KEBIASAAN pulang malam adalah salah satu kebebasan yang sangat Naru sukai. Selain merencanakan untuk permainan barunya pada gadis berjilbab Eri di sekolah tentunya.
Semenjak surat perjanjian dan status barunya yang menjadi siswa SMA. Naru merasa bebas untuk melakukan sesuatu. Namun tidak untuk kedua orang tuanya. Perilaku bebas yang terjadi padanya justru membuat kedua orang tua Naru merasa cemas.
Maka, sebuah tindakan yang telah lama mereka rencanakan pun akhirnya dilakukan tanpa Naru sadari.
“Aku pulang!” Salam Naru setelah membuka pintu rumah berukuran 3x2 meter. Pintu besar yang terbuat dari kayu dengan tinggi mencapai lima meter. Setiap kali membukanya Naru pasti selalu kesulitan. Walaupun sebelumnya seorang bodyguard pasti telah membukakan pintu itu untuknya.
“Selamat datang Aru!” Sebuah suara terdengar membalas salamnya. Naru terlihat terkejut. Seorang laki-laki dan perempuan paruh baya berdiri di depan mereka.
“Ayah, ibu? Nggak biasanya kalian pulang?!” Tanya Naru sedikit kecewa melihat kehadiran kedua orang tuanya itu.
Sosok mereka yang jarang terlihat berada di rumah membuat Naru bertanya-tanya dalam benak. Untuk apa keberadaan mereka di rumah? Padahal dalam satu tahun bisa di hitung dengan jari keberadaan mereka.
Waktu Hari Raya Tahun Baru, Hari Nasional, dan hari ulang tahun mereka. Tapi sekarang? Hari ini bukanlah hari yang istimewa atau spesial. Batin Naru bertanya.
“Yah, untuk melihat keadaan anak tercinta. Itu nggak salah kan?” Jawab sang ibu yang lantas mendekatinya seraya memeluk penuh kasih tubuh Naru yang sudah semakin tinggi melebihi tubuhnya.
“Aku tak yakin dengan jawaban itu. Dan kenapa kalian masih saja memanggilku dengan nama Aru? Aku tak suka mendengarnya.” Balas Naru acuh.
“Kau masih saja seperti dulu. Dingin dan begitu acuh terhadap orang tuamu sendiri. Apakah ini yang kau dapatkan dari status barumu sebagai seorang siswa SMA? Benar-benar tak menghargai sedikitpun!
Lagi pula, kenapa kami harus membiasakan memanggilmu dengan nama Naru? Kau tak suka dengan nama Aru yang jelas-jelas terdengar lebih bagus?!” Kata sang Ayah buka suara. Lebih tepatnya tersulut emosi.
“Sudahlah. Bukankah kita pernah membahasnya berulang kali. Untuk sementara Ayah dan ibu memanggil aku dengan nama Naru.
Selain untuk menjaga nama baik keluarga. Aku juga tak mau status asliku terbongkar dan di ketahui pihak sekolah.
Lalu jangan basa-basi lagi. Naru tak tahu kenapa kalian tiba-tiba pulang ke rumah tanpa sebab begini. Maaf saja karena Naru tak bisa menemani. Naru capek dan ingin segera tidur, oke!” Kata Naru masih acuh sembari berjalan menuju lift. Melepas pelukkan ibunya yang terlihat kecewa.
Namun...
“Kami datang ke rumah hanya untuk memberitahumu kalau sekarang kau sudah kami jodohkan.” Seru sang Ayah tiba-tiba.
Naru langsung berhenti tepat ketika lift terbuka. Seperti ada sesuatu yang menghantam ulu hatinya. Bagaikan petir di siang hari. Seperti badai yang memporak-porandakan segala benda yang menghadang. Tak salahkah yang dia dengar?
Naru membalikkan badan seraya hendak berseru keras sebelum akhirnya suara sang Ayah telah mendahuluinya.
“Kau sudah kami jodohkan dengan seorang gadis cantik. Dia anak satu-satunya dari teman dekat Ayah. Mereka juga berasal dari keluarga yang kaya seperti kita. Tap ya jelas lebih kaya kita. Walaupun begitu, derajat dan keturunannya jelas. Kami rasa kalian akan cocok.” Sambung sang Ayah santai. Dia terlihat duduk di sofa berbulu beruang. Tangannya lihai menyalakan rokok dan cerutu yang dia ambil dari balik jasnya.
