Read More >>"> AKSARA (Ada Aku Disini ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - AKSARA
MENU
About Us  

“Kara! Sarapan sayang..” pekik bunda di lantai dasar. Mengusik tidur Lengkara yang begitu terlelap. Saat sepenuhnya sadar, gadis itu terkesiap kala dirinya ternyata tertidur di atas meja. Buku-buku berserakan di mana-mana. Setelah semalaman Lengkara belajar untuk olimpiade sastra yang akan ia ikuti.

“Ya ampun Kara, lihat, kamar kamu udah mirip banget sama kapal pecah.” Omel bunda dengan suara lembutnya. “Cepet bangun, sayang. Kan katanya hari ini kamu mau belajar bareng sama Fera?”

Lengkara merasakan pegal karena semalaman tertidur dalam posisi duduk. Ia meregangkan otot-ototnya terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Bunda yang menyaksikan anak keduanya itu hanya bisa menggelengkan kepala kemudian beranjak turun ke lantai dasar tepatnya ruang makan.

“Udah hafal semua materinya?” tanya Kinara—kakak Lengkara.

Lengkara mengacungkan jempol dengan mulut penuh. Tak ada masakan terenak selain masakan bundanya. Lengkara memang selalu seantusias ini kala bunda memasakkan apapun untuk anak-anaknya. Setiap pagi, keluarga Lengkara tak lekang mengisi canda dan tawa di meja makan sebelum akhirnya mereka disibukkan dengan urusannya masing-masing. Kinara yang bekerja sebagai dosen di sebuah universitas terbaik di Bandung, sang ayah yang bekerja sebagai manajer di salah satu perusahaan desain interior, Lengkara yang adalah mahasiswi baru, dan bunda seorang ibu rumah tangga yang selalu mengisi waktu kekosongan dengan berkebun.

Bunda memang sangat hobi berkebun. Tanah lapang di belakang rumah bunda manfaatkan untuk ditanami banyak sekali sayur-mayur dan buah-buahan. Tak ayal, bunda jarang sekali ke pasar, sebab persediaan begitu cukup di sana. Setelah menghabiskan makanan disisipi bincang penuh kehangatan, Lengkara pergi menuju tempat yang sudah dijanjikan bersama sahabat dekatnya. Ia begitu antusias, menikmati cerahnya mentari yang memberikan kehangatan pada bumi. Sesekali mengedarkan pandangan pada sekitar, pada orang-orang yang telah disibukkan dengan rutinitas mereka. Kesibukan yang begitu candu untuk Lengkara pandangi, dan sedikitnya ia jadikan motivasi untuk lebih bersemangat meraih mimpi.

Kemudian saat lampu merah menyala, membuat seluruh pengendara secara otomatis berhenti, menunggu giliran pengendara dari arah lain untuk lewat, seorang pria paruh baya mendekati Lengkara. Menawarkan berbagai makanan dan minuman recehan yang ia pangku dengan tubuh ringkihnya. Lengkara merasa iba dan kasihan, lantas dirogohnya saku, meski sudah kenyang Lengkara sengaja membeli beberapa roti dan memberikan uang yang cukup banyak. Ia tak mengharap kembalian. Cukup senyum dan doa yang diberikan oleh pria paruh baya itu, Lengkara merasa senang. Sebab doa dan sebuah senyuman adalah sesuatu yang begitu berharga untuknya.

Melanjutkan perjalanan menyusuri Bandung di pagi cerah menuju siang, Lengkara sampai di pelataran kafe. Lantas kakinya melangkah masuk ke kafe yang menawarkan keasrian alam. Banyak pepohonan rimbun yang sengaja di tumbuhkan di sana. Menjadi daya tarik karena sejuknya yang menggoda. Meski tak beratap, cenderung pengunjung akan berlari terbirit bila hujan datang, namun tempat ini saat cerah memberikan kesempatan, begitu ramai dan padat.

