Dalam kegelapan pekat, ia melayang tanpa beban, ringan tidak sadar diri. Perlahan kedua mata terbuka. Semua yang dilihatnya hitam. Dengan pikiran bingung, berusaha apa yang terjadi pada dirinya selanjutnya.
"Ah, a-aku di mana ini...?" Menatap di sekililingnya semuanya hitam. Kosong."Apa yang sebenarnya terjadi?" Ia melayang menuju selatan. Sama sekali tidak ada apa-apa. Makin dilanda kebingungan, ia mulai khawatir sekaligus ketakutan.
"Apa aku sudah mati?" katanya pelan.
Hawa dingin pun mulai menyerbak. Hawa dingin ini bukan hawa dingin biasa. Ayu merapatkan tubuhnya serapat mungkin.
"Kalau aku mati, bagaimana dengan abang? Dengan Tuan Gino?" Sekelebat dirinya mulai teringat oleh mereka. Bukan mereka, melainkan orang-orang yang dekat dengannya maupun orang-orang yang selama ini mengejeknya. Ia sadar selama ini dirinya adalah sebuah beban. Sebuah beban bagi keluarganya, abangnya. Ejekkan itu masih diingat betul. Apalagi di hadapan pemuda yang amat dikagumi, disukainya... Tanpa berpikir terlebih dulu, pemuda itu dengan amat frontal menyindirnya sama sekali tidak bisa menggunakan senjata sihir... Memang sama sekali tidak bisa menggunakan satu pun! Itulah sebuah ejekkan baginya! Pikirannya terpenuhi oleh setiap ejekkan sindiran yang terlontar. Sindiran Virgo malah terpenuhi dibenaknya sekarang
Kamu bukannya belum bisa? Maksudku, sama sekali belum menguasainya? Lihat, kamu yang sama sekali enggak mengusainya. Buat apa jadi penyihir? Untuk apa kamu jadi penyihir dan kalah dengan penyihir lainnya? Rangga, dengan sebulan saja bisa menguasai senjata sihir bahkan bisa memilikinya sendiri. Kamu, kamu punya enggak?
Cukup! Hatinya sudah tersakiti. Ia sudah tidak sanggup untuk menahannya. Menahan rasa sakit yang sudah menggunung. Ia sudah lelah, ia sudah tidak bisa apa-apa
lagi... Bahkan belajar mengontrol sihir, mencoba menggunakan senjata sihir pun menurutnya sia-sia... Ia sama sekali tidak memiliki bakat menjadi seorang penyihir! Ia merasa rendah diri dan bodoh... Dulu, sewaktu ada keluarganya masih hidup, dirinya sempat dibeda-bedakan. Dibeda-bedakan oleh sang abang. Ya, Rangga memang terkenal pintar. Bukan pintar saja, tetapi lebih daripada dirinya. Sementara dirinya yang hanya bisa bersembunyi di balik bayang-bayang abangnya. Seusaha apapun dirinya, keluarganya tak akan melirik. Memandangnya saja enggan namun hanya sedikit pandangan dirinya di depan alhmarhum keluarganya. Tanpa sadar, perlahan cairan bening di pelupuk matanya mulai keluar. Ditahannya percuma. Seketika pertahanan runtuh bagai Colosal Titan menghancurkan tembok. Mau tembok sekeras, sekokoh apapun tetap bisa
diterobos.... Di keadaan seperti ini, tidak ada seorang pun yang menolong. Ia sendirian dan hampa di sini...
Virgo melayang tanpa beban menyusuri setiap ke dalam sihir hitam yang sangat luas. Berusaha mencari setiap ruas agar bisa menemukan gadis mungil tersebut. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa bersalah terhadapnya. Memang, dia salah. Tetapi, apakah Ayu akan mau memaafkannya? Dia terus mencari. Pandangannya terfokus ke depan. Walau di sekitarnya seluruhnya hitam. Dia tidak pantang menyerah untuk mencarinya. Lamat-lamat mendengar suara. Suara tersebut seperti suara tangisan.
"Ada yang menangis?" katanya, melayang ke arah suara. Mencoba memastikan apakah suara itu suara manusia sungguhan atau hanya ilusi. Suaranya makin dekat. Suaranya seperti amat dikenalnya. Di sudut, dia melihat sosok seorang gadis. Gadis tersebut memeluk badannya. Ya, tangisan itu berasal dari situ. Melayang menghampirinya. Benar saja, gadis yang sedang menangis tersebut adalah gadis yang dikenalnya. Virgo berdiri tepat di belakangnya. Tangannya terulur ke arahnya. Memegang pelan pundaknya.
