Pada setiap tanya yang melintas di kepala. Pada setiap teka-teki yang terus menghantui. Malam itu Aksa menemukan jawaban. Bukan lisan yang menyampaikan, namun tulisan yang bertengger di dalam catatan. Catatan penuh luka yang dapat menyayat sang pembaca.
Seperti ada panah yang menghujam dadanya, rasa sakit menjalar kala dirinya harus dihadapkan kembali dengan sebuah kehilangan. Saat membaca keseluruhan catatan Lengkara yang berisi tentang pemikiran, curahan dan tangisan yang gadis itu lampiaskan pada sebuah buku yang sukarela dinodai, Aksa mematung. Tanpa ia sadari air matanya menitik menyentuh buku. Sekelebat kenangan pahit yang ia ingat kembali memenuhi kepalanya. Aksa tak ingin lagi kehilangan. Rasanya begitu menyakitkan sampai ia tak bisa lagi mendefinisikan.
Hal itu pula yang menjadikan Lengkara terus-menerus berputar di kepala. Layaknya matahari yang tak lelah menyinari bumi, sosok Lengkara tak pernah lepas dari ingatan. Entah mengapa ia bisa sesedih ini dan menangisi perempuan yang belum lama dikenalinya. Selain karena ia mulai jatuh hati pada gadis itu, Aksa harus menyelamatkannya. Menyelamatkan gadis itu dari keputusasaan, dari pemikiran buntu dan menghalalkan segala cara, hingga mengantarkannya pada penyesalan yang tak berujung. Atas rasa bersalah pada masa lalu, ia tak ingin apa yang terjadi dahulu terulang kembali di masa kini.
Aku tak ingin membuat semua orang-orang yang kusayangi merasa kehilangan. Sebab, kehilangan yang paling menyakitkan adalah kematian. Berat rasanya bila harus melakukan hal ini. Menumbuhkan benih kebencian dalam diri mereka dengan cara jahatku. Hingga tak ada hal yang dianggap baik dariku bagi mereka. Meski sulit dan sakit aku menerimanya. Sebab, bilamana aku biarkan diri ini dikasihani oleh tangis mereka, melihat luka dan pengharapan dari mereka akan kesembuhan yang mustahil bagiku, lebih baik aku melihat kebencian dari sepasang mata mereka setiap waktu. Daripada harus menyaksikan kesedihan yang seharusnya kebahagiaan lah yang menghiasi wajah-wajah itu. Biar rasa sakit ini kutanggung seorang diri. Mengadu padaNya sesekali dan memaksakan untuk bertahan sampai aku mati.
Tuhan, jemput aku ketika mereka tak lagi mencemaskanku.
Lengkara
##
Kabar macam apa yang diberikan oleh orang berpendidikan seperti dokter itu? Bukankah seharusnya kabar yang membahagiakan bagi pasiennya? Mengapa harus kabar buruk yang menuai tangis di wajah-wajah mereka yang kusayangi? Sekejam itukah ia setelah bertahun-tahun menghabiskan waktu, tenaga dan uang demi untuk menjadi seorang dokter? Haruskah ia katakan di depan mereka bahwa penyakit ini hinggap dalam otakku?
Namun, apa kabar denganku yang hanya bisa berputusasa dengan kabar itu? Haruskah aku bersemangat atas kesembuhan yang mustahil, atau lebih memilih untuk menunggu kematian menjemput diri? Ya-Rabb, dosa apa yang kuperbuat sehingga aku mendapatkan penyakit yang begitu mengejutkan?
Lengkara
##
Tak ada lagi harapan. Mimpi-mimpi indah yang telah kurencanakan matang-matang, kini berakhir menjadi catatan tak berarti. Aku tak akan pernah sampai pada titik itu. Di mana aku mendapatkan semuanya. Kebahagiaan, kesuksesan, keharmonisan keluarga, dan perjalanan indah bersama sahabat. Semua hanya akan menjadi bayang-bayang semata dalam mimpiku yang panjang. Setelah dihancurkan oleh sebuah kabar yang tak pernah aku harapkan. Penyakit yang nyaris tak kuketahui telah tinggal tanpa izin dalam kepala, memaksaku mundur dan masuk dalam jurang keputusasaan.
Lengkara
##
Bahkan Lengkara menempelkan hasil tes lab-nya di buku.