Saat mata mengedar, seseorang melambai arti memberitahu bahwa dirinya sudah ada di sana. Lengkara tersenyum, mendekati dan memberi peluk hangat pada sahabat yang telah membersamainya sejak menginjak bangku SMA.

“Lo bawa buku apa aja?” tanya Fera.

Lengkara merogoh tas ransel kecilnya setelah menjatuhkan diri di kursi. “Banyak sih, enam buku.” bersamaan dengan itu, Lengkara mengeluarkan semuanya.

“Gila banyak banget! Kebaca emang?”

“Lo kayak yang gak tahu aja gue gimana, ya kali kebaca semua. Gue iseng aja bawa semua biar kerasa berat nih tas.” Canda Lengkara, mereka berdua tertawa.

Setelah memesan pada salah satu pelayan yang lewat, mereka mulai berbagi ilmu yang semalam telah sama-sama mereka curi dari buku. Sesekali mereka tertawa, curhat tentang di luar non akademik, atau makan sampai tak berbincang apa-apa. Semua tak terasa begitu saja. Waktu seakan luruh tanpa membuat jeda sedikitpun. Hingga mentari hampir di penghujung senja, mereka sama-sama pergi dari kafe dan memutuskan untuk pulang.

Jalinan persahabatan telah begitu rekat. Mereka bak sepasang saudara yang ke manapun selalu berdua. Bahkan saat Fera memiliki kekasih dan meminta Lengkara untuk menemaninya, dengan terpaksa karena Fera menawarkan sebuah buku novel terbaru, akhirnya Lengkara menuruti. Gadis yang nyaris tak pernah pacaran dengan siapapun ini sudah paham betul bagaimana proses dalam hubungan. Selayaknya permen karet, pada fase awal akan terasa manis. Semua hal meski sepele akan membuat bahagia. Lain lagi bila permen karet telah dihabisi rasanya, akan hambar selayaknya hubungan yang memasuki fase penuh konflik. Lengkara mengetahui itu dari hubungan sahabatnya. Karena seringkali mendengar suka dan keluh kesah yang diutarakan Fera.

Hidup Lengkara benar-benar damai. Nyaris tak pernah ada celah yang membuatnya goyah. Hal wajar seperti tugas kuliah atau paket online shop yang datang tidak sesuai harapan. Hanya itu. Tak ada lagi, membuat Lengkara pernah sekali mengeluhkan bahwa hidupnya terlalu monoton. Hingga sebuah kabar membuatnya mematung—terlebih membuat bunda dan anggota keluarga lain terperangah tak percaya. Lengkara selalu mengeluhkan sakit kepala yang luar biasa. Namun ia selalu menahan dan berspekulasi bahwa itu hanya sakit kepala biasa. Dan rasa sakit lainnya yang silih berganti membuat Lengkara seringkali berpasrah dan memilih tergeletak di atas kasurnya.

Tak jarang Lengkara selalu mengeluhkan sakit. Kondisi Lengkara pun makin kemari kian memburuk. Gadis itu seringkali absen kuliah dan ia gagal untuk mengikuti olimpiade sastra. Hanya Fera yang berhasil lolos. Ketika sakit itu membuat Lengkara tak sadarkan diri, keluarganya dengan resah membawanya ke rumah sakit.

“Setelah menjalani pemeriksaan, ternyata Lengkara diagnosa mengalami kanker otak...”

Kabar itu benar-benar menghancurkan segalanya. Kabar itu seakan merenggut paksa mimpi-mimpi yang telah ia rangkai. Cahaya semangat yang berpendar di wajahnya, kini lenyap bersama dengan mimpi-mimpinya yang terkubur dalam. Lengkara menjadi sosok yang berbeda. Tak ada lagi keceriaan sama sekali pada dirinya. Meski dokter mengatakan bahwa kesempatan Lengkara untuk sembuh ada, namun Lengkara tak mengindahkan hal itu. Baginya, apa yang ia alami kini adalah sebuah jalan buntu yang membuatnya tak bisa melangkah ke manapun.

