[Dorothea’s pov]
March 1st, 2008. 10:52 WIB.
“Katakan yang sebenarnya, Majie,” ucapku dengan nada menuntut pada wanita yang kulit putihnya kian memucat dibalik balutan seragam oranye. “Kamu hanya menggunakan Louis untuk membuat Joshua cemburu, kan.” Walaupun jawaban Marjorie akan berbeda dengan perkiraanku, cincin Ibunya Joshua akan tetap kukembalikan pada pemiliknya hari ini.
Tepat seperti dugaanku, Marjorie akan tersenyum masam, menatapku dengan sorot meremehkan, dan mencela pertanyaanku, “Aku tidak perlu berusaha untuk membuat Joshua menyayangiku, Tia. Aku, memang pantas mendapatkan kasih sayang itu.”
Bagus. Marjorie tidak menyadari satu pernyataan tanpa pikir panjang dari mulutnya itu akan menghancurkan persahabatannya dengan Joshua. Jangankan mengakui perasaannya yang telah dipendam sejak dulu, Joshua akan mencela balik perbuatan teman masa kecilnya ini,
Jari telunjukku menekan tombol berhenti pada perekam suara di ponsel tanpa melepas tatapan dari sepasang netra tajam Marjorie yang sedikit bergetar. Mungkin ia juga ragu pada ucapannya, karena jika memang ada yang menyayanginya, mengapa kepala polisi yang menjaga sel bagian Marjorie bilang hanya aku satu-satunya orang yang selama ini mengunjunginya.
“Jadi, maksudmu Este tidak layak mendapatkan kasih sayang?” tanyaku dengan kedua belah bibir gemetar dan air mata yang merebak ingin keluar. Rahangku mengetat keras sambil memaksakan tawa hambar. Tampak seringai pongah Marjorie sedikit memudar, dan aku akan membuat senyum itu sirna. “Este bukan saudara kandungku, atau sepupu jauh yang sering digunjingkan teman-temanmu. Ia anak yatim piatu. Sebelum kamu mengincar perhatian dari orang lain, kenapa tidak lakukan itu lebih dulu kepada orangtuamu?”
Aku memang tidak pernah melihat orangtua Marjorie, tetapi sering melihat neneknya yang menjemput, dan bagaimana gembiranya Marjorie berlari menghampiri mendiang wanita itu dulu. “Semoga nenekmu tidak keberatan dengan apa yang sudah kamu lakukan.”
Usai mengatakan semua cacian maki secara halus, aku bangkit dan mengalungkan tas tangan di pundak kiri. Melirik Marjorie sekilas yang kini merenung dengan arah pandangan kosong ke kaca yang membatasi kami.
Begitu keluar, aku disambut detektif yang berteman dekat dengan Ivy. Dharma terlihat sangat cantik dan gagah secara bersama dalam kaus putih dibalut jaket kulit cokelat dan celana jins denim hitam yang membentuk kedua kaki jenjangnya. “Penampilanmu seperti nenekku yang ingin piknik di dekat danau,” ujar Dharma membuatku membuka mulut tidak percaya dengan perkataannya—entah memuji atau mengejek. Aku sampai harus menelisik sweater rajut biru yang dipotong di atas pinggang, rok maxi putih semata kaki, dan sepasang boots krem pudar milik Ivy yang kupinjam. “Tidak ada yang salah dengan berpakaian seperti nenek kita,” kekeh Dharma membuatku kembali menatapnya dan balas tertawa canggung. “Boleh...?” Aku mengernyitkan dahi pada pertanyaannya yang tidak jelas mengarah kemana. Sampai wanita itu mengeluarkan sapu tangan, lalu berlutut untuk membersihkan jejak kotoran dari boots yang kukenakan. Aku berusaha menyadarkan diriku yang hanyut dalam debar jantung karena ulah detektif wanita itu. “Awalnya saya ingin menawarkan tumpangan, tapi sayang sekali, pernyataan terakhir dari Kak Marjorie harus diselesaikan. Perintah dari atasan.” Dharma mengangkat salah satu tangannya dan menunjukkan buku memo kecil yang dijepit kancing jaketnya.