Aksa mengepalkan tangannya kala membaca tiap catatan memilukan dalam lembar buku Lengkara. Ternyata ini alasan Lengkara selalu menangis seorang diri, pandangannya kosong dan selalu melamun. Gadis misterius baginya itu telah memberikan jawaban secara tidak langsung. Melalui semesta yang telah menyusun semuanya sesuai waktu. Memberikan kesempatan untuk Aksa mencaritahu sendiri melalui kebetulan-kebetulan yang diberikan.
Kemudian esoknya ia berniat memberikan buku kepada Lengkara. Menanyakan segalanya kepada gadis itu mengenai apa yang ia tulis dalam buku. Dengan segala resah dan bayang-bayang masa lalu, Aksa mencari Lengkara. Bertanya kepada teman-teman sekelas Lengkara, katanya ada yang melihat Lengkara berlari ke perpustakaan. Maka tak menunggu lama Aksa menuju gedung tempat buku-buku disimpan rapih.
Saat memasuki ruangan, Lengkara nampak resah. Ia bulak-balik mengelilingi meja yang sama. Terlihat memastikan bahwa ia terakhir menyimpan buku itu tepat di meja yang kemarin ia tempati. Aksa menarik niat untuk menanyakan tentang isi buku ini. Rasanya belum tepat untuk menanyai Lengkara. Terlebih mereka baru saling mengenal. Tidak sopan jika dirinya menanyakan hal yang seharusnya menjadi privasi Lengkara.
Semenjak ia mengetahui segalanya tentang Lengkara, Aksa tak menjauh. Justru pemuda itu berniat untuk membantu Lengkara pergi dari keputusasaan. Merangkak secara perlahan dan berjuang demi kesembuhan. Serta kembali menjalani hari-hari penuh dengan impian. Setiap waktu, diam-diam Aksa selalu memerhatikan dari jauh. Apa yang sedang Lengkara lakukan, di mana dia berada, dan selalu siaga tanpa gadis itu ketahui. Bukan tanpa alasan dirinya memaksa Lengkara untuk berteduh sampai menggedongnya. Bukan tanpa alasan Aksa selalu memberikan payung kepada Lengkara saat hujan turun, takut Lengkara berjalan di bawah hujan dan basah kuyup. Semua itu Aksa lakukan karena melindungi Lengkara. Ia tak ingin Lengkara semakin parah sakitnya.
Dan hal itu pula yang mempertegas hatinya bahwa dia mencintai Lengkara. Sejak awal pertemuan, ia telah mencintai gadis itu. Aksa baru merasakannya, meski belum dengan debaran yang membuatnya benar-benar hanyut dalam perasaan. Aksa tak ingin kehilangan Lengkara, meski bisa saja suatu saat Allah mengambilnya secara paksa. Aksa tak ingin membiarkan Lengkara terpuruk dan melakukan hal yang salah. Ia ingin menjadi sesuatu yang berarti untuk Lengkara. Seseorang yang membuat Lengkara bangkit dari keputusasaan dan menjalani hari-hari indah seperti sedia kala.
Maka tanpa ragu, Aksa memeluk Lengkara. Masih membiarkan gadis itu melepas segala duka dan beban dalam tangis yang memilukan. Beruntung ia cepat datang dan menarik Lengkara saat gadis itu hendak melompat ke bawah. Tak peduli sore hampir menjelang malam. Tak peduli bajunya kini basah oleh air mata Lengkara. Aksa akan merasa bersyukur bila tangis itu reda setelah Lengkara menumpahkannya dan kembali berproses menjadi Lengkara yang seceria dulu. Seperti apa yang gadis itu tulis dalam buku.
........
“Kara, hidup memang gak selalu mulus. Seperti laut, hidup kita selalu mengalami pasang surut. Pun layaknya roda yang berputar, gak selamanya kita ada di bagian paling atas. Itu menunjukkan bahwa kita harus selalu belajar beradaptasi dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Kita harus siap dan kuat menghadapi berbagai hal dari semesta yang selalu memberi kejutan.” jelas Aksa dengan pandangan yang tak lepas dari bintang yang bertaburan indah di langit.
Sudah berganti malam, mereka tak juga pulang. Sengaja Aksa menemani Lengkara untuk menenangkan diri di sini. Aksa pun tak ingin Lengkara melakukan hal bodoh lagi. Aksa berjanji pada dirinya untuk selalu menjaga Lengkara dalam keadaan apapun. Sementara Lengkara tenggelam dalam lamunan panjang. Air matanya masih mengalir, menandakan bahwa ia belum setenang dulu—saat ia belum diagnosa mengalami kanker otak. Resah dan sakit masih hinggap di kepala.