Lengkara benar-benar mengabaikan semuanya. Meski bunda memohon kepada Lengkara dibantu dengan Kinara dan ayahnya, Lengkara masih enggan untuk melakukan pengobatan. Gadis itu masih kukuh pada logika bahwa ia baik-baik saja. Kabar yang diberitahukan dokter hanyalah sebuah candaan yang selanjutnya akan menjadi kejutan saat Lengkara berulang tahun. Namun meski begitu, Lengkara tak sesemangat dahulu. Hari demi harinya diliputi oleh kecemasan dan keputusasaan. Setiap hari tak lekang ia menangis seorang diri. Ayah, bunda dan Kinara hanya berpasrah pada Yang Kuasa, agar membujuk Lengkara untuk mau menjalani pengobatan demi kesembuhannya.

Tak hanya itu, Lengkara secara terang-terangan menjauhi Fera dengan alasan yang tidak diketahui oleh sahabatnya itu. Membuat Fera sakit hati dan marah padanya adalah tujuan Lengkara agar Fera menjauhinya. Lengkara pun memberi jarak kepada keluarganya, meski berat sekali untuknya namun Lengkara melakukan itu agar suatu saat jika Sang Pencipta tak memberi lagi kesempatan untuknya menghirup udara di dunia, menikmati setiap senyuman dan tawa yang sukarela diberikan, dan segala hal yang begitu melekat indah diingatan, Lengkara hanya tak ingin orang-orang terdekatnya merasa kehilangan.

Dan hari ini kala Lengkara kembali dibubuhi dengan beban baru, saat hatinya mulai terikat dengan pemuda bernama Aksa, ia kembali terjebak dalam kebimbangan panjang. Haruskah ia melakukan hal yang sama kepada Aksa? Membuat pemuda itu membencinya kala hati ini ingin sekali memiliki? Haruskah ia kembali egois kala seseorang datang menawarkan pertolongan? Lengkara bingung, tak dapat menemukan jawaban dari segala tanya yang datang bersamaan.

Ia hanya bisa menangis, meratapi segala beban berat yang membunuh dirinya secara perlahan. Ia tak tahu lagi harus bagaimana menghadapinya. Semuanya telah hancur terberai. Lengkara bukan gadis yang penuh semangat seperti dahulu. Bahkan kini pandangannya dipenuhi oleh keputusasaan yang tak berujung.

Ia mencintai keluarganya, sahabatnya dan Aksa. Tapi ia tak yakin bisa bersama mereka semua dalam waktu yang cukup lama.

........

“Lengkara, kapan kamu mau nurut sama bunda!”

Bentakkan diiringi tangis keputusasaan itu kembali menampar Lengkara. Suara yang tak ingin Lengkara dengar, raut wajah sedih yang tak ingin Lengkara lihat, kini kembali untuk kesekian kali. Memohon pada Lengkara untuk patuh dan pergi bersama menuju tempat yang Lengkara sebut neraka.

Bersitegang di pagi hari sudah tak asing di rumah ini. Sejak Lengkara diagnosa mengalami kanker otak, rumah yang selalu hangat kini sepi dan sunyi. Semua memohon pada Lengkara, namun Lengkara seakan menutup telinga rapat-rapat. Gadis itu selalu melarikan diri dan berperang dengan dirinya sendiri. Percuma, sebab kanker otak itu sudah mengganas. Melakukan pengobatan hanya mengulur waktu kematian. Lebih baik dirinya mati lebih cepat daripada harus menelan pahitnya rasa sakit karena melihat kesedihan mereka meski ditutupi oleh senyuman.  

