BAB 1 – TENGAH MALAM, DI DALAM HUTAN
INDONESIA, Satu Tahun Yang Lalu …
Malam itu langit terlihat gelap gulita. Namun cahaya bulan purnama yang muncul memberikan sedikit kemudahan bagi seorang lelaki paruh baya keturunan Jepang melewati kegelapan malam. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi menyibak kabut yang semakin tebal di jalanan yang terlihat tanpa ujung itu.
“Bagaimana mungkin kau bisa membawa kita ke tengah hutan begini Kobe!? Baka Yaro!”1 Keluhnya pada supir yang usianya hampir sama dengannya. Dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya yang juga keturunan Jepang.
Kobe menjawabnya penuh hati-hati, “Maafkan saya Tuan Kimrawa. Saya sedikit lupa jalan di sini. Sudah lama sejak Tuan tidak lagi ke Indonesia. Membuat Saya hanya sibuk mengurus rumah dan mobil saja. Saya akan potong jari setelah ini.”
“Damare!2 Jarimu hilang pun kita masih tetap berada di dalam hutan ini jika kau tak segera mempercepat laju mobilmu!” Perintahnya yang langsung diiyakan.
Kimrawa menghela nafas panjang. Lelah masih terlihat jelas di wajah tuanya yang baru saja tiba di Indonesia beberapa jam yang lalu.
Dia berniat langsung mengunjungi makam istrinya yang meninggal 13 tahun yang lalu. Selain itu dia juga ingin berkunjung ke rumah yang telah ditinggalkan selama itu.
Entah kenapa dia tak bisa melupakan kenangan bertahun-tahun itu begitu saja. Walaupun disibukkan dengan statusnya yang memimpin Yakuza Naga sekalipun. Rasa rindu terhadap kedua orang perempuan yang begitu dia cintai meninggalkannya seorang diri begitu menghantuinya.
Sebuah foto dua orang perempuan yang sedang tertawa lepas di pegangnya erat. Di sampingnya terlihat dirinya yang masih terlihat muda tertawa tanpa beban. Tawa yang telah lama hilang tak dia rasakan.
Namun nostalgia indah itu langsung musnah ketika mobil jenis Bugatti Klasik yang dia naikki itu tiba-tiba berhenti mendadak. Suara decit roda mobil yang mengeluarkan asap memekakkan telinga.
“Ada apa?! Kenapa kau tiba-tiba berhenti?!”
“Sepertinya Saya telah menabrak seseorang Tuan...“ Lirih Kobe menjawab. Wajahnya bias oleh keringat dingin. Ia menelan ludah melihat bayangan seseorang yang tergeletak di tengah jalan. Tubuhnya yang tergeletak tersorot cahaya lampu mobil.
Suasana tegang mendadak muncul. Dengan cepat Kimrawa keluar dari mobil memastikan ucapan supirnya itu. Kobe yang awalnya ragu pun akhirnya mengikuti.
Benar saja, seseorang telah terkapar di tengah jalan dengan darah yang berceceran memenuhi seluruh tubuh hingga jalanan. Orang itu diam tak bergerak, terkapar pingsan.
“Kuso!”3 Kimrawa terperanjat menutup mulutnya. Ia meremas rambutnya dengan kesal.
“Yabai! Watakushiwa komate iru youdeshita!”4 Dengan suara bergetar Kobe membalasnya tanpa berkedip.
“Shi-shinda?”5 Tanyanya ragu kemudian. Mereka hanya memandang satu sama lain. Keringat dingin membasahi wajah mereka yang bias penuh rasa takut dan bimbang.
Suasana jalan malam itu terlihat sepi. Tidak ada kendaraan ataupun orang yang lewat. Ada pikiran jahat yang membuat Kimrawa berniat untuk meninggalkan orang itu lantas kabur begitu saja.
Namun entah kenapa hati nuraninya berkata bahwa ia harus menolongnya, bertentangan dengan status yang ia sandang sebagai ketua Yakuza yang tak kenal belas kasihan.
Akhirnya dengan mengesampingkan egonya, ia meminta Kobe untuk segera memasukkan orang itu ke dalam mobil. Membawanya pergi menuju rumah sakit terdekat.
Sepanjang perjalanan Kimrawa tak sanggup melihat orang yang ada di belakang kursi mobilnya. Bahkan ia tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena dipenuhi darah.
Dengan kecepatan mobil yang pandai dikendalikan Kobe. Mereka berhasil keluar hutan. Beberapa saat kemudian mereka tiba di sebuah rumah sakit kecil yang sepi. Bukan, melainkan sebuah klinik 24 jam.
Setelah mendapat informasi yang diperoleh dari seorang dokter di tempat itu. Kimrawa mengetahui jika orang yang ditabrak adalah seorang pelajar. Sebuah kartu nama terselip di dalam dompet di celananya.
Sungguh di luar dugaan. Semula ia yang berencana berkunjung ke negara penuh dengan kenangan itu harus terganggu. Ia tahu jelas hukum di negara itu, penuh dengan undang-undang dan hukum yang rumit yang siap menyeret dia kapan saja jika ia berterus-terang menceritakan apa yang terjadi.
Apalagi jika mengetahui statusnya yang merupakan orang asing pemimpin Yakuza. Dan dia datang ke negara itu pun melalui pesawat pribadi tanpa visa dan paspor. Kacau. Kimrawa kembali meremas rambutnya.
“Tuan, ada sesuatu yang harus Saya pastikan pada Anda.” Kobe dengan raut wajah yang tak bisa Kimrawa baca, mendatanginya ketika sedang memikirkan rencana untuk kabur dan meninggalkan pelajar itu begitu saja.
“Dokter yang memeriksa pelajar itu memberikannya pada Saya tadi. Sebuah benda yang ketika Saya pertama kali melihatnya langsung teringat dengan anak perempuan Tuan yang hilang 13 tahun yang lalu.” Kata Kobe memberikan sebuah benda kepadanya.
Kimrawa begitu terkejut menerimanya. Mendadak tiba-tiba tangannya bergetar bukan karena pengaruh usianya yang semakin tua. Melainkan karena sebuah gelang tasbih yang sedang ia pegang.
Gelang yang terbuat dari batu berwarna coklat muda yang bercorak berbeda di setiap butirnya. Gelang yang hanya ada satu di dunia karena dia sendiri yang memesannya secara spesial sebagai kado ulang tahun anak semata wayangnya. Gelang yang amat dia kenal bahkan telah berpuluh tahun lamanya. Bagaimana mungkin dia bisa lupa?
“Ini... bukankah... gelang tasbih… milik anak perempuanku kan?” Belum sempat ia melanjutkan kata-katanya, tubuhnya langsung ambruk ke lantai. Kobe yang berusaha menopang tubuhnya hanya diam seraya mengangguk pelan ke arah tuannya.
Sebuah keputusan yang bahkan tak diinginkan pun akhirnya Kimrawa ambil. Dia harus kembali ke negaranya dengan membawa pelajar itu bersamanya. Menunggunya hingga benar-benar bisa ditanyai mengenai gelang anaknya yang telah menghilang selama 13 tahun. Mencari kebenarannya.
Catatan kaki:
1 Dasar bodoh!
2 Diam kau!
3 Sial!
4 Gawat! Sepertinya saya dalam masalah.
5 Mati?/Apakah dia mati?