“Terus apa lo bakal kuat ketika dihadapkan dengan penyakit yang gak ngasih lo kesempatan untuk hidup lebih lama?” Suara Lengkara terdengar parau dan serak, cukup menyayat hati Aksa sampai membuat pemuda itu menoleh pada Lengkara yang juga tengah menatap langit malam. Air mata tak juga surut dari matanya yang begitu teduh.
“Tentu aku gak akan kuat. Tapi semua manusia punya porsi kekuatan untuk menghadapi masalah yang datang kepadanya. Kita gak bisa membandingkan segala sesuatu yang kita alami dengan kehidupan orang lain. Yang Kuasa ingin tahu seberapa kuat kamu menghadapi hal ini dan seberapa semangat kamu untuk bangkit.”
Lengkara kembali menangis tersedu-sedu. Ia tak bisa membayangkan bila suatu hari nanti udara tak bisa lagi ia hirup. Indahnya semesta tak bisa ia saksikan. Dan kehangatan serta kebahagiaan dari orang-orang terkasih tak bisa dirasakannya. Lengkara belum siap menghadapi semua itu. Lengkara belum siap untuk kehilangan semuanya termasuk hidupnya. Masih banyak hal yang ingin ia lakukan. Menggapai mimpinya, membahagiakan orang-orang yang dicintainya, menikmati hidup yang panjang dengan orang terkasih. Ia ingin bertahan lebih lama, namun ia tak mampu berbuat apa-apa. Meski Aksa telah memberikannya banyak sekali motivasi, tetap saja, yang Lengkara butuhkan adalah mesin waktu. Ia ingin kembali pada masa lalu sebelum penyakit ini hinggap. Dan tak ingin beranjak sama sekali demi mendekap kebahagiaan hidupnya.
........
Tidak seperti apa yang Aksa bayangkan, pada kenyataanya tak semudah itu untuk membuat Lengkara sadar dan bersemangat berproses dalam kesembuhan. Meski sudah terang-terangan menyatakan perasaan, Lengkara malah berupaya menghindarinya. Aksa sempat mengeluh, namun ia tak ingin menyerah. Baginya, ia sudah terlanjur hanyut dalam rasa kepada Lengkara, dan tak ingin gadis itu memilih jalan yang salah karena keputusasaannya.
Aksa selalu punya cara untuk mendekati gadis itu. Tak peduli dengan pandangan orang lain ataupun teman-temannya. Ia selalu memberi perhatian pada Lengkara melalui pesan dan secara langsung. Meski tak kunjung mendapat balasan, Aksa terus berusaha dan yakin jika nanti Lengkara akan luluh dan bersedia membuka hati untuknya.
Dalam hal ini cukup menunjukkan bahwa cinta dapat memunculkan sifat lain dari Aksa. Sifat yang selama ini terkungkung dalam dirinya.
Lengkara menghela nafas jengah. Gadis itu membalikan badan yang langsung membuat Aksa nyengir kuda. “Ngapain sih ngikutin gue terus?” ketusnya. “Gue udah kasih tahu lo berkali-kali, Aksa, jangan deketin gue!”
“Kalau aku nya ngeyel?”
Lengkara mendelik, berbalik dan kembali melanjutkan langkah menuju ruang dosen untuk menyerahkan tugasnya. Aksa terus mengikutinya meski gadis itu sudah naik darah.
“Sampai kapan sih lo ngintilin gue, Sa?”
“Emang gak boleh? Kan aku pacar kamu, Kar.” Katanya santai, nyaris membuat Lengkara tersedak ludahnya sendiri.
Lengkara melotot tak percaya. “Sejak kapan kita pacaran?!”
Semua mata memandang mereka, sebab suara Lengkara begitu nyaring terdengar. Lengkara yang sadar lantas menutup mulutnya dengan tangan. Sementara Aksa malah senyam-senyum sendiri, ia salah tingkah.
“Sejak aku nyatain perasaan ke kamu di rooftop sore itu.”
“What? Tapikan gue..”
“Udah jalanin aja. Kita pacaran pokoknya, fiks!” selanya.