Tempat pelarian barunya kini adalah rooftop gedung fakultas bahasa. Kebetulan Lengkara kenal dengan salah satu satpam dan meminta kode pintu rooftop. Beralasan bahwa ada beberapa tugas yang membutuhkan lokasi di atas sana. Dan Lengkara berjanji akan menutup kembali pintu rooftop tanpa menjadikan rooftop sebagai tempat yang dikunjungi banyak mahasiswa. Ada beberapa alasan mengapa rooftop tidak dibiarkan dikunjungi oleh mahasiswa. Namun itu tak dibicarakan secara panjang lebar kepada mahasiswa yang memaksa untuk masuk ke sana. Hanya Aksa dan Lengkara, itupun mereka memberi alasan cukup jelas. Meski pada akhirnya sama-sama nakal untuk menetap dan bersantai di atas sana.

Kala di atas, Lengkara bisa memikirkan banyak hal. Tentang masa depannya yang akan ia raih sesuai mimpi. Tentang kebahagiaan keluarganya, apalagi saat nanti melihat Kinara menikah. Tentang kebahagiaan yang didapatkan dengan sahabatnya. Dan terakhir, tentang ia bisa memiliki Aksa seutuhnya. Namun semua hanya sebatas bayangan semata. Lengkara tidak bisa menggapai itu sesuai keinginannya. Takdir berkata lain, memaksanya untuk menerima tanpa protes sedikitpun.

Di sana, Lengkara selalu menangis. Menitikan air mata secara bebas tanpa harus diketahui orang-orang. Ia sungguh penat dengan kehidupannya sekarang. Namun apa daya, Lengkara hanya manusia biasa yang tak bisa apa-apa. Tak memiliki kekuatan selayaknya tokoh dalam film fantasi yang selalu ia tonton.

Membuka buku berisi harapan demi harapan, hatinya seperti diremas sampai remuk tak tersisa. Kala membaca tiap rencana yang telah Lengkara tulis. Yang dahulu ia harapkan akan ia laksanakan di waktu-waktu senggang. Entah itu bersama keluarganya, Fera atau lelaki yang akan menjadi kekasihnya. Namun seperti rencananya yang tak tertulis, semua yang ada dalam buku ini hanya sebatas catatan biasa. Nyatanya Lengkara tak bisa mewujudkan semuanya. Seharusnya pula ia biarkan buku itu hilang tanpa ia cari. Maka dirinya tak perlu mengeluarkan air mata ketika membaca ulang dan mengingat semuanya.

Ia berdiri, menaiki pagar pembatas rooftop dan berteriak sekencang-kencangnya sore itu. Tak peduli akan banyak orang yang terganggu atau resah karena berspekulasi terjadi sesuatu. Lengkara ingin melepas semua beban yang mendarat di pundaknya. Ia ingin segera lenyap dari dunia ini, sebelum semua orang menyadari bahwa yang ia lakukan demi kebaikan. Meski tak sepenuhnya baik, sebab cara Lengkara itu salah.

Dia menangis tersedu kala telah puas berteriak berulang kali. Mengadu pada Sang Pencipta atas dosa apa yang ia perbuat sampai harus mendapat hukuman seberat ini. Entah dapat bisikan dari mana, kakinya perlahan melangkah, hendak loncat dari atas berharap kematian dapat menghempas seluruh beban dalam dirinya, menghapus semua kenangan pahit di akhir hidupnya. Lengkara sempat tersenyum, membayangkan semua orang yang begitu ia sayangi tersenyum padanya. Melambaikan tangan seakan memberi pesan kedamaian untuknya. Ia merasa lega, meski air mata dan hati berkata lain. Sebenarnya ia takut, namun takdir membuatnya bertindak seperti ini.

Saat langkah keduanya ia gelorakan, seseorang menarik paksa Lengkara sampai gadis itu jatuh pada tubuh yang ditindihnya. Bukannya bertanya, Lengkara malah menangis semakin histeris. Ia mengepal tangannya sendiri sampai kukunya melukai telapak tangannya sendiri. Kemudian sang penolong membuat Lengkara terduduk. Mengguncangkan gadis itu agar sadar dari apa yang ia lakukan. Marah semarah-marahnya dan tersirat kekhawatiran di wajahnya, tak ayal air mata pun menyertai. Aksa begitu gemetar, ia tak ingin lagi kehilangan orang yang ia sayangi.

