Setelah beberapa minggu menjalani kemoterapi, tak membuat kondisi Lengkara membaik, justru sebaliknya. Sakit kepala yang membuatnya menderita dan sakit yang terasa pada bagian tubuh lainnya membuat Lengkara terpaksa tidak mengikuti perkuliahan. Keluarga dan Aksa tentu merasa sedih dengan yang dilalui Lengkara. Namun mereka semua tak menunjukkannya. Justru dukungan dan semangatlah yang mengalir untuk Lengkara dari mereka. Lengkara pun memutuskan untuk benar-benar keluar dari UKM Taekwondo agar fokus pada pengobatan. Setelah dibantu oleh Aksa untuk menjelaskan semuanya kepada Agam selaku ketua.
“Gue minta lo jangan kasih tahu orang-orang mengenai penyakit Lengkara. Ini permintaan dari Lengkara sendiri.” Ujar Aksa kepada Agam dengan nada permohonan.
Agam memberikan pengertian. Ia merasakan kesedihan kala melihat raut Aksa meski Aksa tak menunjukkannya. Untuk menguatkan, Agam menepuk punggung Aksa beberapa kali. “Soal itu aman, Sa. Lo semangat ya? Gue selalu doakan kesembuhan untuk Lengkara.”
Aksa tersenyum sendu, ia mengamini dalam hati.
Kini Aksa dan Lengkara tengah berada di sebuah taman. Mereka sengaja mampir setelah Lengkara menjalani kemoterapi. Sengaja Aksa memilih tempat ini agar Lengkara tak perlu menghabiskan tenaga, saat gadis itu memintanya untuk pergi jalan dengannya. Ketika menoleh, Aksa melihat Lengkara yang asik menikmati es krim vanilla kesukaannya sampai belepotan. Dengan sigap Aksa mengelapnya menggunakan jempolnya.
“Kayak anak kecil.” Kata Aksa dengan senyumnya. Sebenarnya ia gemas melihat Lengkara seperti itu.
Lengkara menekukkan wajah. “Yaudah nih abisin!”
“Hahaha, kamu tuh pas gini malah kelihatan gemoi!” Aksa mencubit kedua pipi Lengkara sampai gadis itu mendesis kesakitan.
“Sa?”
“Ya?” Aksa masih asik mengusap rambut Lengkara saat sang gadis menyenderkan kepala ke pundaknya. Keduanya menatap ke depan dengan pandangan menerawang. Menikmati sentuhan alam yang membelai wajah mereka. Menikmati setiap detik berharga yang mereka habiskan bersama. Berharap waktu sejenak saja berhenti hanya sekedar menciptakan lebih banyak kenangan indah.
“Kenapa kamu selalu nangis saat nemenin aku kemo?”
Aksa tertegun, bagaimana Lengkara bisa tahu bahwa ia sering menangis? “Ah kata siapa! Aku gak pernah nangis.” Ujarnya gagap.
“Aku tahu, Sa, setiap aku selesai kemo, mata kamu selalu sembab dan merah.” Lengkara mengingat jelas bagaimana sendunya wajah itu meski ditutupi oleh senyum. “Tapi aku gak pernah nanya ke kamu saat itu.”
Untuk sesaat, Aksa hanya bisa diam. Pertanyaan Lengkara bagai sebuah tuntutan untuknya mengatakan semua pada Lengkara, alih-alih menyembunyikannya. Lantas luruhlah semua cerita dari mulut pemuda itu. Seperti sebuah dongeng panjang yang Aksa ceritakan kepada Lengkara. Namun dongeng ini nyata, yang pernah ia lalui dan kini ia rasakan.
“Dulu aku pernah punya kakak, dia sama seperti kamu, Kar. Mengidap kanker. Bedanya, kakak mengindap kanker tulang.”
Lengkara tertegun, namun ia memilih untuk diam agar Aksa menyelesaikan ceritanya.
