1 bulan telah berlalu. Rasanya baru
kemarin Lengkara menemani Aksa untuk berlatih keras agar bisa memenangkan
pertandingan. Tak elat, meski di tengah pengobatannya, Lengkara menyempatkan
hadir sekedar menyemangati Aksa. Membawakan Aksa minum dan makanan kesukaan
pemuda itu. Terkadang Aksa memaksa Lengkara untuk turun dan mengajaknya latihan
bersama yang malah berakhir dijahili oleh teman-teman Aksa.
Lengkara begitu gembira dan bahagia
memiliki Aksa beserta teman-teman Aksa yang secara otomatis berteman dengannya
juga. Belum lagi hubungannya dengan Fera semakin membaik seiring berjalannya
waktu. Ia merasa kehidupannya sangat sempurna, begitu pula yang dipikirkan
Aksa. Pemuda itu seakan melupakan bahwa ada beban tentang takut kehilangan
Lengkara yang selalu hinggap dalam kepalanya. Berputar setiap waktu,
mengingatkan Aksa tentang segala kemungkinan yang menyakitkan.
Dan kini di hari pelaksanaan
pertandingan, tatkala seluruh peserta setiap unit hadir untuk saling
berkompetisi, Aksa telah siap untuk turun dan meraih kemenangan. Meski dalam
dirinya begitu gemetar dan takut mengecewakan. Namun teman-temannya beserta
pelatih memberikan dukungan melalui kata-kata sehingga Aksa kembali tenang.
“Menang atau kalah itu cuman bagian dari
pertandingan. Yang terpenting lo harus fokus dan buktikan hasil lo latihan
keras selama ini. Dari waktu dan tenaga yang lo kerahkan selama menjadi anggota
taekwondo.” Ujar Agam, menepuk punggung Aksa berulang kali.
Aksa mengangguk antusias, namun sedetik
kemudian ia sedih sebab hari ini Lengkara tak bisa datang menemani. Hari ini
adalah jadwal kemoterapinya, pasti gadis itu belum boleh keluar dari rumah
sakit. Seakan mengerti raut muka Aksa, Novan yang berada di samping kirinya
berkata—
“Bro, di mana pun Lengkara berada, dia
pasti mendukung dan berdoa yang terbaik buat lo. Kalian sama-sama berjuang
sekarang. Dia berjuang melawan penyakitnya dan lo berjuang dalam pertandingan.”
Aksa mengangguk. Hingga saat pelatih
menyuruhnya turun ke lapangan, teman-temannya yang hadir beserta anggota taekwondo
lain menyuraki semangat secara penuh kepada Aksa. Menyebut nama Aksa seakan
hari ini namanya lah yang sangat diagungkan. Juga Sagara, Galen dan beberapa
anggota taekwondo lain yang juga turut terlibat dalam pertandingan.
Setelah memakai perlengkapan seperti
pelindung kepala (head guard),
pelindung badan hogo (body protector
taekwondo), pelindung tangan (hand
protector taekwondo), pelindung kaki (shin
guard taekwondo), sarung tangan (gloves),
pelindung alat vital (nashimca),
pelindung gigi (gump shield), dan
pelindung tulang kering di bagian tangan dan kaki, mereka sudah siap bertanding
hari ini untuk kategori kyorugi. Sementara poomsae sudah siap di tempat tanpa
menggunakan pelindung apapun.
Saat Aksa memakai semua peralatan itu,
ia mengingat masa-masa di mana ia rela meluangkan waktu, tenaga dan uang sampai
akhirnya berhasil meraih beberapa medali emas dan perak dari
pertandingan-pertandingan yang diikutinya selama ini. Hingga beasiswa yang
membuatnya berada di kampus terbaik di Bandung ini. Namun entah mengapa hari
ini rasanya seperti baru pertama kali turun pertandingan. Tiapkali bertanding,
Aksa selalu merasa seperti itu. Adrenalin dalam dada dan rasa gemetar yang
terasa terkadang membuatnya tak bisa fokus. Namun saat tepukan pelatih dan
ucapan demi ucapan yang ditujukan pada Aksa, mengenai strategi dan gelora
semangat yang disalurkan, Aksa siap menghadapi keraguan dan ketakutan. Menang
atau kalah, Aksa ingin membuktikan bahwa ia mampu. Bahwa hari ini, untuk
kesekian kali, Aksa berhasil menjadi seorang atlet.
