawah hujan. Lengkara berdecak kesal. “Payah! Masa badan tinggi besar berotot kayak kamu takut hujan! Kenapa? Takut jadi mermaid?”
“Ya ampun, Kara, kamu keras kepala banget ya? Nanti kalau kamu sakit gimana?”
“Aksa, aku udah sakit.” Serunya disertai senyuman.
Aksa tertegun sesaat, sebelum akhirnya kembali ditarik oleh Lengkara.
“Ayok, Aksa, kapan lagi kita main hujan-hujanan?”
“Kapan kata kamu? Kamu sering hujan-hujanan, Kara.” Aksa mempertegas.
Lengkara terus berusaha menarik pemuda itu yang pada akhirnya Aksa memilih mengalah dan keluar dari persembunyian menuju derasnya hujan. Lengkara nampak bahagia, berulang kali ia loncat-loncat seraya menengadah dengan mata yang terpejam. Aksa sempat tertegun, terpesona dengan kecantikan Lengkara dan senyum manis yang mengembang di wajahnya.
“Seru kan?!” teriak Lengkara dengan riang.
Aksa hanya mengangguk dengan senyumnya. Mengikuti gerakan Lengkara yang terus berputar dan menari bersamanya.
Aksa tersadar dari lamunan panjangnya itu. Ia menyentuh dadanya yang terasa sesak. Tak pernah terbayangkan akan sesakit ini meninggalkan Lengkara yang begitu ia cintai. Namun ia tak punya pilihan, ia harus pergi sebelum merasakan pedihnya kehilangan.
Setelah memutuskan untuk tak lagi dengan Lengkara tanpa persetujuan gadis itu dan tanpa diketahuinya, Aksa kembali menjadi sosok yang dingin dan tak peduli dengan sekitar. Senyumnya yang selalu mengembang pada siapapun, kini tak lagi ia tampakkan. Keceriaan yang selalu melekat pada perilakunya semenjak bersama Lengkara, kini tak ada lagi. Setiap orang merasa aneh dan kaget dengan perubahan Aksa. Begitupun dengan Agam, Galen, Sagara dan Novan. Mereka tak menyangka bahwa Aksa akan berubah kembali menjadi sosok sebelumnya.
Seperti yang Aksa lakukan saat ini. Ia seakan tutup telinga dan terus memainkan gitarnya, seakan nasihat demi nasihat yang teman-temannya lontarkan tak begitu penting untuknya. Aksa sempat akan pergi, namun Agam menahannya untuk tetap di samping mereka.
“Sa, Lengkara lagi butuhin lo. Bantu dia pulih dari hilang ingatannya. Jangan malah pergi ninggalin dia dengan cara kayak gini, Sa. Mana Aksa yang baik, romantis dan perhatian itu? Mana Aksa yang sayang banget sama Lengkara sampe rela ngelakuin apapun buat Lengkara?” Agam tak berhenti berbicara, begitupun yang lainnya.
“Kasihan dia, Sa, kalau gue jadi lo gue gak akan pernah sekalipun punya keinginan ninggalin dia.” timpal Galen, meski ia tak yakin dengan ucapannya. Sebab dirinya mungkin saja tak akan sanggup menghadapi hal menyesakkan itu.
Aksa masih geming seakan tak peduli sama sekali. Ekspresinya pun datar, tak menunjukkan antusias mendengar nasihat dari teman-temannya tentang Lengkara. Meskipun dalam hatinya, ia tengah mati-matian menahan diri untuk tidak menangis. Giginya sampai menggertak, ucapan demi ucapan yang terlontar dari teman-temannya seakan memancing pertahanan Aksa selama ini.
Ingin sekali ia mengatakan kepada mereka bahwa Aksa rapuh. Bahwa dirinya begitu hancur kala mengetahui penyakit Lengkara semakin mengikis habis sisa hidupnya. Setiap malam menjelang tidur, tak ayal dirinya menangisi gadis itu. Tak siap dengan segala hal tanpa Lengkara lagi. Tanpa gadis itu di sampingnya. Aksa tak sanggup.
“Datengin dia sekarang dan—“
“Banyak omong! Ini hidup gue, dan kalian gak perlu ngatur!” Aksa melempar sembarang gitar dan pergi keluar dengan menggebrakan pintu sekretariatan.