“Saat itu usiaku masih 16 tahun. Terbilang remaja labil yang gak tahu apa-apa. Bodohnya, aku selalu menuruti permintaan kakak yang nyuruh aku untuk bawa aku kabur saat mau menjalani pengobatan. Kakak selalu bilang kalau dokter itu gak akan nyembuhin dia, justru memperparah. Dan aku malah percaya perkataan kakak.” sejenak Aksa menyeka air matanya. Dadanya terasa sesak bila mengingat kejadian 7 tahun yang lalu.
“Aku selalu membawa kakak ke manapun yang dia mau, walau akhirnya kena marah bapak sama mama. Tapi aku tetep ngelakuin itu karena aku pengen kakak bahagia. Kakak merasa bebas dan senang saat aku membawanya ke tempat yang dia mau, alih-alih menjalani pengobatan. Dan saat penyakitnya semakin parah, aku mulai menyadari bahwa yang aku lakuin salah. Seharusnya aku membujuk kakak untuk menjalani pengobatan. Seharusnya aku memaksa kakak ke rumah sakit saat kakak membantah. Seharusnya aku gak sebodoh itu sampai harus kehilangan kakak untuk selamanya.”
Punggung Aksa bergetar kala tangis kembali menguasai diri. Kesedihan akan kehilangan begitu terasa dalam dada. Ia tak sanggup mengingat semuanya. Bila Yang Kuasa memberinya kesempatan untuk memperbaiki masa lalu, Aksa akan memilih untuk memaksa kakaknya untuk pergi ke rumah sakit daripada ke tempat-tempat bermain. Perasaan menyesal dan bersalah itu terus menghantuinya selama bertahun-tahun. Aksa sampai putus asa dan depresi. Ia merasa malu dan bodoh di hadapan kedua orangtuanya. Jika Aksa dulu melakukan hal yang benar, mungkin saja kakaknya masih ada sampai sekarang.
Sebab, meski kakaknya bukan saudara kandungnya, Aksa tetap menyayanginya lebih dari menyayangi diri sendiri.
Lengkara memeluk Aksa dari samping untuk menguatkan pemuda itu. Ia tetap bungkam dan terus mendengar cerita Aksa sampai selesai.
“Dan aku selalu merasa sedih saat lihat kamu menjalani kemoterapi, Kar. Itu mengingatkan aku kepada sosok kakak yang dulu begitu aku sayang. Seharusnya aku membujuk kakak, seperti aku membujuk kamu untuk menjalani pengobatan. Bukan malah menuruti keinginan yang malah membawanya dekat dengan kematian. Bukan itu aja, aku mulai merasa takut jika suatu hari nanti aku gak bisa lagi lihat kamu. Gak bisa lagi denger suara ketawa kamu. Gak bisa lagi ngerasain pelukan hangat dari kamu.” Lanjutnya dengan nada parau.
Lengkara merasakan sesak yang sama. Mata gadis itu berkaca-kaca kala mendengar cerita Aksa. Namun ia berupaya menahan air mata untuk tidak jatuh.
“Pernah sekali aku memutuskan untuk pergi dari kamu. Waktu itu, saat aku gak ngabarin kamu selama beberapa hari dan menghindari kamu. Tapi aku gak mau egois lagi, Kar. Aku gak mau jadi orang jahat yang ninggalin kekasihnya saat dia lagi terpuruk. Aku mau terus sama kamu bagaimana pun keadaannya. Walaupun suatu hari nanti kita benar-benar dipisahkan oleh maut, aku rela, Kar.”
Aksa beralih memeluk Lengkara. Kemudian mereka sama-sama menangis dalam pelukan. Menumpahkan kesedihan yang selama ini tersembunyi dalam diri. Tak ingin membebani satu sama lain.
“Makasih, Sa, makasih.” Hanya itu yang dapat Lengkara sampaikan. Ia tak mampu berkata-kata lagi atas kebahagiaan sekaligus duka yang ia rasakan. Ia bersyukur Aksa hadir dalam hidupnya. Jika saja Aksa tak ada, ia tak tahu bagaimana hidupnya sekarang.
Mendengar itu, Aksa mengeratkan pelukannya. Sesekali ia mengecup kening Lengkara dengan penuh kasih sayang. Ia berjanji pada dirinya sendiri dan sang kakak yang kini telah berada di atas sana. Bahwa ia akan menjaga Lengkara sampai akhir dan menemani Lengkara menjalani kemoterapi seperti seharusnya. Sebagai penebusan dosa terhadap kakaknya dan sebagai bentuk cinta yang begitu besar terhadap Lengkara.