Demi dirinya, bapak, mama, pelatih,
teman-temannya, dan Lengkara.
Sebelum masuk ke dalam area
pertandingan, dalam hati Aksa menyerukan doa. “Ya Allah berikanlah hambaMu ini
kemudahan untuk meraih yang terbaik. Dan berikan Lengkara kemudahan pula dalam
menjalani pengobatannya. Aamiin.”
“Sini berkumpul dulu.” Perintah pelatih
kepada para atlet dari unitnya.
Aksa, Galen, Sagara dan beberapa anggota
taekwondo yang turun dalam pertandingan maupun yang sekedar datang untuk
memberikan semangat dan bantuan apalabila terjadi sesuatu nantinya.
“Fokus, lakukan yang terbaik, jangan
terkecoh oleh lawan. Terutama untuk kalian atlet kyorugi. Buktikan kalau
latihan kalian selama ini bukan main-main. Menang atau kalah memang gak
penting, tapi usahakan kalian harus menang! Kalau kalian bisa memberikan yang
terbaik, pasti Pelatihan Cabang akan merekrut kalian sebagai atlet mereka!
Sampai sini kalian mengerti?!”
“Siap, mengerti!” jawab mereka serempak.
“Oke kita tos dulu.” Pelatih
merentangkan tangan ke tengah-tengah lingkaran mereka diikuti oleh yang lain.
“TAEKWONDO GARUDA!”
“SIAP MENJADI JUARA!!”
Sorak sorai begitu terdengar di setiap
tribun. Terutama pada tribun yang ditempati oleh anggota Taekwondo Garuda.
Mereka bahkan mengibarkan banner
Taekwondo Garuda yang menjadi kebanggaan kampusnya.
Waktu demi waktu berlalu. 5 pertandingan
dengan berbeda lawan sudah berhasil Aksa lewati dengan kemenangan. Hal itu
tentu membuat para pendukung serta pelatih bersorai bangga. Namun ini bukanlah
akhir dari kemenangan yang akan ia bawa pulang. Masih ada medali emas yang
harus ia bawa. Beserta jalannya menuju impian yang sedari dulu ia
inginkan—menjadi bagian dari Tim Nasional Taekwondo Indonesia.
Aksa memejamkan mata, sekali lagi ia
berdoa. Beberapa detik kemudian langkahnya masuk ke dalam area pertandingan. Di
depannya telah hadir seorang atlet nasional yang ia kenali. Ferio—atlet yang
berasal dari unit taekwondo di Bekasi. Setelah beberapa waktu Aksa menonton
beberapa pertandingan Ferio melalui youtube,
Aksa yakin jika dirinya telah mengenali Ferio meski tak secara menyeluruh.
Pertandingan pun dimulai. Aksa mengamati
terlebih dahulu pergerakan yang akan dilakukan lawannya. Kemudian ia menghindar
saat lawan melakukan ap chagi dan Aksa memberi tendangan balasan. Namun lawan
pun cepat menghindar. Aksa masih tetap fokus meski nafasnya sudah
terengah-engah. Pertandingan ini mengingatkannya pada masa-masa sabuknya masih
hijau. Kala itu ia harus melawan anggota taekwondo bersabuk hitam Dan II,
seperti ia saat ini. Aksa begitu kewalahan dan berakhir dengan kekalahan. Hari
ini ia tak ingin itu terjadi. Ia ingin membuktikan bahwa ia bisa dan mampu.
Setelah masuk ke dalam area pertandingan dan dipaksa mengingat masa-masa itu.
3 menit pertama Aksa sama sekali belum
meraih poin. Ia begitu kewalahan dengan pergerakan Ferio yang tak diduga.
Padahal setelah menganalisis Ferio pada pertandingan yang ditayangkan di youtube ia merasa telah mengenali tiap
pergerakan yang seringkali dilakukan bahkan menjadi ciri khasnya. Namun saat ia
dihadapkan secara langsung dengan Ferio, Aksa cukup kesulitan.