Sagara naik pitam, ingin sekali ia menghabisi temannya itu karena perilaku buruknya. Namun Novan dan Galen menahan. Mereka memberi pengertian kepada Sagara tentang Aksa.
“Dia lagi bingung, dia belum siap kehilangan Lengkara. Makanya dia gitu. Kita harus paham posisi dia.” kata Novan menasihati.
........
Rooftop adalah tempatnya untuk menyendiri. Meski di sana ingatan tentang Lengkara hadir, namun Aksa dapat sedikit lebih tenang tanpa ocehan teman-temannya. Matanya memandang lurus ke arah langit yang begitu indah. Awan-awan dengan senang hati melewati matahari yang tersenyum di sana. Semilir angin tak ingin kalah menenangkan. Sejuknya membuat Aksa refleks memejamkan mata, menikmati sentuhan alam yang begitu lembut. Namun kembali bayangan Lengkara hadir kala matanya terpejam. Senyum dan suara tawa gadis itu terbayang jelas diingatan.
Setetes air mata menerobos keluar dari matanya yang terpejam. Jantungnya serasa diremas sampai dirinya sulit bernafas. Perih dan pedih. Perlahan-lahan rintihan itu kembali terdengar kala terbayang sosok Lengkara yang kurus, pucat dan botak. Tampak berbeda jauh dengan Lengkara yang baru ia temui kali pertama di rooftop ini. Kondisi yang semakin menambah rasa takut akan kehilangannya.
Haruskah ia secepat ini kehilangan Lengkara? Lantas, apa maksud Tuhan mempertemukan mereka bila akhirnya dipisahkan dengan cara semenyakitkan ini? Kala ada satu keajaiban di dunia ini, bisakah dirinya meminta kepada Tuhan untuk menyembuhkan Lengkara di sisa hidupnya?
Haruskah ia kehilangan untuk kedua kalinya?
.........
Setelah seminggu berada di rumah sakit untuk menjalani perawatan, akhirnya Lengkara bisa pulang ke rumahnya. Saat berada di dalam mobil menuju rumah, Lengkara nampak asing tak asing di sana. Yang ia lakukan selama perjalanan hanya diam dan memandangi suasana jalan melalui jendela yang tertutup. Sementara Kinara, bunda, dan ayah membiarkan Lengkara seperti itu. Tanpa bertanya ataupun berbincang. Sebab kata dokter, jangan terlalu memaksakan Lengkara untuk mengingat semuanya. Biarkan gadis itu ingat dengan sendirinya. Atau kemungkinan terburuk, Lengkara tak akan pernah ingat apapun.
Menempuh 1 jam perjalanan, mereka tiba di kediaman keluarga Lengkara. Dahinya mengkerut kala menatap rumah berlantai satu yang terlihat luas. Di depannya terdapat pekarangan rumah dengan ditumbuhi berbagai bunga dan tanaman. Lengkara berperang dengan pikirannya sendiri. Ia merasa mengenal rumah ini terutama 3 orang yang berjalan di belakangnya.
“Kamu istirahat dulu di kamar, ya? Nanti bunda masakin makanan kesukaan kamu.” Ucap bunda dengan nada sendu. Ia sama sekali tak bisa menyembunyikan kesedihan yang makin membuat Lengkara kebingungan.
Dalam kamar, Lengkara melihat-lihat sekitar. Dari bingkai foto keluarga, Lengkara bingung kenapa ada dirinya di foto itu. Tersenyum lebar serta merangkul satu sama lain. Kemudian foto dirinya yang tengah memegang sebuah piala. Karena pusing menerka kenapa dia ada di foto itu Lengkara memijit kepalanya. Sampai ia melihat satu bingkai yang menampilkan foto dirinya dengan seorang laki-laki. Pada foto itu nampak Lengkara dan lelaki itu berpelukan dan melihat ke arah kamera. Terakhir foto kebersamaannya dengan seorang gadis yang memakai topi pantai, dirinya dan gadis itu nampak bahagia. Lengkara semakin bingung dengan semua yang ia lihat. Seluruhnya nampak tak asing namun Lengkara sama sekali tak mengetahui dan tak mengenali mereka semua.