Dan berharap penuh atas kesembuhan Lengkara, Aksa terus berdoa dan meminta kepada Yang Kuasa. Sebab ia yakin, keajaiban itu ada. Serta Yang Kuasa akan mengabulkan permintaan hambaNya yang tak berhenti berdoa.
.........
Kala suara dering alarm terdengar menenangkan, mata itu terjaga. Namun ada yang hilang dari tatapannya. Keceriaan yang selalu ia pancarkan, kini redup berganti sendu. Nyaris tak pernah ada lagi senyum tulus yang ia tampakkan. Kini setiap senyum yang terlukis di wajahnya adalah senyum menyiratkan kesedihan. Bahkan setiap pagi, saat ia baru saja terjaga kembali, ia selalu menangis tanpa suara. Mewakili hati yang setiap hari tercabik-cabik. Namun Lengkara tak menunjukkannya pada siapapun. Tugasnya kali ini adalah menenangkan orang-orang terkasih dari rasa takut yang mengendap dalam dada. Seperti kata Aksa, setidaknya Lengkara mengukir kenangan indah untuk orang-orang yang ia cintai, sebelum akhirnya ia pergi dan tak pernah kembali.
Ia beranjak sesaat setelah tangisnya reda. 15 menit membersihkan diri, Lengkara berkaca dengan tatapan kosong. Tangannya meraih sisir dan mulai menyisir rambutnya yang dulu adalah mahkota yang selalu ia jaga. Namun kini, saat rambut itu sebagian besar harus terus rontok karena efek dari kemoterapi, Lengkara tak menganggap lagi rambutnya sebagai mahkota. Rasa sesak selalu ia rasa kala rambutnya tercabut di sela-sela sisir. Diambilnya segumpal rambut itu, kemudian Lengkara menangis. Benarkah waktunya di dunia tak lama lagi? Benarkah dirinya sudah ikhlas dengan takdir yang Maha Kuasa berikan? Lantas, mengapa harus sesakit ini?
Ia belum siap meninggalkan semuanya. Kala hidupnya kembali tertata dan menghadirkan lagi momen-momen indah bersama orang-orang yang ia sayangi. Kala Aksa hadir dan menjadi lelaki pertama yang meluluhlantahkan hatinya. Kala dirinya hampir meraih semua mimpi-mimpinya yang telah disusunnya matang-matang. Ia harus dihadapkan dengan sebuah penyakit yang merenggut sisa hidupnya. Untuk sesaat, Lengkara menangis di kamar mandi. Ia menutup bibirnya rapat-rapat takut suara rintihannya terdengar ke luar. Ia tak ingin keluarganya tahu bahwa Lengkara begitu terpuruk. Ia tak ingin kembali menyiratkan luka pada jiwa-jiwa yang begitu menyayanginya.
Saat berada di meja makan pun, Lengkara terus mengulas senyum seperti biasa. Disisipi senda gurau untuk menambah kehangatan. Seakan dirinya benar-benar kuat menghadapi semuanya. Ayahnya, terus melemparkan cerita yang menggelitik perut. Dipandangnya wajah-wajah itu lekat oleh Lengkara. Setidaknya, sebelum pergi dari dunia ini selamanya, ia mengingat wajah-wajah yang begitu ia cintai.
Pun saat dirinya memerhatikan Aksa yang tengah latihan seorang diri di GOR, tangisnya kembali muncul. Diam-diam ia berharap suatu hari nanti saat dirinya telah pergi, akan ada perempuan yang mampu memberikan cinta tulus untuk Aksa. Menggantikan dirinya yang tak mampu menemani Aksa sampai tua. Lengkara sudah mencoba ikhlas. Yang terpenting Aksa bahagia dan dirinya tenang di sana. Dan untuk Fera, ia berharap akan ada orang yang bisa menjadi sahabatnya. Atau mungkin sudah setelah hubungannya dan Fera merenggang. Ia berharap Fera selalu bahagia dan mencapai semua mimpi-mimpi gadis itu. Lengkara tak berharap untuk dimaafkan. Sebab perbuatannya cukup membuat luka di hati sahabatnya itu.