“Tidak apa, jemputan saya juga sebenarnya sudah menunggu sejak tadi.” Aku menggerakkan dagu ke arah tempat parkir mobil dimana Joshua menurunkan kaca pengemudi dan melambaikan tangan kepada kami berdua.
“Sebelum pergi, apa saya bisa menitipkan pesan pada teman Anda? Augustine.”
Ivy? “Ya, tentu,” sahutku tidak keberatan.
“Tolong sampaikan padanya untuk jangan menghindari pesan dan panggilan dari saya.”
“Bukannya investigasi sudah berlalu...?” Aku balik bertanya dengan keheranan.
“Ah, ini tentang hal lain. Saya ingin mengobrol tentang kakak laki-laki saya. Hafiz.”
Aku sangat terkejut akan informasi terbaru itu. Kupikir Ivy, Dharma, dan Hafiz hanya sekedar teman masa kecil, tetapi ternyata...
Apakah ada masalah pribadi antara Ivy dan Dharma? Mengingat suasana ‘jangan muncul di hadapanku lagi’ saat mereka bertemu di luar gedung persidangan beberapa waktu lalu “O-oh, baik, akan saya sampaikan,” jawabku sedikit terbata.
“Terima kasih, Mbak Tia, kalau begitu saya permisi.” Dharma tersenyum manis, lalu menepuk pundakku ringan sebelum berjalan melewatiku masuk ke Rumah Tahanan Negara.
***
March 1st, 2008. 06:13 WIB
“Waktu kakek memancing, kamu tidak menunggu di warung Hafiz?” Aku bertanya sementara tangan kananku mengaduk pelan kari mendidih di dalam panci di atas kompor yang masih menyala
“Hanya sebentar, sekitar lima belas menit, mungkin? Karena aku tidak suka berada di pantai malam-malam.” Kulirik Ivy yang sama sekali tidak terusik dengan pertanyaanku dan terus membaca novel Anna Karenina yang terbuka di atas kedua tangannya.
“Tadi aku bertemu Dharma, dia titip pesan supaya kamu menjawab panggilannya.” Aku mematikan kompor dan mengambil mangkuk putih berukuran sedang dengan ukiran sepasang burung dari rak piring rumah Ivy. “Aku baru tahu dia saudari Hafiz,” lanjutku sembari menuang kari dengan hati-hati ke dalam wadah berbahan keramik yang kuambil tadi.
“Kami sama-sama anak dan cucu perempuan yang tidak ingin mewujudkan kemauan orangtua sebagai tujuan akhir hidup,” tutur Ivy. “Bedanya denganku yang masih bermuka-tembok, Dharma sama sekali tidak mau berkunjung ke kampung halaman. Temanku itu terlanjur sakit hati karena ... orangtuanya menjadikan putus sekolah Hafiz sebagai pengorbanan untuk pendidikannya. Jadi dia hanya mampu diam-diam mentransfer biaya hidup kepada Hafiz tanpa sepengetahuan orangtuanya, atau mungkin mereka tahu dari si sulung? Entahlah, yang jelas Dharma merasa dia akan terus berhutang pada kakaknya.”
“Dia ... juga membiayai anaknya Hafiz?” Aku kembali mengulang perkataan Dharma begitu merasakan kedua tangan Ivy melingkari pinggangku. Hanya keheningan yang menyambut pertanyaanku itu. Bisa kurasakan Ivy menghirup ceruk leherku dan rengkuhannya mengerat dari sebelumnya. Kenapa Ivy tidak bisa menjawab pertanyaan sesederhana itu?
Ivy menarik sebuah sendok sup dan meletakkanya di dalam mengkuk yang kupegang sebelum berucap pelan, “Aku tidak suka anak kecil, tapi bukan berarti aku suka melihat mereka tidak belajar dan berakhir meneruskan warung kecil.”
“Jadi kamu yang membiayai anaknya Hafiz?” Kurasakan kepala Ivy yang masih terbenam di pundakku mengangguk kecil. Aku tersenyum simpul, lalu menepuk pipinya pelan isyarat agar Ivy membiarkanku meletakkan hidangan makan malam kami di meja makan. Jelas saja Dharma kesal pada Ivy. Sebagai bibi seharusnya ia yang mengurusi pendidikan sang keponakan. “Menurutku, kamu coba bicarakan dengan Dharma, siapa tahu dia keberatan kamu mencampuri kebutuhan keluarga yang harusnya menjadi tanggung jawabnya.”