“Apa? Apakah Naru tak salah dengar? Ayah menjodohkanku dengan...”
“Ya. Ayahmu memang berkata begitu sayang. Kami yakin kau tak akan kecewa dengan keputusan kami...” Potong sang Ibu perlahan mendekati Naru dan hendak memeluknya lagi. Namun dengan cepat Naru mengibaskan tangannya seraya berkata...
“Jadi kalian datang ke rumah hanya untuk memberitahu bahwa aku sudah di jodohkan?! Semua ini sungguh tak masuk akal!" Teriak Naru tak lagi bisa menahan rasa amarahnya. Wajahnya yang putih kini terlihat berubah warna menjadi merah padam.
“Apakah kalian sudah lupa dengan surat perjanjian itu?! Atau kalian pura-pura lupa?! Semua yang ada di surat itu adalah kebebasan Naru melakukan semuanya tanpa adanya campur tangan Ayah dan ibu didalamnya. Tapi… Tapi kenapa sekarang... Sungguh Naru tak bisa menerimanya!” Seru Naru berapi-api.
Dia sengaja berhenti bicara seraya memandang bergantian ke arah kedua orang tuanya yang memasang wajah biasa saja. Mereka hanya diam tanpa kata mendengar ocehan dan amarah Naru yang seolah sudah mereka duga sebelumnya. Naru merasa ada yang ganjil dari sikap biasa orang tuanya itu.
“Tunggu dulu! Apakah benar dugaanku kalau, Ayah dan ibu sudah merencanakan ini jauh hari? Merencanakan semuanya sebelum surat perjanjian di buat?!” Tanya Naru tak berhenti berteriak.
“Cukup! Berhenti berteriak-teriak pada orang tuamu! Sebagai anak kau sudah bersikap tidak sopan pada ayah dan ibumu sendiri!
Apa kau tahu kalau ini adalah salah satu alasan orang tuamu ini ingin segera menjodohkanmu!
Gadis yang kami jodohkan untukmu bukan sembarangan. Dia adalah gadis yang cocok dan kelak akan bisa mengayomimu, membuatmu berubah dan tak liar seperti ini. Dan satu lagi, kami itu khawatir bila kau asal memilih gadis di luar sana.
Kami tidak bisa menjamin kau mendapat jodoh yang baik dan setara selain dengannya. Gadis yang akan bisa menjaga nama baik keluarga besar kita. Ingat, kau adalah satu-satunya pewaris tunggal semua kekayaan Ayah!” Jelas sang Ayah membuat Naru semakin naik pitam. Ia tak bisa terima semua itu.
“Apapun yang Ayah katakan itu tak bisa membuat Naru berubah pikiran. Surat perjanjian itu masih berlaku sampai kapan pun!” Balas Naru sembari berlari meninggalkan mereka. Meninggalkan ruang tamu besar itu keluar rumah. Meninggalkan kedua orang tuanya yang berteriak memanggil namanya tanpa ia hiraukan sama sekali.
Naru tak jadi istirahat. Rasa lelahnya kini terasa lenyap begitu saja ketika mendengar kabar buruk itu. Ia keluar meninggalkan rumah istananya. Pergi bersama dengan motor kesayangannya. Berpacu dengan mesin yang dia kemudikan dengan sangat cepat. Membelah jalanan lengang di tengah malam.
*
LIMA belas menit kemudian laju motornya memelan dan berhenti di sebuah tempat dengan bangunan yang sudah tua.
Beberapa bagian tembok dan atapnya sudah rusak dan ambruk. Naru memarkirkan motornya tak jauh dari kumpulan orang-orang yang sedang menaiki motor mereka masing-masing. Berbagai jenis motor hampir ada semua di tempat itu.
Seorang laki-laki yang terlihat lebih tua dari Naru menghampirinya. Pakaiannya terlihat nyentrik dengan nuansa serba hitam. Naru menerima uluran tangannya setelah melepas helm.