Semesta seakan mengerti perasaan Lengkara saat ini. Ia menangis dengan erangan yang menggetarkan dada. Begitu deras seperti air terjun yang berasal dari langit sana. Menumpahkan segala resah yang mendekap dalam dada. Menghanyutkan luka-luka yang terpendam dalam jiwa. Dan, menenangkan setiap insan yang tengah berduka. Salah satunya adalah Lengkara. Ia tersenyum kala hujan kembali menyentuh bumi. Terjatuh dengan sukarela demi menenangkan sebagian hati para penikmat hujan yang membutuhkan pelarian. Meski dinginnya memukul-mukul setiap pori-pori, Lengkara tetap menadahkan tangannya menyentuh dinginnya air. Bersamaan dengan itu, air matanya kembali menetes. Mengikuti alur deras yang turun begitu ramai.
Perlahan Lengkara melangkah. Membiarkan dirinya terguyur oleh tangisan langit. Berharap seluruh resah dan duka lara mengalir dan jatuh ke tanah. Hanyut dan hanya menyisakan suka dalam sukma. Tak peduli betapa kejamnya angin menusuk tubuhnya. Lengkara terus melangkah tanpa arah sembari menikmati hujan yang ia perlakukan selayaknya seorang sahabat. Sebab baginya, hujan selalu mengerti keadaan. Selalu menenangkannya kala dirinya benar-benar butuh hiburan.
Namun air hujan tak lagi membasahinya kala sebuah payung melindungi. Lengkara menengadah dan menoleh ke belakang, mendapati Aksa yang ngos-ngosan. Pemuda itu masih memakai baju seragam latihan taekwondo dan tidak memakai alas kaki.
“Kar,”
“Sa kamu—“
Aksa mendekap Lengkara begitu erat. Tangan kekar itu menepuk-nepuk punggung Lengkara untuk menenangkan. Seakan Aksa tahu bahwa Lengkara sedang tidak baik-baik saja.
“Aku gak tahu apa yang sedang kamu rasain. Tapi aku tahu, saat kamu berani hujan-hujanan, artinya kamu lagi gak baik-baik aja, Kar.” Ujar Aksa di tengah gemuruhnya hujan yang terus bersemangat untuk membasahi bumi.
Mendengar itu, Lengkara otomatis menangis. Perkataan Aksa seperti menyihirnya dan memancing duka yang tadinya ingin ia pendam seorang diri. Lantas tangannya naik untuk membalas pelukan Aksa. Begitu erat, melebihi Aksa. Lengkara begitu menyayanginya. Seandainya dirinya dan Aksa bertemu jauh sebelum penyakit ini ada, mungkin Lengkara akan lebih bersyukur. Sebab, setidaknya ia memiliki waktu yang lama dengan Aksa. Mengukir semua kenangan indah lebih banyak dan merasakan cintanya lebih dalam.
Tuhan, aku begitu mencintainya melebihi apapun.
..........
“Kita emang mau ke mana, Sa?”
Sebuah pertanyaan membuat Aksa menoleh. Ia tersenyum kala mendapati Lengkara telah memakai pakaian yang ia pilihkan di toko. Setelah memilih pakaian dan menunggu Lengkara mencoba beberapa pakaian, kini Aksa membawa Lengkara melangkah ke tempat yang tidak diketahui gadis itu.
“Kamu kan tadi basah kuyup, masa mau pake baju basah lama-lama? Entar kalau kamu masuk angin gimana?”
Lengkara menunduk, ia malu kepada Aksa.
“Nah karena kamu udah pakai baju baru, mending kita ke tempat yang pasti kamu suka.”
Aksa menarik Lengkara untuk pergi ke tempat yang sebelumnya sudah Aksa rencanakan. Sementara Lengkara nampak pasrah dan tak mencegah Aksa untuk membawanya pergi ke tempat yang tidak ia ketahui. Menaiki 1 lantai dengan tangga eskalator, akhirnya mereka sampai di sebuah restoran bakso mercon yang akhir-akhir ini digemari oleh banyak orang.