"Ayu," panggilnya.
Ayu yang menangis, terkejut menoleh, berbalik cepat melihat siapa orang yang ada di belakangnya kini.
"Ba-bang Virgo?" jawabnya parau.
"Kamu... Kamu menangis?"
Ayu tidak menjawab, melepas kacamata, menyeka air matanya buru-buru dengan punggung tangannya. Buru-buru mengenakan kacamatanya kembali.
"Kenapa kamu menangis?" tanya Virgo.
Ayu tidak menjawab.
"Kenapa?"
Ia menghela napas pelan.
"Saya menangis bukan karena apa-apa..."
"Bukan karena apa-apa?" Virgo bingung dengan pertanyaan Ayu."Kalau bukan karena apa-apa, kenapa kamu menangis?"
"Saya bilang, saya menangis bukan karena apa-apa!" sentaknya.
Virgo langsung bungkam.
"Ah, ma-maafkan saya..." Ayu menundukkan kepala.
"Abangmu mengkhawatirkanmu tahu," kata Virgo akhirnya."Kotak itu entah siapa namanya, dia juga ikut mengkhawatirkanmu."
"Saya tahu..." Ayu masih menundukkan kepala. Enggan bersitatap. Bukan karena tidak kuat akan pesona pemuda ini, melainkan ia tidak mau menatapnya."Kenapa Abang ke sini?"
"Saya di sini untuk menyelamatkanmu."
Ayu menatap lekat pemuda itu.
"Menyelamatkan saya?"
"Ya, menyelamatkanmu."
"Kenapa bukan Bang Rangga yang menyelamatkan saya?"
"Karena saya di sini diperintah atas perintahnya," jawab Virgo, mengulurkan tangannya ke Ayu."Ayo, kita keluar dari sini," ajaknya.
Ayu terdiam. Menatap tangan putih nan halus. Tidak menyangka bahwa pemuda ini akan menyelamatkannya. Ragu, namun segera ia berkata,"Abang beneran diperintah sama Bang Rangga?"
"Ya."
"Memang Bang Virgo suka sama Kak Sukma?" ucap Ayu tiba-tiba. Bukan karena sok atau kepo, melainkan hanya memastikan.
Virgo menurunkan uluran tangannya."Kenapa kamu tanya begitu?"
"Saya cuma tanya. Jelas saja Abang suka kan, sama Kak Sukma..."
Virgo merasa risih."Yah, aku memang suka sama dia."
"Tapi, apa Abang enggak pernah kepikiran sama cewek lain selain dia..."
"Maksudnya?"
"Maksud saya, suka sama cewek lain..."
Virgo melongo.
Ayu melanjutkan."Apa Abang enggak pernah lihat ada cewek yang menyukai Abang selain Kak Sukma..." Dua tangannya meremas ujung baju."Anu, i-itu... Maaf, kalau pertanyaan saya lancang..." Usai mengatakannya, Ayu menutup mulut. Tidak berani bersitatap. Mukanya merona hebat.
"Hah?"
Seperti perkataan Sukma, saat gadis itu main ke kediaman Keluarga Emocore.
Jomlo sampai kamu menyakiti hati para groupies-mu.
"Saya tahu kamu menyukai saya," kata Virgo.
Ayu melotot. Masih dengan mata yang sembab, ia berusaha agar tidak canggung di hadapan Virgo."A-abang kok...? Abang tahu dari mana?"
"Dari abangmu. Abangmu yang memberitahu saya."
Muka Ayu tambah merona. Tidak percaya pemuda ini sudah tahu, sangat jelas tahu malah bila dirinya menyukainya. Bila dirinya menyukai Virgo itu termasuk bagian dari rahasia kecilnya. Dan, sudah lama disimpan rapat. Nanun, saat bercerita tentangnya, jujur, ia tidak mengatakan bila menyukai pemuda itu. Mungkin, karena feeling seorang kakak, Rangga tahu siapa orang yang ia sukai. Kedua tangannya tetap meremas ujung bajunya. Hawa dingin masih menyerbak. Ia tidak peduli soal itu. Dadanya bergemuruh. Antara senang, berdebar dan takut menjadi satu.
"Saya minta maaf," ucap Virgo.
"Minta maaf soal apa?"
"Soal syal itu. Maaf, membuatmu sakit hati dan mengatakanmu enggak pantas menjadi penyihir, enggak bisa menguasai senjata sihir..."
Ayu tahu, Virgo meminta maaf padanya. Namun, dari hati kecilnya ia sudah sangat sakit hati. Ingin memaafkannya, tapi, ia takut.