Bersamaan dengan itu, kenangan demi kenangan yang dilakukannya bersama orang-orang itu mulai memenuhi kepalanya. Kepala Lengkara rasanya berputar-putar sampai gadis itu sempoyongan dan duduk di kasur. Ia berusaha mengingat kejadian demi kejadian yang tersimpan di ingatannya. Gelegar tawa, senyum penuh kebahagiaan, dekapan hangat, dan hal lain yang melekat di ingatan Lengkara. Hingga akhirnya Lengkara menemukan jawaban—
Ia menangis sejadi-jadinya, kala mengingat orang-orang yang ia lihat adalah sekumpulan orang yang begitu ia sayang. Sekumpulan orang yang selalu ada untuknya saat sehat maupun sakit. Tangis itu bukan hanya karena merasa bersalah atau karena tanpa sengaja melupakan mereka, melainkan menangisi juga penyakitnya yang kian menggerogoti nyawanya. Siapkah ia menghadapi kematian yang sama sekali belum ia harapkan? Siapkah dirinya pergi meninggalkan luka dan duka pada orang-orang yang seharusnya ia bahagiakan?
Kamar yang dulu adalah tempat ternyaman kini memunculkan suasana pilu. Nyaris tak ada lagi warna dan keceriaan yang terpancar. Semua barang pun tertata biasa saja. Semenjak sakit, Lengkara tak pernah menata indah kamarnya lagi. Ia bahkan mencopot semua hiasan-hiasan dinding beserta foto-foto randomnya. Yang tersisa hanyalah potret abadi orang-orang yang ia sayangi. Untuk menyimpan lebih jelas wajah mereka sampai mati.
Ia ingat betul sekarang, bagaimana sedihnya bunda kala dirinya mengatakan tak mengenal bunda. Bagaimana luka yang tergambar di wajah Aksa saat dirinya malah membentak pemuda itu. Dan bagaimana duka di wajah-wajah teman-teman, kakak dan ayahnya. Namun tak ada yang patut disalahkan dalam hal ini. Semua terjadi karena penyakit yang memengaruhi ingatannya. Akan tetapi tetap saja, Lengkara merasa bersalah dengan apa yang telah terjadi. Ia tanpa sengaja menorehkan luka dan kepedihan bagi orang-orang yang ia cinta.
“Maafin Kara.” Lengkara menundukkan kepalanya. Sendok yang ia genggam akhirnya jatuh berdenting dengan meja kaca.
Bunda, ayah, dan Kinara sontak terkejut dengan apa yang dikatakan Lengkara. Itu berarti ingatan sang gadis kembali sedia kala. Lengkara ingat semuanya, termasuk keluarga dan dirinya sendiri.
Gadis itu bahkan tak mampu lagi mendefinisikan rasa bersalah dan sedihnya. Hanya sesak dalam dada yang terasa begitu kuat. Hingga Lengkara rasanya tak mampu lagi bernafas. Kemudian, dekapan hangat mereka ia rasakan. Perlahan-lahan memberikan celah nafas dan ketenangan dalam dada. Apalagi suara bunda yang lembut dan menenangkan begitu Lengkara rindukan.
“Gapapa, sayang, kamu gak salah.” Lirih bunda.
“Gak ada yang disalahkan, nak, dalam hal ini. Jangan nangis, ya? Anak ayah semuanya kuat.” Ujar Ayah, padahal hatinya hancur semenjak mengetahui Lengkara mempunyai penyakit kanker otak.
Sesosok ayah yang selalu kuat di hadapan Kinara dan Lengkara, diam-diam menangisi kondisi anak keduanya. Ia sibuk mencari cara dan bertanya-tanya pada kenalan di rumah sakit untuk pengobatan Lengkara. Namun usahanya direnggut oleh kenyataan bahwa Lengkara tak bisa lagi ia selamatkan.
Lengkara mengencangkan tangisnya. Terbayang jelas di benaknya, suatu hari ia akan begitu merindukan pelukan mereka. Sejujurnya Lengkara tak siap. Jika saja dulu ia dapat meredam egonya dan memilih menjalani pengobatan saat kankernya masih stadium awal, mungkin saja hidupnya tak akan sesingkat yang dibayangkan.
........