“Kita ngapain ke sini? Mau makan?” tanya Lengkara dengan wajah lugunya.
Aksa tertawa gemas melihatnya. “Yaiyalah makan, kata siapa restoran ini tempat olahraga?”
Lengkara membekap mulutnya menahan senyum karena malu. Kemudian Aksa kembali menuntun Lengkara untuk duduk di salah satu meja kosong. Tempat ini begitu ramai oleh banyak orang—terutama keluarga besar yang sengaja singgah di sini untuk menikmati kuliner yang sedang populer. Tidak hanya itu, harganya yang murah dengan porsi bakso yang luar biasa menjadi daya tarik utama orang-orang untuk makan di sini. Aksa sendiri mengetahui tempat ini saat tempo hari ia mengantar saudaranya untuk berbelanja ke mall. Karena bosan menunggu saudaranya yang lama memilih pakaian, Aksa melampiaskannya dengan berkeliling mall dan menemukan restoran ini yang mengingatkannya kepada Lengkara.
“Mba, saya pesen bakso ini.” Ujar Aksa kepada pelayan yang menghampiri mereka, Lengkara melotot kaget.
“Sa, serius?” tanya Lengkara tak percaya.
Aksa mengangguk mantap. “Kamu mau gak?”
Lengkara mengangguk penuh antusias. Makan bakso super besar adalah keinginnanya sedari dulu yang belum ia wujudkan.
“Tapi bakal habis gak?” tanya Aksa.
“Habis dong! Kita lihat aja nanti.” Lengkara tersenyum angkuh, seakan bakso sebesar apapun akan habis dilahapnya.
Aksa tertawa kecil, ia mencuil hidung Lengkara. “Oke siapa takut!”
Menunggu sekitar 10 menit, akhirnya pesanan yang ditunggu-tunggu telah tiba. Keduanya nampak terperangah dengan ukuran bakso sebesar dua helm itu, apalagi Lengkara yang nampak ternganga melihatnya. Kemudian dengan sigap, pelayan itu melumuri bakso dengan saus yang makin menggiurkan. Bakso yang masih mengepul dengan saus yang tak setengah-setengah itu membuat Lengkara dan Aksa tak sabar untuk melahapnya.
“Selamat menikmati.” Ujar ramah sang pelayan.
“Yakin habis segini?” tanya Aksa kepada Lengkara.
“Habis lah!” jawabnya tanpa melihat Aksa. Matanya fokus ke bakso yang begitu menggoda. Lengkara pun susah payah menelan salivanya sendiri nampak tak sabar untuk segera menghabiskan bakso yang sudah ada di depan mata.
Aksa tertawa kecil melihat tingkah Lengkara yang menggemaskan. Dalam hati ia berseru senang, sebab telah membuat Lengkara bahagia seperti ini, rencana Lengkara yang pertama telah ia laksanakan. Ia ingin Lengkara melupakan sejenak hal-hal yang membebani gadis itu. Merasakan kembali momen-momen indah dan menyenangkan yang sudah seharusnya gadis itu rasakan.
“Yaudah ayok makan!” Aksa berseru riang, ia acungkan garpu dan pisau kecil untuk memotong kecil bakso di hadapannya.
Tanpa ba-bi-bu, setelah sebelumnya bakso di potong-potong oleh pelayan tadi, keduanya melahap dengan nikmat. Keringat bercucuran di kening masing-masing karena rasa pedas yang begitu candu sampai mereka tak berhenti untuk sekedar minum. Aksa sempat terkejut dengan Lengkara yang begitu antusias menikmati bakso. Berulang kali Aksa menawarkan minum untuk Lengkara, namun Lengkara terus menolak dengan mengatakan—
“Aku takut pedesnya ilang! Ini sumpah enak banget. Gak sambal, gak bakso, gak kuahnya, muantep banget! Pokoknya bintang 100!”