Pelatih mewanti-wanti Aksa dan
memberitahu beberapa hal yang salah dari apa yang pelatih lihat tadi pada Aksa.
Memberikan strategi secara tegas, Aksa kembali memasuki area pertandingan untuk
melanjutkannya di 3 menit babak 2. Saat ekor matanya melihat tayangan poin 4
yang diraih oleh Ferio, sementara dirinya tidak mendapatkan poin sama sekali,
Aksa begitu terpicu dan kembali memfokuskan diri. Setidaknya di 3 menit babak 1
ia sudah sedikitnya mengenali pergerakan Ferio. Ia harap di babak 2 ini Aksa
meraih banyak poin.
Pertandingan kembali dimulai. Lagi-lagi
Aksa kewalahan dan Ferio terus mendapatkan poin. Teman-temannya yang
menyaksikan sedikit kecewa dengan Aksa hari ini. Namun mereka tetap memberikan
semangat lewat teriakan untuk Aksa. Yakin bahwa Aksa akan membawa hasil terbaik
nantinya. Nafas Aksa tersenggal, ia mulai kehabisan tenaga. Di saat seperti
itu, Ferio mengambil kesempatan untuk menendang kepala Aksa. Dan poin pun
kembali diraih Ferio disertai sorakan. Para pelatih mulai putus asa dengan Aksa
sekarang. Pergerakan Aksa begitu lambat dan selalu salah sasaran. Entah apa
yang terjadi pada pemuda itu, bahkan dirinya sendiri tidak tahu.
Dadanya bergemuruh, bayang-bayang
kekalahan mulai menyergapnya. Untuk sesaat Aksa memejamkan mata, mentralisir
nafasnya yang tak beraturan. Lagi dan lagi hal itu dijadikan Ferio kesempatan
untuk meraih poin. Namun kini Aksa menghindar dan memberikan balasan yang
dilakukan juga oleh Ferio sebagai pertahanan. Akan tetapi gerakan Aksa kembali
salah, tendangan Fero yang cukup keras mengenai lutut Aksa. Sontak Aksa
menjerit dan jatuh begitu saja. Ia meringis, memegangi lututnya yang begitu
sakit. Sampai tak disangka air matanya mengalir karena rasa sakit yang luar
biasa itu.
Wasit langsung memberhentikan babak 2
dan pelatih beserta petugas medis membopong Aksa.
“Sakit?” tanya pelatih yang diangguki
Aksa. Kentara dengan raut wajah Aksa dan air matanya yang mengalir.
“Sepertinya ada yang patah.” Kata
petugas medis.
“Itu artinya Aksa terpaksa harus gugur
dalam pertandingan.” Kata asisten pelatih yang membuat Aksa tertegun.
“Gak! Gak! Aksa masih bisa.” Aksa
memaksakan untuk berdiri, namun rasa sakit itu menghambatnya.
“Jangan dipaksain, Aksa, nanti kamu bisa
mengalami cedera parah!” tegur pelatih.
Aksa menarik nafas, ia hampir putus
semangat. Untuk kedua kalinya ia harus menerima kekalahan seperti dulu. Aksa
merutuki dirinya yang tak mampu. Merutuki kekalahan yang kini ada di
hadapannya. Kala matanya melihat teman-teman yang mendukungnya di tribun, satu
orang lantas mendebarkan hatinya. Seorang gadis yang memberikan senyuman dengan
wajah pucat pasinya. Melambaikan tangan menyalurkan semangat lewat tatapannya.
Aksa merasa tertampar melihat Lengkara ada di sana. Seharusnya gadis itu
menjalani perawatan dulu seperti pada kemoterapi sebelumnya.
“Dulu
saat aku pertama kali masuk kampus, aku pengen mewujudkan mimpi aku untuk
menjadi seorang atlet taekwondo. Aku sebenarnya udah tahu perihal penyakit
kanker otak ini, tapi waktu itu aku masih gak percaya kalau aku sakit. Makanya
aku ikut UKM taekwondo dan berlatih keras. Tapi..” Lengkara tersenyum getir,
Aksa nampak menanti kelanjutan ceritanya. “Penyakit ini setiap saat selalu
bikin aku merasa lemah dan gak bisa apa-apa. Makanya kenapa aku udah jarang
latihan dan kumpul pengurus. Semua itu karena penyakit ini, Sa. Mengubur mimpi
aku dan membuat aku merasa gak punya tujuan lagi.”