“LO NGAPAIN, KAR?! APA YANG MAU LO LAKUIN!!” sentak Aksa sambil tak berhenti mengguncang tubuh ringkih Lengkara. Memancing kesadaran gadis itu yang beberapa detik lalu entah ke mana. Sementara Lengkara menundukkan kepala dengan tangis yang tak mereda.

Lengkara menghempas tubuh Aksa. Berjalan mundur, membuat Aksa ikut berdiri takut Lengkara meloncat ke bawah lagi. “KENAPA LO IKUT CAMPUR URUSAN GUE TERUS, AKSA!! HIDUP GUE TERLALU RUMIT UNTUK LO CAMPURI! JANGAN BIKIN GUE MERASA TERBEBANI DENGAN HADIRNYA LO!!” bergetar suara Lengkara diiringi intonasi tangis yang semakin pecah.

“Gue lakuin ini karena gue sayang sama lo, Kar.” Akhirnya, dengan suara lembut dan dalam, Aksa mengakui dirinya sendiri bahwa ia menyayangi Lengkara. Ia mencintai Lengkara sejak kali pertama dirinya menemukan Lengkara di rooftop. Sejak ia melihat Lengkara masuk ke dalam ruang kesekretariatan. Sejak Lengkara lupa mengambil buku catatannya. Dan sejak hari-harinya dipenuhi oleh sosok Lengkara. Untuk kali pertama, Aksa jatuh cinta pada seorang gadis. Dan itu adalah Lengkara Mahreen Khansa. Gadis penuh teka-teki yang berhasil menjeratnya dalam rasa yang tak pernah ia duga.

Lengkara membatu, bibirnya kelu untuk melontarkan kembali amarah kepada Aksa saat pemuda itu dengan terang-terangan menyatakan rasa. Dengan air mata yang menunjukkan ketulusan dan dengan ucapan tanpa bualan. Gadis itu baru pertama kali mendengar pernyataan setulus itu dari seorang lelaki yang ia kira tak menyukainya sama sekali.

Beberapa detik kemudian, Lengkara menggeleng masih dengan tangis yang pecah. Kini suaranya terdengar parau, membuat siapapun merasa pilu kala mendengarnya. “Jangan jatuh cinta sama gue, Sa. Ntar lo bakalan terluka karena kehilangan.” Lengkara melemah. Gadis itu terjatuh ke lantai. “Kita gak akan pernah bisa bersama. Gue gak bisa selalu ada di sisi lo setiap waktu.”

Aksa mendekat, memegangi kedua bahu Lengkara. Menatap Lengkara seakan tak ada lagi hari esok untuk memandangi wajah gadis yang begitu ia cintai. “Gue udah tahu semuanya, Kar. Semenjak gue dengan lancang baca buku lo, gue udah tahu kalau lo punya penyakit. Tapi apa yang gue lakuin, Kar? Justru gue semakin pengen deketin lo. Gak peduli suatu saat nanti kita dipisahkan maut, yang terpenting gue bisa mencintai dan memiliki lo, Kar.”

Lengkara makin menundukkan kepala. Terhanyut dalam tangis yang begitu menyakitkan.

“Kar, gue tahu lo terpuruk. Gue tahu betapa sakitnya hati lo ketika lo diagnosis penyakit itu. Tapi bukan berarti lo harus putus asa, Kara.”

“Percuma gue berusaha! Ujungnya gue mati juga, Aksa!” bentak Lengkara.