“Hei sang raja geng motor jalanan. Sudah lama sekali kau baru datang menjenguk kami?” Tanya Reza. Orang-orang memanggilnya dengan sang mantan raja geng motor jalanan. Sebelum akhirnya Naru mengambil gelar itu dengan mudahnya satu tahun yang lalu.
“Hanya saja merasa rindu dengan geng motor jalanan.” Jawab Naru tak membuat Reza percaya begitu saja. Dia begitu kenal dengan sosok Naru yang walaupun belum lama ia kenal. Namun dia memiliki insting yang kuat. Pasti ada masalah yang sedang terjadi.
“Ayolah! Cerita pada kami, padaku. Mungkin saja aku bisa membantumu?” Seru Reza menawarkan diri.
“Entahlah, aku tak yakin kalian bisa membantuku. Tapi aku sangat berterima kasih kau sudah mau menawarkan diri. Terima kasih Reza.”
“Tidak usah begitu. Seharusnya kamilah yang berterima kasih padamu. Ingat, karena selama ini kaulah yang telah baik hati menolong perekonomian kami.
Tidak membuat kami bersusah payah kebut-kebutan di jalan untuk merampas dan meminta uang dari para pengendara di jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.
Satu hal yang membuat kami menjadi yakin dan percaya kalau kaulah yang pantas menjadi raja geng motor jalanan ini adalah, kami para geng motor jalanan tak lagi harus kalang kabut menghindar dari kejaran para polisi berperut buncit itu lagi.
Bahkan sekarang kau mengajari kami bagaimana mengendarai motor dan memanfaatkannya untuk mencari penghasilan seperti menjadi ojek atau membuka rental dan bengkel motor.
Apakah kau sadar bahwa kau begitu berjasa pada kami Naru?” Cerita Reza ketika mengenang masa lalu bersamanya membuat Naru hanya tertawa menanggapinya. Rasa lelah yang ia rasakan sedari tadi mendadak hilang.
“Sudahlah, aku senang melakukan itu semua...” Jawab Naru merasa sedikit terhibur. Walaupun dari binar kedua matanya ia masih tak bisa menyembunyikan rasa gelisah ketika mengingat kembali kata-kata Ayahnya, bahwa ia telah di jodohkan.
Sungguh tak bisa dipercaya. Bukankah selama ini kehidupannya sudah seperti apa yang ia harapkan. Semua dalam rencananya. Semua dalam kendali dan genggamannya.
Termasuk ketika lulus SMA nanti dia akan pergi menjelajah dunia. Belajar dengan mendapatkan status menjadi seorang mahasiswa. Menjalani kehidupan seperti manusia normal pada umunya. Ah, kehidupannya yang kini terusik kembali. Naru mengeluh dalam hati. Apakah kebebasannya akan hilang?
“Oh ya, ini untuk kalian.” Kata Naru mencoba mencairkan suasana. Dia membuka dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kantong keresek berwarna hitam ia lemparkan ke arah Reza.
Dengan tatapan tak mengerti diiringi rasa penasaran yang tinggi. Reza membuka kantong keresek itu. Tak lama kemudian matanya terbelalak terkejut bukan main.
“Uang?! Sebanyak ini?! Ini semua asli?!” Pekik Reza tak bisa menutupi rasa terkejutnya. Melihat keresek yang penuh dengan setumpuk uang.
“Ya tentu saja. Memang aku tega memberi kalian uang palsu? Bagikan rata dengan yang lain ya. Kali ini aku sengaja memberi kalian lebih banyak dari biasanya...”
“Naru, kau benar-benar...”
“Sudahlah. Lagi pula itu uang milik Ayah. Dan mungkin itu uang terakhir yang bisa aku berikan pada kalian...” Lirih Naru pelan, membuat Reza berhenti memandangi sekeresek uang itu dan beralih memandang Naru. Menyimpan tanda tanya besar.
“Apakah kau akan pergi ke suatu tempat?” Tanya Reza khawatir. Melihatnya membuat Naru tersadar apa yang baru saja dia katakan. Dia pun mengalihkan pembicaran.
“Lupakan! Bagaimana kalau kita adu balapan lagi?” Tanya Naru telah siap berada di atas motornya. Reza hanya tersenyum, mengangguk mengiyakan.
🙥🙧