“Lah gak bisa gitu dong!” Lengkara tak terima meski dalam hati ia begitu berbunga. Segala upaya ia lakukan agar Aksa menjauh dan membencinya, namun Aksa adalah satu-satunya manusia keras kepala yang terus mendekatinya. Lelaki itu selalu berusaha sampai membuat Lengkara jengah. Semakin Aksa berjuang mendapatkannya, semakin sakit ia menerima kenyataan bahwa tak bisa selamanya bersama Aksa.
“Bisalah kata siapa gak bisa.” Aksa menaikturunkan alisnya, genit. Dengan santai ia masukkan kedua tangannya ke dalam saku dan menatap Lengkara lamat-lamat disertai senyumnya yang manis.
Entah sudah berapa kali Lengkara membuang nafas karena kesal kepada Aksa. Ia lantas berjalan kembali tanpa tujuan—yang penting Aksa tidak mengikutinya. Namun nyatanya—
“Kar, mau makan apa?” Aksa dengan santai merangkul gadis itu.
“Apaan sih, Sa! Lepasin gak?”
“Gak! Biar semua orang tahu, kalau cowok ganteng kayak aku akhirnya punya cewek secantik kamu. Omong-omong, kamu pacar pertama aku loh! Seharusnya kamu merasa beruntung, Kar!” tanpa gadis itu sadari, dalam hati Aksa sempat tercengang dengan dirinya sendiri. Sebab, gadis itu tanpa sadar sudah memunculkan diri Aksa yang lain.
Lengkara berhasil melepas Aksa dan menjauhkan diri dari pemuda itu. “Bodoamat! Gue bukan pacar lo!” kemudian ia berlari.
Aksa tak lagi mengikuti Lengkara, ia membiarkan gadis itu pergi seorang diri. Sebab dirinya pun ada urusan yang harus dilakukan. “Take care, Kar.” Lirihnya pelan.
.........
Sepanjang mata kuliah berlangsung, Aksa memikirkan bagaimana caranya mengambil hati Lengkara. Ia ingin membuat Lengkara jatuh cinta juga pada dirinya. Namun Aksa terlampau bingung, sebab ini kali pertama ia memulai hubungan dengan seseorang. Meskipun belum tahu Lengkara menganggap mereka pacaran atau tidak. Dan tidak tahu juga Lengkara memiliki perasaan yang sama padanya atau tidak. Bahkan satu jam setelah kelas selesai, Aksa masih dihinggapi oleh kebingungan. Ia sama sekali tidak menemukan jawaban yang pas. Sampai ia mengerang sebab merasa jadi lelaki bodoh yang tak tahu apa-apa untuk membuat senang gadis yang dicintainya.
“Kenapa sih? Dapet lo? Marah-marah mulu, mana marah sendirian.” Gerutu Sagara, merasa terusik dengan gelagat Aksa.
Aksa menyimpan gitar secara sembarang ke kasur, yang langsung diambil alih oleh Agam yang duduk di sana. Kini Aksa, Sagara, Agam, Novan dan Galen berkumpul di indekos Agam. Mereka tengah menikmati sore menuju malam dengan berdiskusi santai seperti biasa.
“Iya nih diajak ngobrol malah gak nyambung.” Sahut Galen. “Kenapa, Sa? Ada masalah?”
Aksa sebenarnya tak ingin mengatakannya kepada teman-temannya. Namun karena Aksa merasa buntu, tidak bisa berpikir lagi bagaimana caranya, akhirnya teman-temannya yang bucin akut adalah salah satu jalan. Berharap mereka semua bisa kembali memberikan saran yang anti gagal seperti waktu itu.
“Gue—udah nyatain rasa ke Lengkara.” Aksa menggigit bibirnya, merasa—entahlah dia merasa malu terhadap teman-temannya. Kontras dengan caranya berbicara. “Gue bingung harus gimana biar Lengkara balik suka ke gue.”
Semuanya tertarik, meninggalkan aktivitas mereka untuk mendengarkan Aksa.
“Udah lo lakuin lagi saran kita waktu itu?” tanya Galen.
Aksa menggeleng, dia terlihat putus asa. “Gak mempan, dia selalu menghindar dan nyuruh gue berhenti ngejar dia.”
Dengan iba, Novan menepuk dan memijit pundak Aksa. “Sabar ya, bang. Gini rasanya bucin ke cewek, lo dulu ledekin kita semua, dan sekarang lo ngalamin. Mampus lo!”