Kemudian
Lengkara menatap kekasihnya. Kala itu Aksa tengah istirahat dan baru saja
selesai memakan bekal yang dibawakan oleh Lengkara untuknya. “Kalau aku gak
bisa jadi atlet nasional, aku harap kamu bisa, Sa. Karena ngelihat kamu nanti
jadi kebanggaan negeri, aku akan sangat bersyukur.”
Perkataan itu terdengar nyaring di
telinganya. Mengingatkan Aksa untuk kembali berjuang dan meraih mimpinya dan
mimpi Lengkara. Sedetik kemudian ia memaksakan berdiri, dengan ringisan yang
memilukan Aksa perlahan menyembunyikan rasa sakit itu dan mencoba untuk
menggerakan kakinya.
“Lanjut!” ucapnya dengan lantang.
Semua orang tercengang menyaksikan Aksa
yang begitu nekad. Padahal pelatih dan tenaga medis mewanti-wanti bahkan
memarahi Aksa. Namun Aksa nampaknya tak ingin dengar dan terus berjuang.
Tekadnya begitu kuat, bukan hanya karena Lengkara, namun untuk dirinya,
teman-teman, keluarga dan tentunya pelatih yang selama ini berjuang keras
membentuk Aksa.
Pelatih pasrah, membiarkan Aksa kembali
maju dan menyaksikan sampai mana pemuda itu akan berjuang. Lantas, babak 3 pun
dimulai. Pertandingan yang sempat dihentikan kembali dilanjutkan setelah
diskusi antara pelatih unit Taekwondo Garuda dengan panitia penyelenggara.
Kala matanya menatap tajam pergerakan
Ferio, sepintas senyum Lengkara muncul di depan matanya. Kata demi kata sirat
semangat dan harapan untuknya makin memacu keinginan Aksa untuk menang.
Sehingga saat menemukan peluang, Aksa meraih 4 poin sekaligus dengan menendang body lawan dan tendangan kedua yang
mengenai kepala lawan. Jerit bahagia terdengar begitu nyaring dari tribun
Taekwondo Garuda. Begitu pula dengan Lengkara yang bertepuk tangan sambil
duduk.
Namun waktu masih berjalan, Aksa harus
meraih poin lebih banyak daripada Ferio. Maka dengan sekuat tenaga, menahan
rasa sakit yang ia harap tak menjadi hambatan untuk menjadi atlet nasional, ia
kembali melakukan penyerangan yang didahului oleh Ferio. Aksa hampir tumbang,
namun ia menepis rasa sakit dan takut dengan tekad yang kuat. Pelatih Aksa
hampir putus asa, ia takut terjadi hal buruk kepada anggotanya. Akan tetapi hal
itu diyakinkan oleh Aksa kala Aksa berhasil menjatuhkan lawan dengan serangan
terbaiknya yang lantas meraih poin tertinggi.
Seluruh anggota, pelatih, dan Lengkara
bersorak ria atas kemenangan yang diraih Aksa. Perjuangan pemuda itu yang penuh
tekad telah membuktikan bahwa ia mampu untuk menjadi juara. Meski rasa sakit
masih membelenggu lututnya, Aksa tetap memberikan senyum lebar dan haru.
Dadanya bergemuruh, bahagia dan lelah bercampur menjadi satu. Pandangan matanya
pun terarah pada seorang gadis yang tersenyum lebar serta memberikan dua
jempolnya. Aksa berjalan pincang menuju pelatih dan mereka berpelukan diikuti
dengan anggota Taekwondo Garuda lain.
Sagara, Galen, dan beberapa anggota yang
turun berhasil meraih kemenangan. Meski ada beberapa juga yang harus gugur.
Kini Aksa berdiri pada tempat tertinggi dengan tanda juara 1. Mendapatkan
medali emas yang pertama kalinya benar-benar Aksa perjuangkan. Ini kali pertama
Aksa hampir saja kalah karena lututnya yang kesakitan. Namun karena tekad yang
kuat akhirnya ia bisa membawa pulang medali emas dan siap menjadi peserta dalam
seleksi anggota tim nasional mendatang.