“Dia sempat marah karena keponakan kecilnya itu lebih sering meneleponku, yang notabenenya orang asing, dibandingkan bibi mereka sendiri.” Setelah menelah kari dan nasi yang ia sendok, Ivy lanjut berkomentar kalau ia merasa sangat senang dan dihormati setiap kali anak-anak Hafiz berterima kasih dan memanggilnya ‘Tante’.
“Kalau kamu tidak suka tinggal di apartemen, aku akan minta salah satu temanku carikan rumah kosong.” Ivy meraih tangan dan mengusap jari manisku, dimana cincin Ibu Joshua sudah tidak lagi tersemat. “Mungkin kamu suka rumah di Unionvil--”
“Lalu, aku tinggalkan toko Este di sini?”
“Kamu tidak keberatan meninggalkan pekerjaanmu?”
“Kupikir aku sudah menyebutkan alasanku dengan jelas tadi,” ujarku sambil melahap nasi kari tanpa berniat melepas genggaman tangan Ivy, tetapi juga tidak ingin membalas sorot mata memohonnya.
“Kenapa harus terikat dengan tempat kalau kenangan itu terus hadir dimana saja ... apa kamu takut pergi ke--”
“Yah, mungkin karena itu juga,” jawabku bimbang. “Aku sudah pasti tidak bisa bekerja di sana, kan? Bagaimana kalau aku hanya membebanimu?”
“Kalau aku terbebani, untuk apa aku mengajakmu tinggal bersama.” Kulihat sahabatku itu tersenyum simpul dan semakin mengeratkan genggaman tangan kami. “I need someone to be a place I can run and rest.”
Jemariku yang sejak tadi terdiam lemah karena bayangan suasana baru di kota yang sama sekali tidak kukenal dan bagaimana aku harus berusaha beradaptasi dengan warga negara asing—beserta budaya mereka, perlahan bergerak sedikit ragu. Namun, akhirnya aku berhasil menyatukan kedua telapak tangan kami dan mendaratkan kedua belah bibirku di punggung tangan Ivy. Kedua netra kami sama sekali tidak terlepas seiring embun samar yang mulai menghalangi pupil obsidian milik wanita di hadapanku.
Ivy bangkit dan berjalan dengan ekspresi salah tingkah memutari meja makan sebelum duduk tepat di sebelahku—yang tidak bisa menahan tawa kecil melihat tingkah kekasih baruku itu, layaknya remaja yang baru jatuh cinta untuk pertama kali.
“Mulai sekarang panggil aku dengan namamu, ‘I love you, Dorothea’, ayo cepat!” seru Ivy setelah menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku menghela napas, pura-pura kesal. Belum ada lima menit aku bersedia menghabiskan hidup dengannya, kekasihku itu sudah minta yang macam-macam.
“Lalu kamu akan memanggilku dengan nama sendiri?”
“Katakan saja!”
Meskipun aku masih bingung mengapa kalimat sesederhana dan semudah itu untuk dikatakan mampu membuat wajah Ivy terlihat sangat bahagia, akhirnya kukatakan dengan jantung di rongga dadaku yang semakin berdebar tidak karuan. “I love you, Dorothea.” Aku bahkan tidak mengerti kenapa debar itu semakin menggila ketika aku memanggil orang sangat kusayang ini dengan namaku. Seperti, mengklaim segalanya tentang Ivy ... hanya untuk diriku seorang.
Ivy menarik tanganku hingga posisi dudukku berpindah ke atas pangkuannya. Wajah kami pun berjarak lebih dekat dari sebelumnya. Aku bisa merasakan deru napasku tidak beraturan. Dentuman yang terus berdetak di dadaku entah kenapa sangat menantikan kata-kata yang akan keluar dari bibirnya.
“I love you more, Ivy,” ujarnya setengah berbisik sebelum mempertemukan kedua bibir kami ke dalam ciuman yang intim nan dalam, dan berakhir dengan Ivy mengangkat tubuhku dengan mudah menuju kamarnya.