Aksa menghempas tangan Novan dan mendelik. “Malah ngeledek gue lo, Kambing!”
“Hehe canda gue, Sa.”
“Sa, ngeluluhin hati cewek gak segampang lo ngalahin lawan di pertandingan. Lo harus bersabar dan terus berjuang sampe dapet hatinya Kara. Semua butuh proses, bro. Sebelum lo jadi fighter taekwondo, lo dulu menjalani proses panjang latihan dulu, kan?” tutur Sagara.
Aksa mengangguk.
“Nah, sama kayak bikin Kara jatuh cinta juga sama lo.”
“Untuk sekarang, lo harus terus ngelakuin saran yang kita semua kasih ke lo. Gue yakin, Kara pasti bakal luluh. Tapi balik lagi seperti apa yang Saga omongin barusan, semua butuh proses. Dan lo harus nikmatin proses itu. Kara ibarat piala kejuaraan yang harus lo dapetin melalui berbagai tahap pertandingan. Semuanya gak instan, Sa. Mie instan aja perlu direbus dulu baru di makan.” Tambah Agam memperjelas dan meyakinkan Aksa.
Aksa perlahan menemukan kembali semangatnya. Ternyata memang benar, sabar dan perjuangan harus selalu ia gunakan sampai membuat Lengkara balik jatuh cinta padanya. Sama seperti cerita bapak yang penuh perjuangan untuk mendapatkan mama, Aksa akan terus bertahan. Demi cintanya, demi Lengkara.
“Thanks, bro, segila dan ngeselinnya kalian, kalian selalu ngasih saran yang baik buat gue.” Ujar Aksa dengan binar di wajahnya. Bersamaan dengan itu runtutan ide muncul di kepalanya tentang cara meluluhkan hati Lengkara. Tapi tetap saja, tanpa bimbingan teman-temannya, Aksa akan kesulitan ketika terjun ke lapangan nanti. Maka daripada itu, Aksa akan mendengarkan mereka baik-baik untuk saat ini.
Mereka semua mengangguk. “Kita kan temen!” Novan berteriak sambil merentangkan tangan berniat memeluk mereka semua. Namun kenyataannya, Aksa, Galen, Sagara dan Agam beringsut menjauh dari Novan. Bahkan Agam dengan semena-mena melemparkan target ke Novan yang beruntungnya meleset.
“Kamvret lo, Gam, jadi temen!” hardik Novan yang justru memancing tawa.
.......
Hujan terus mengalir deras membasahi bumi. Sudah beberapa kali di bulan ini. Bumi seakan merasakan duka yang dialami oleh Lengkara. Menangis setiap hari, menemani Lengkara yang tenggelam dalam luka. Bahkan sampai menjadi sahabat, sebab Lengkara merasa bahwa hujan mendekapnya di kala rasa takut akan meninggalkan orang-orang yang dia sayang, impian yang telah direncanakan dan tak dapat lagi bertumbuh sesuai waktu. Lengkara menadahkan tangannya, menyentuh air hujan yang dinginnya terasa pada pori-pori. Menatap sendu telapak tangan yang kini telah dibasahi oleh air.
Berapa lama lagi ia merasakan sentuhan alam ini?
Hendak membiarkan kembali tubuhnya di peluk oleh tangisan semesta, Lengkara ingat bahwa Aksa selalu membawanya berteduh. Lelaki itu akan melakukan apapun agar dirinya tidak hujan-hujanan. Mengingat hal itu, Lengkara makin menundukkan kepala. Ada rasa sakit yang melintas dalam dada. Seharusnya dirinya dan Aksa tidak pernah bertemu. Daripada harus menorehkan luka sebab dirinya tak akan pernah bisa bersama Aksa meski dia mau.
Bersamaan dengan itu, seseorang berdiri di sampingnya. Menatap hujan yang betah mengguyur bumi, setelah menyampirkan jaketnya ke pundak Lengkara dan membawa payung di tangannya, takut jika Lengkara nekad hujan-hujanan.
“Kamu tahu, Kar? Semenjak kamu selalu menangis di balik hujan, aku jadi selalu ingat kamu saat hujan turun. Makanya sekarang aku nyari kamu dan ngasih ini.” Aksa menunjuk payung yang dipegangnya.
“Sampai kapan sih, Sa, lo kayak gini?” lirih Lengkara tanpa menatap Aksa. Jenis tatapan yang dilayangkan bukan tatapan amarah seperti sebelumnya, tapi tatapan lelah yang membuat hati Aksa terenyuh.