Lengkara tersenyum haru kala melihat
Aksa berada di tempat juara satu. Berdiri dengan dada yang tegap dan senyum
yang begitu lebar. Ia bangga melihat Aksa akhirnya berhasil meraih mimpi pemuda
itu juga mimpinya. Dalam hati doanya terus mengalir untuk Aksa. Berharap pemuda
itu kelak akan meraih semua mimpi-mimpi besarnya lagi dan membanggakan semua
orang. Serta bahagia dan berkah menyertai setiap langkah Aksa.
Senyum yang tampak di wajah Lengkara
perlahan surut kala sebuah cairan merah muncul di hidungnya. Bersamaan dengan
itu pandangannya mengabur dan rasa sakit di kepalanya kembali terasa. Lengkara
berupaya menahan, namun sedetik kemudian pertahannya runtuh. Lengkara
tergeletak ke lantai yang dingin dengan darah yang mengalir di hidungnya.
Aksa yang melihat itu turun, menjatuhkan
bunga yang sedari tadi ia pegang dan berlari menghampiri Lengkara. Ia panik,
jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya bahkan lebih cepat dari
pertandingan tadi. Berulang kali ia berusaha menyadarkan Lengkara dengan
menepuk-nepuk pipinya namun tak berhasil. Orang-orang menggerubungi ikut panik
melihat Lengkara yang tergeletak dengan wajah pucat. Hingga petugas medis
datang dan membawa Lengkara menuju rumah sakit dengan ambulan. Tadinya
teman-teman dan pelatih akan merayakan kemenangan pertandingan hari ini, akan
tetapi kejadian ini membuat semuanya panik.
Dalam ambulan, Aksa terus berusaha
membangunkan Lengkara. Darah sudah berhenti namun Lengkara tak juga sadar. Aksa
begitu resah sampai menangis. Ia takut segala kemungkinan yang dikatakan dokter
akan terjadi hari ini.
“Kar, bangun aku mohon. Jangan tinggalin
aku, Kar.” Lirihnya disela tangis. Aksa menenggelamkan wajahnya di punggung
tangan Lengkara yang dingin. Ia bahkan tak berhenti menangis saat Lengkara
sampai di IGD.
Denyut di kaki Aksa masih terasa sangat
sakit. Namun karena panik, bahkan masih memakai dobok, Aksa bulak-balik di
depan pintu kamar IGD menunggu Lengkara. Teman-temannya dan satu pelatih yang
mengikuti Aksa memaksa Aksa untuk menjalani perawatan terlebih dahulu. Takut
lutut Aksa akan mengalami cedera lebih parah lagi.
“Gue gak mau!” bentak Aksa. Ia tak bisa
berpikir jernih kali ini. Di dalam kepalanya hanya Lengkara dan Lengkara.
“Aksa nanti cedera kamu makin parah,
kita harus periksakan ke dokter terlebih dahulu mumpung ada di rumah sakit!”
titah pelatih dengan tegas.
“Tapi, pak—“
“Turuti perintah saya sebagai pelatih
kamu! Apakah selama ini saya mengajarkan kamu untuk melawan saya?!”
Aksa menundukkan kepalanya, merasa
salah. Tapi dalam situasi ini ia benar-benar tak bisa bersikap tenang.
“Saya tahu kamu panik. Tapi kamu pun
harus memerhatikan diri kamu sendiri. Kamu akan menghadapi seleksi tim
nasional, apa kamu siap gagal tanpa melakukan seleksi karena cedera kamu?” tanya
pelatih yang menampar kesadaran Aksa.
Aksa menggeleng lemah.
“Ikut saya sebentar, setelah itu kita
kemari lagi. Setidaknya kita harus tahu dulu keadaan lutut kaki kiri kamu ini.”
Titah pelatih tak bisa dibantah.
Sebelum pergi dengan dibantu Bastian,
Aksa menatap Agam, Galen, Novan dan Sagara seakan memberitahu mereka melalui
isyarat untuk menitipkan Lengkara sebentar.