"Enggak apa-apa kalau kamu enggak mau memaafkan saya. Untuk sekarang, kita harus keluar dari tempat ini."
"Bagaimana..." kata Ayu ragu.
Virgo menunggu.
"Bagaimana kalau saya enggak mau?"
"Apa kamu bilang?" Virgo tidak percaya mendengarnya."Kamu enggak mau keluar?!"
Ayu kembali terdiam. Menghela napas kembali."Kalau saya kembali keluar, saya enggak ada gunanya di sana. Bahkan, tetap saja seperti sekarang..."
"Jangan ngomong kayak begitu!" Tangan Virgo langsung mencengkram kedua pundak Ayu erat."Apa kamu enggak memikirkan abangmu?!"
Ayu terhenyak mendengar perkataan Virgo.
"Kamu enggak pernah berpikir apa, ada orang yang sayangi, sangat berarti bagimu?! Kalau kamu enggak keluar dari sini, kamu bakal ditelan sihir hitam!"
"Sa-saya..."
"Dengarkan saya, apa kamu enggak merasa yakin dengan kemampuanmu? Kamu harus yakin!"
"Harus yakin?"
"Kamu harus yakin sama kemampuanmu," bujuk Virgo.
"Saya enggak yakin, apakah saya bisa melakukannya... Menguasai senjata sihir... Menjadi penyihir berbakat... Karena saya ini bodoh... Enggak seperti Bang Rangga..."
Virgo berdecak, harus mengatakan apa. Gadis mungil ini sama sekali tidak yakin akan dirinya, kemampuannya. Dengan amat terpaksa, menarik tangannya paksa hingga gadis mungil tersebut jatuh dalam dekapannya. Dengan terpaksa pula mengangkat dagunya. Tanpa meminta persetujuan, dia menarik dan mencium bibirnya.
Cup!
Mata Ayu terbelalak. Tidak menyangka Virgo mencium bibirnya. Ciuman yang lembut. Beberapa menit, ciuman terlepas. Dan ciuman yang menurutnya sangat singkat. Muka Ayu tambah merah. Saking merahnya, ia tidak bisa berkata apa-apa.
Virgo ikut tidak bisa berkata apa-apa. Sambil memulihkan kondisi, berkata,"Kita lanjutkan ya, setelah keluar dari sini," ucapnya pelan seraya tersenyum simpul.
Ayu menutup mukanya buru-buru dengan kedua tangan. Salah tingkah. Bisa-bisanya dia menciumnya saat dirinya terpuruk seperti ini. Ciuman yang mendadak. Ciuman yang menurutnya ciuman pertamanya.
"Ke-kenapa Abang menciumku eh, mencium saya?" Ayu membuka mukanya separo.
Virgo masih dengan senyumnya."Entah," kata Virgo."Kalau enggak dicium, mungkin kamu bakal sedih terus... Maaf, ya, tapi jangan sedih lagi. Jadi, kita rahasiakan hubungan kita ini ke Rangga, ya?"
Apa hubungan? Maksudnya, hubungan menjadi layaknya sepasang kekasih?
Masih dengan muka merona hebat, Ayu ragu-ragu."Jadi, kita resmi menjadi sepasang kekasih?"
"Eem, bagaimana, ya? Kalau enggak mau, ya terserah kamu. Atau kita menjalin hubungan yah kayak sepasang suami-istri?"
"Ap—"
"Kalau kamu mau kayak begitu, nanti sehabis kita keluar sini, kita langsung ke rumahmu atau ke rumah saya?"
"Buat apa?"
"Ya, buat itulah. Kalau enggak mau di rumahmu, kita ke rumah saya saja..."
"Jangan ngawur!" seru Ayu, langsung memukul dada Virgo. Bisa-bisa dibiarkan tambah ngawur omongan orang ini.
Virgo tertawa."Hahaha! Bercanda, bercanda... Nah, kamu mau keluar? Kita keluar bersama. Pasti di sana mereka sedang menanti," bujuknya lagi.
Ayu menganggu, menurut kali ini.
"Bagaimana kita keluar?" kata Ayu, mendongak.
"Sebentar." Tangan kanan Virgo mengeluarkan sesuatu benda, membentuk sebuah gitar model gitar eletrik."Pakai ini."
"Pakai itu? Tapi, saya enggak bisa main gitar, Bang."
Virgo memakaikan gitar itu ke Ayu. Dia menghadapkan gadis itu di depannya. Tangannya menyentuh tangan Ayu yang mana tangan gadis itu diletakkan seperti memegang.
Ayu tampak kebingungan sekaligus gugup.
"Kamu masih punya daya sihir?"
"Ma-masih. Untuk apa?"