“Sampai aku bisa dapetin cinta dari kamu, Kar.” Aksa menatap lamat-lamat Lengkara.
Lengkara kini menatap manik mata Aksa. Terlihat jelas ketulusan dan cinta di sana untuknya. Melihat itu, Lengkara makin sakit hati. Seandainya penyakit ini tak merenggut sisa hidupnya, mungkin saja Lengkara akan menjadi gadis terbahagia sebab dicintai oleh Aksa. “Gue udah bilang kalau—“
“Kar, gak usah memperjelas apa yang udah aku tahu.” Potong Aksa. “Aku udah bilang kalau aku gak peduli sama itu. Aku gak peduli kalau suatu saat nanti kita dipaksa berpisah oleh ruang dan waktu. Aku gak bisa bikin perasaan aku hilang gitu aja, karena perasaan aku gak main-main, Kar.”
Kembali Lengkara menundukkan kepalanya, menyembunyikan air mata yang menitik. “Gue gak bisa, Sa. Gue gak mau jadi beban buat lo.”
“Kata siapa kamu jadi beban aku, Kar? Pernah aku bilang gitu?”
“Sa, ini gak bakal mudah buat lo!” susah payah Lengkara menahan air mata yang sesaat lagi pecah.
Aksa memegang kedua bahu Lengkara, keduanya berdiri saling menghadap satu sama lain. “Tentu akan mudah kalau kita sama-sama berusaha, Kar. Kamu jangan berpikir kalau kamu akan gagal melawan penyakit kamu. Aku yakin, Kar, kalau kamu berusaha, kamu pasti bisa sembuh. Gak ada yang mustahil di dunia ini kalau kita mau berjuang.” Aksa kemudian mengelap sisa air mata Lengkara di pipi gadis itu dengan jempolnya.
Tanpa diketahui Aksa, tangan gadis itu mengepal sampai kuku-kukunya menyakiti telapak tangan untuk kesekian kali. Ingin rasanya Lengkara menghambur dalam pelukan Aksa. Ingin sekali Lengkara menikmati hari-harinya dengan Aksa. Namun ia tak bisa melakukan itu. Ia tak ingin egois dan menyakiti pemuda di hadapannya ini suatu hari nanti.
“Gue mohon lo pergi dari hidup gue, Sa.” Lengkara pergi setelah menghentakkan tangan Aksa dan memberikan kembali jaket pemuda itu.
Aksa mematung di tempat, entah dengan cara apalagi untuk mendapatkan hati Lengkara. Aksa sungguh lelah menghadapi sikapnya ini. Entah mengapa pula rasa ini semakin tumbuh di saat Lengkara terus memintanya untuk menjauh.
........
Kehadiran Aksa menjadi beban untuk Lengkara. Secara tidak langsung, hatinya terbuai oleh perjuangan yang Aksa berikan untuknya. Bersamaan dengan itu, logika memberontak memberi pemahaman dan mengingatkan kepada Lengkara apa yang akan terjadi kedepannya. Lengkara sudah tak tahan lagi, ia hanya bisa melampiaskannya pada hal-hal yang dulu ia hindari. Ia sudah tak peduli dengan kesehatan atau apapun itu. Lengkara hanya ingin tenang ditengah keresahan yang tiada akhir.
Lengkara juga melakukan segala hal agar lupa dengan musibah yang menimpanya, juga Aksa yang hadir dalam hidupnya. Ia ingin menghempaskan semuanya dengan singgah di bar yang kini menjadi pelariannya. Minuman alkohol yang dulu sangat dibencinya, kini seperti kebutuhan untuknya saat ia mengingat semua yang membebaninya.
Kala pengaruh alkohol telah menguasai Lengkara, gadis itu menangis di meja bar. Tak peduli orang-orang memandang dan berpikir apapun tentang dirinya. Yang pasti kini Lengkara tengah melampiaskan semua melalui tahap akhir—yakni dengan menangis. Meskipun menangis tak akan pernah menyelesaikan masalah, namun dengan menangis Lengkara sedikitnya merasa lega. Untuk sesaat Lengkara merasa menyesal mengapa ia harus melampiaskannya dengan cara yang salah. Namun kebiasaan itu terus berulang tanpa Lengkara tahu bagaimana cara mengakhirinya.