Aksa terkekeh geli, ia bersyukur jika memang Lengkara sangat menyukainya. “Yaudah iya, tapi pelan-pelan, gak bakal aku habisin kok.” Aksa sampai geleng-geleng kepala melihat pipi Lengkara menggembung karena bakso yang berada di mulutnya belum sepenuhnya ia habiskan, lalu potongan bakso selanjutnya sudah masuk ke mulut.
Kemudian dengan penuh kasih sayang, Aksa mengelap keringat yang mencuri tempat di wajah cantik gadis itu dengan tisu. Untuk sesaat Lengkara tersenyum tersipu dan merasakan sesuatu yang hangat di dadanya.
Lengkara sendiri sudah merasakan pengap, kemudian ia berhenti terlebih dahulu dan mendorong sisa bakso yang masih berada dalam mulut dengan air dingin yang ia pesan tadi. Sigap, Aksa mengelap sambal yang belepotan di bibir Lengkara, kemudian mencubit hidung gadis itu. Keduanya saling melempar senyum.
“Enak baksonya?” tanya Aksa.
“Banget!” seru Lengkara. “Tapi aku udah kekenyangan.” Ia melihat potongan bakso yang masih tersisa banyak. Andaikata perutnya masih memiliki ruang untuk bakso-bakso di atas piring itu, mungkin saja dirinya akan kembali melahap bakso yang sangat ia sukai. Ternyata keyakinannya untuk menghabiskan semua bakso ini pupus. Nyatanya ia tak sanggup menghabiskannya sampai tandas.
“Aku juga udah kenyang, gimana kalau kita bungkus terus bawa pulang? Buat kamu aja, kali kamu satu jam kemudian masih mau makan bakso?” usul Aksa.
Lengkara mengangguk cepat. Lantas Aksa memanggil salah satu pelayan untuk membungkuskan bakso yang masih tersisa banyak. Sembari menunggu pelayan itu selesai, Lengkara mengedarkan pandangan ke segala penjuru restoran. Lalu berhenti kala ia melihat seorang wanita paruh baya dengan pakaian lusuh tengah memandangi orang-orang yang sedang makan. Nampaknya wanita paruh baya itu ingin makan bakso namun tidak memiliki uang.
“Sa, sebentar.” Lengkara pergi begitu saja meninggalkan Aksa yang kebingungan. Dan ternyata Lengkara menghampiri wanita itu.
“Ibu ngapain di sini?” tanya Lengkara basa-basi.
Wanita itu menunduk, “Saya.. pengen beli bakso itu buat anak saya, tapi saya gak punya uang cukup.” Wanita itu memperlihatkan uang recehan di tangannya kepada Lengkara.
Merasa kasihan dan terenyuh, Lengkara menuntun ibu itu untuk masuk dan berniat memesankan bakso. Aksa yang masih kebingungan melayangkan pandangan tanya kepada Lengkara yang tiba-tiba mempersilahkan duduk wanita itu di meja mereka.
“Ibu ini mau beli bakso buat anaknya, tapi uangnya gak cukup.” Lalu pandangan Lengkara beralih kepada wanita itu. “Ibu silahkan pesen bakso sepuasnya, nanti saya yang bayar.”
“Ini beneran, neng?”
Lengkara mengangguk dengan senyum yang tak surut dari wajahnya. “Iya, bu, tapi ibu juga makan di sini sambil nunggu bakso yang mau dibawa ke rumahnya selesai di bungkus, ya? Atau ibu mau bungkus juga boleh.”
Aksa yang menyaksikan itu tersenyum haru, bersyukur dan merasa bangga memiliki Lengkara yang mempunyai hati selembut dan sebaik malaikat.
“Ya Allah makasih, neng, semoga Allah memberikan rezeki yang berlimpah kepada eneng sebagai gantinya. Dan semoga Allah mengabulkan semua doa serta memberi berkah dan umur yang panjang untuk neng dan aa.” Ucap ibu itu dengan mata yang berkaca-kaca. Seakan sebuah bakso yang diberikan bagaikan berlian paling berharga yang ia terima.
Aksa dan Lengkara mengamini bersama.
“Silahkan, bu, pilih dulu.” Lengkara memberikan buku menu kepada wanita paruh baya itu yang tampak semangat dan senang menerimanya.
.........