“Tenang aja, Sa, kalau ada apa-apa gue
langsung kabarin lo. Sekarang lo harus nurut dulu sama pelatih, karena ini juga
untuk kebaikan lo.” Ujar Agam menenangkan kecemasan pada Aksa.
Aksa mendesah lemah. “Makasih, Gam.”
Agam mengangguk paham. “Sama-sama.”
Aksa kemudian berjalan tertatih dibantu
oleh Bastian yang ternyata terasa sangat sakit sekarang. Aksa sampai meringis
pada setiap langkah menuju dokter spesialis. Sesekali Aksa menoleh ke belakang,
berharap Lengkara cepat sadar dan tidak terjadi apapun yang tak ia inginkan.
..........
“Pasien hanya perlu istirahat selama
beberapa bulan sembari menjalani terapi untuk pemulihan. Jika tidak, saya tidak
yakin proses penyembuhan akan cepat. Apalagi pasien kata bapak tadi akan
melakukan seleksi atlet tim nasional.” Tutur dokter setelah melakukan
pemeriksaan. “Untuk hari ini pasien diharuskan istirahat di ruangan yang telah
disediakan. Saya harap..” dokter itu menatap Aksa. “Kamu bisa istirahat total
hari ini dan selamat atas kemenangan kamu.” Ia tersenyum penuh arti.
Seharusnya pujian itu menciptakan
kebanggaan tersendiri untuk Aksa. Namun dalam kondisi seperti ini, kala
pikirannya dipenuhi oleh Lengkara, dirinya hanya mampu tersenyum tipis dan
menangis penuh resah dalam hati.
“Sabeum, saya mau lihat kondisi
Lengkara.” pinta Aksa saat sampai di ruangan tempat Aksa akan dirawat malam
ini.
Pemuda itu terbaring setelah
bersih-bersih dan mengganti pakaian. Sekian jam seusai pertandingan, Aksa baru
merasakan badannya remuk. Namun rasa sakit itu tak seberapa dengan
kekhawatirannya terhadap kekasihnya yang sekarang entah bagaimana kabarnya.
Pelatih menatap Aksa iba, di saat
seperti ini Aksa mesti mengalami musibah yang membuatnya bersedih alih-alih
bahagia setelah kemenangannya. “Kamu harus istirahat Aksa, nanti sabeum bantu
lihat kondisi Lengkara.”
Aksa mencekal tangan sang pelatih.
Menatapnya dengan sendu dan penuh permohonan.
Pelatih menghela nafas dalam, “Baik,
setelah itu kamu harus istirahat, ya?”
“Baik, sabeum.”
Dengan menaiki kursi roda yang didorong
oleh pelatihnya, Aksa sampai di depan ruang IGD. Teman-teman Aksa yang masih
memakai dobok itu berdiri menghampiri.
“Gimana, Sa?”
“Dia harus dirawat terlebih dahulu, dan
istirahat selama beberapa bulan kedepan sampai benar-benar pulih kembali.”
jelas pelatih alih-alih Aksa.
“Seharusnya lo tadi nyerah aja, Sa, gue
takut lo kenapa-napa. Kalau cedera parah, ntar lo gak bakal bisa lagi turun
kejuaraan.” Ucap Sagara.
Aksa tersenyum, “Justru itu gue gak
bakal bisa masuk seleksi tim nasional kalau gue gak berusaha. Masih beruntung
cedera gue gak terlalu parah dan masih bisa ditangani. Keadaan Lengkara
gimana?” Aksa mengalihkan pembicaraan. Kabar kekasihnya adalah hal penting yang
harus ia tahu sekarang.
“Dokter belum ngasih jawaban, bahkan
perawatnya. Mereka cuman bulak-balik. Gue udah hubungi Fera, katanya dia sama
keluarga Lengkara lagi OTW ke sini.” Papar Novan.
Aksa menundukkan kepalanya. Rasa takut
itu kembali menyeruak dalam kepalanya, sehingga Aksa kembali menangis. Ia belum
siap jika harus kehilangan Lengkara secepat ini. Masih banyak hal yang ingin ia
lakukan bersama Lengkara.
Ya
Allah, tolong jangan ambil dulu Lengkara.