Dengan suara setenang mungkin, Aksa berusaha meredakan emosi yang bergejolak di dalam diri Lengkara. “Justru itu, lo jangan egois, Kar! Buka mata lo, lihat orang-orang yang sembuh dengan penyakit yang sama kayak lo. Lihat orang-orang di sekitar lo, yang sayang banget sama lo dan bersusah payah untuk selalu ada buat lo. Jangan mikirin diri sendiri, Kar.”

“Maksud lo, dengan gue berlaku untuk gak membuat mereka merasa kehilangan saat nanti gue meninggal, itu karena keegoisan gue?! Karena gue mikirin diri sendiri?!”

“KAR!” Aksa mengguncang bahu Lengkara, agar gadis itu diam dan mendengarkan seluruh penjelasannya. Aksa sungguh tak ingin kehilangan dua kali. Cukup waktu itu yang membuatnya menyesal sampai sekarang. “Berperilaku buruk kepada orang-orang yang lo sayang agar mereka gak merasa kehilangan lo suatu saat nanti, itu salah. Meski mereka membenci lo, mereka pasti akan merasa kehilangan. Sebab sebelumnya, mereka pernah bahagia sama lo. Pernah tertawa dan ngelakuin suatu hal yang menjadi kenangan luar biasa sama lo. Jangan kayak gini, Kar. Jangan membuat orang-orang yang lo sayang merasa bersalah dan membenci diri mereka sendiri. Kalau lo percaya lo gak akan sembuh dan suatu hari nanti lo pergi, buat kenangan terindah bersama mereka. Bikin mereka merasa bahwa lo adalah orang yang berarti dan pantas dikenang.”

Perkataan Aksa menampar kesadaran Lengkara. Ia seperti menemukan titik cahaya pada ruang gelap nan pengap yang selama ini Lengkara singgahi. Gadis itu secara perlahan diraih oleh sebuah tali yang Aksa turunkan. Lalu menariknya pada sebuah jalan yang seharusnya Lengkara lalui dari dulu.

“Untuk sekarang, lo harus mencoba berusaha bertahan. Lo harus bisa lawan, Kar. Lawan penyakit yang sekarang berada di otak lo. Bukan demi lo, tapi demi orang-orang yang sayang sama lo. Lo harus jadi Kara yang punya mimpi besar untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Menjadi Kara yang akan dikagumi banyak orang atas segala prestasi yang diraih. Jangan jadi Lengkara yang putus asa, membuat orang-orang di sekitarnya merasa terluka. Gue, selalu ada buat lo, Kar. Gue gak akan ke mana-mana.”

Lengkara kembali menangis, menyesali perbuatannya yang selama ini ia anggap benar. Kemudian Aksa menarik Lengkara dalam pelukan. Membiarkan gadis itu menangis sepuasnya, melepas segala rasa bersalah dan berganti dengan pemikiran baru yang membuat Lengkara bersemangat untuk segala hal, termasuk sembuh.

Aksa tidak pernah merencanakan ini sebelumnya. Semalam, bahkan dirinya masih terjebak dalam kebimbangan akan rasanya kepada Lengkara. Namun Semesta sepertinya telah menyusun rencana. Membuatnya dipertemukan dengan keresahan dan berakhir dengan sebuah pernyataan. Bahwa dirinya sadar, telah mencintai Lengkara.

“Ada aku di sini, Kar. Bahkan di saat-saat terburuk pun, aku akan selalu sama kamu.” Ujarnya langsung dari hati terdalam.

......