Rumah ini masih sehangat sebelumnya. Tak ada yang berubah sama sekali. Rumah ini masih menjadi tempat ternyaman Lengkara untuk pulang. Tawa, canda, dan berbagai cerita terekam abadi diingatannya. Bayang-bayang kegiatan keluarga ini kala senggang melintas di pandangan Lengkara. Saat dirinya dan bunda masak di dapur. Saat dirinya mengganggu Kinara yang tengah membaca di ruang baca. Saat mereka semua berkumpul sambil menonton kartun favorit—Tom and Jery. Momen yang melekat indah di hati Lengkara. Tak mewah, namun tak bisa dibeli dengan uang. Baginya momen bersama keluarga adalah sesuatu yang begitu mahal dan berharga.
Pun dengan pertengkaran dan kehancuran yang terjadi saat dirinya keras kepala untuk tidak mau pergi berobat. Bunda, Kinara dan ayah terlihat putus asa dengan perilaku Lengkara. Teriakan, tangisan, kala Lengkara dengan kejam membantah, kini menjadi hal yang ia sesali. Seandainya ia mendengar, seandainya ia tak egois, pasti masih ada banyak waktu untuk merangkai mimpi dan menciptakan momen indah bersama keluarganya.
Dilihatnya wajah bunda yang terlihat lelah dan sayup. Tak ada lagi keceriaan di wajah bunda. Kini hanya duka dan luka yang berada di tiap lekuk wajahnya. Lengkara begitu hancur dan merasa sedih. Ia sendiri merasa takut untuk mati secepat ini.
“Bunda, lagi apa?” tanya Lengkara.
Bunda tersenyum sendu. Matanya berembun dan terlihat lelah seperti kurang tidur. “Bikin bakwan kesukaan kamu. Tanpa kol.”
“Wah emang pas nih bunda lagi hujan makan bakwan!” serunya.
Bunda mengangguk dengan seurai senyum dan melanjutkan memotong wortelnya.
“Bunda, nanti jangan lupa minum obatnya, ya? Kalau migrain langsung diobatin. Jangan ditunda-tunda. Giliran Kara telat minum obat 10 menit, bunda bawelnya sepanjang rel kereta.” Kekehnya diakhir kalimat.
Bunda seketika menghentikan memotong wortelnya. Dadanya seperti dihantam palu yang begitu besar.
“Terus kalau bunda panen, jangan semua bunda kerjain. Ajak kakak atau ayah, terus bunda juga jangan nolak. Bunda manusia loh bukan superhero yang selalu kuat dan serba bisa sendiri.” Lanjut Lengkara, ia tak sadar pesan-pesannya itu menorehkan luka dan mengingatkan kembali bunda dengan kepedihannya.
Alih-alih menjawab, bunda justru menangis. Lengkara gelagapan, ia tak bermaksud membuka luka yang menganga di dada bunda. Lantas dipeluknya bunda dengan lantunan kata maaf yang ia sampaikan penuh sesal. Ia hanya ingin menyampaikan pesan-pesan singkat pada bunda, hal kecil yang selalu bunda sepelekan.
“Bunda, maafin Kara. Kara gak maksud bikin bunda nangis.”
Bunda bergetar hebat di dekapan Lengkara. Ingin rasanya ia mengadu pada Sang Pencipta dan meminta penyakit itu dipindahkan pada dirinya saja daripada mendekap dan mengikis habis sisa waktu Lengkara di dunia ini.
Lengkara masih muda, banyak hal yang perlu ia capai dan rasakan, namun takdir tak mengizinkannya untuk bertahan lebih lama.
“Kara sayang, maafin bunda,” lirihnya disela tangis. “Bunda sayang sama Kara. Seharusnya bunda yang sakit, bukan Kara. Seharusnya bunda yang ngerasain semua yang Kara rasain.”
“Nggak, bunda, nggak. Biarin penyakit ini ada di Kara. Kara pengen bunda, ayah sama kakak sehat. Jangan bilang yang aneh-aneh. Kara sayang banget sama bunda dan pengen lihat bunda panjang umur dengan keberkahan.”
Tak lagi menjawab, bunda semakin mengencangkan tangis dan dekapannya. Seakan tak ada waktu kembali untuk mendekap anak gadisnya ini. Lengkara yang dahulu begitu ia sayangi dan manjakan sampai beranjak dewasa, kini perlahan-lahan harus ia ikhlaskan atas kehendak-Nya. Namun bersamaan dengan itu ia membantah putusan dokter dan meyakini bahwa keajaiban itu ada. Lengkara bisa sembuh meskipun kanker otaknya telah mencapai stadium akhir. Pun dengan kondisi tubuh Lengkara yang terlihat lemah.
......