Kepada gadis yang tengah bersedih, tersenyumlah

Semesta begitu menanti lekukan indah bibirmu yang mengarah ke atas

Ceriamu yang selalu menenangkan

Dan tatapan teduhmu yang selalu mendebarkan

 

Kepada gadis yang tengah bersedih

Jangan merasa sengsara dengan takdir yang menyiksa

Di sini ada aku yang akan selalu mendekapmu

Memberi semangat lewat kehadiranku

Sentuhanku dan rasaku

 

Maka tersenyumlah

Akan kubawa kau pada keindahan pelangi yang dinanti

Pada alunan nada yang menggemparkan dada

Dan pada rasa yang begitu dalam

 

Aku akan dengan setia membersamai setiap langkah

Menggenggam erat tanganmu tanpa kau pinta

Menjadi kompasmu untuk menunjukkan arah

Dan menjadi sandaranmu ketika kau merasa lelah

 

Sebab, cintaku tak pernah main-main

Aku mencintaimu tanpa kuketahui alasannya

Bukankah cinta seperti itu yang diharapkan setiap insan?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gloomy
528      337     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
Perahu Waktu
360      240     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu
AUNTUMN GARDENIA
104      90     1     
Romance
Tahun ini, dia tidak datang lagi. Apa yang sedang dia lakukan? Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah dia sedang kesulitan? Sweater hangat berwarna coklat muda bermotif rusa putih yang Eliza Vjeshte kenakan tidak mampu menahan dinginnya sore hari ini. Dengan tampang putus asa ia mengeluarkan kamera polaroid yang ada di dalam tasnya, kemudian menaiki jembatan Triste di atas kolam ikan berukura...
fall
3838      1157     3     
Romance
Renata bertemu dua saudara kembar yang mampu memporak-porandakan hidupnya. yang satu hangat dengan segala sikap manis yang amat dirindukan Renata dalam hidupnya. satu lagi, dingin dengan segudang perhatian yang tidak pernah Renata ketahui. dan dia Juga yang selalu bisa menangkap renata ketika jatuh. apakah ia akan selamanya mendekap Renata kapanpun ia akan jatuh?
Lost in Drama
1687      641     4     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...
Secret World
3039      994     6     
Romance
Rain's Town Academy. Sebuah sekolah di kawasan Rain's Town kota yang tak begitu dikenal. Hanya beberapa penduduk lokal, dan sedikit pindahan dari luar kota yang mau bersekolah disana. Membosankan. Tidak menarik. Dan beberapa pembullyan muncul disekolah yang tak begitu digemari. Hanya ada hela nafas, dan kehidupan monoton para siswa kota hujan. Namun bagaimana jika keadaan itu berputar denga...
Iblis Merah
8044      2214     2     
Fantasy
Gandi adalah seorang anak yang berasal dari keturunan terkutuk, akibat kutukan tersebut seluruh keluarga gandi mendapatkan kekuatan supranatural. hal itu membuat seluruh keluarganya dapat melihat makhluk gaib dan bahkan melakukan kontak dengan mereka. tapi suatu hari datang sesosok bayangan hitam yang sangat kuat yang membunuh seluruh keluarga gandi tanpa belas kasihan. gandi berhasil selamat dal...
Baret,Karena Ialah Kita Bersatu
675      395     0     
Short Story
Ini adalah sebuah kisah yang menceritakan perjuangan Kartika dan Damar untuk menjadi abdi negara yang memberi mereka kesempatan untuk mengenakan baret kebanggaan dan idaman banyak orang.Setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan masing - masing,mereka kembali di pertemukan oleh takdir melalui kesatuan yang kemudian juga menyatukan mereka kembali.Karena baret itulah,mereka bersatu.
karena Aku Punya Papa
436      312     0     
Short Story
Anugrah cinta terindah yang pertama kali aku temukan. aku dapatkan dari seorang lelaki terhebatku, PAPA.
Summer Whispering Steam
1331      684     0     
Romance
Mereka menyebutnya Nagisano Shizuka, sebuah kedai kopi yang berlokasi di garis pantai Okinawa, Jepang, permata tersembunyi di tepian Samudera Pasifik yang menawarkan tempat peristirahatan sempurna dari hiruk-pikuk duniawi. Perpaduan sempurna antara estetika tradisional Jepang dan suasana pantai membuatnya dikenal sebagai “Mimpi Panjang di Musim Panas Semesta.” Seorang Manajer bernama Yuki ...